Oleh: Iman Munandar, imanakifa86@gmail.com
PAGI ini saya mencoba untuk searching di laman mbah Google tentang tingkat perceraian di Indonesia. Kebetulan saya mengklik salah satu judulnya ‘Perceraian di Depok Meningkat dalam Tiga Tahun Terakhir’ yang diterbitkan oleh Republika bulan Januari 2017.
Sebagaimana yang dilansir oleh Republika, angka kemungkinan besar perceraian di kota Depok mencapai 3.500 pertahunnya. Jika dijumlahkan secara rata-rata se-Indonesia, mungkin lebih besar. Angka pastinya berapa, saya tidak tahu pasti.
Saya hanya mengelus dada, dengan angka yang cukup besar itu. Hal ini membuat saya untuk memutar memory dulu ketika waktu mahasiswa pernah magang di Pengadilan Agama Cimahi dan kota Bandung. Waktu itu, di ruang tunggu selalu dipenuhi pasangan suami istri yang ingin berpisah secara hukum sah.
Apakah tingginya angka perceraian ini sebagai tanda tidak barakahnya pernikahan? Wallahu ‘alam. Tapi ketika kita menghayati beberapa ayat al-Qur’an dan Hadist tentang pernikahan yang barakah, kita akan menemukan sebuah hikmah bahwasanya pernikahan itu bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis.
Lebih dari itu, dari niat yang ikhlas karena lillahi ta’ala hingga mempunyai keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha illaLlah. Apalagi bila keturunan banyak itu suatu hari nanti di akhirat menjadi kebanggaan bagi Rosulullah Saw. itulah mungkin bagi saya sebagai pernikahan yang barakah.
Untuk mencapai pernikahan yang barakah itu, diperlukan ilmu sebagai tangga untuk menggapainya. ‘Dorongan yang meluap-luap itu kadang tidak disertai dengan kesiapan dalam hal-hal lain, terutama dalam hal ilmu berkenaan dengan tugas kerumahtanggaan maupun dalam memenuhi kebutuhan istri.
Di antara tiga kebutuhan yang harus dipenuhi, ada kalanya baru satu yang ia miliki, yaitu kesiapan memenuhi kebutuhan biologis. Sedang kebutuhan psikis dan kebutuhan maisyah (nafkah), lazimnya kurang diperhatikan,’ Ujar Mohammad Fauzul Adhim dalam bukunya yang terkenal itu.
Nah, inilah yang harus diperhatikan sejak dini. Menurut saya, pangkal masalahnya terletak pada hasrat yang meluap-luap tanpa diimbangi oleh ilmu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Mohammad Fauzul Adhim.
Itulah pentingnya ilmu mengenai kerumahtanggaan agar pernikahan itu barakah, baik bagi yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Bagaimana cara menggapai pernikahan yang barakah, banyak sekali buku yang membahas tentang itu. Tergantung pada pembaca, cocoknya yang mana.
Saya menyadari jika tulisan ini masih banyak kekurangan. Tulisan ini hanyalah kegelisahan saya mengenai tingginya perceraian di negeri yang mayoritas muslim ini. saya teringat kata-kata Stephen R. Covey dalam bukunya The 3rd Alternative, kira-kira begini penafsirannya, ‘stabil atau tidak stabilnya sebuah negara, bisa dilihat dari kondisi rumah tangga itu seperti apa. Jika rumah tangga itu baik, negara pun akan baik. Dan bila rumah tangga itu rusak, negara pun akan rusak.’ Wallahu ‘alam