SEJUKNYA air pancuran, bertolak dengan panasnya gejolak darah. Harga diri, nyawa, dan kehormatan menjadi taruhan. Moncong pistol itu terasa dingin menempel di pelipis, sekali tarik pelatuk, peluru tajam bakal membuat sang menteri tinggal nama.
Hari itu Menteri Pemuda dan Pembangunan RI, Soepeno, hendak mandi di sebuah pancuran di Desa Ganter Dukuh Ngliman, Nganjuk, Jawa Timur. Tentara Belanda yang semenjak awal mengincar nyawanya, menyergap seketika.
“What Is your name?”
“Penduduk sini.”
BACA JUGA: Gara-gara Melon dan Telur Ikan, Menteri Jepang Ini Mundur dari Jabatannya
Saat itu sang menteri menggunakan pakaian sederhana, sebagaimana baju dan celana rakyat pada umumnya.
Belanda tak percaya, mereka terus memberondongnya dengan pertanyaan. Menteri Soepeno tegar, percaya diri, dan tidak takut. Tapi tentara Belanda itu nekat, bengis, dan maksa. Tiba-tiba saja; DOR!
Disertai kepul asap mesiu dan ceceran darah segar, sang menteri roboh. Enam orang yang tertangkap juga diekusi di tempat, diganjar dengan kematian. Di antaranya Mayor Samudro, Ajudan Soepeno dan yang lainnya.
Peristiwa ini diabadikan Julius Pour dalam buku ‘Doorstoot Naar Djokja; Pertikaian pemimpin Sipil-Militer,’ melalui penerbit Kompas hal.157-158. Soepeno pun ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Lho, kok menteri mandi di pancuran?
Ya, menjadi menteri saat itu berarti menjadi tameng negara, menjadi musuh bagi penjajah yang tak ridha dengan kemerdekaan RI. Berbeda dengan menteri saat ini yang segala fasilitas diterima, rumah dinas, kendaraan, ajudan, gaji besar, tunjangan melimpah, dan kantor sejuk ber-AC seliwir-seliwir.
Menjadi menteri saat itu harus berhadapan langsung dengan penjajah, bukan hanya menjalankan amanah kebijakan negara dengan fasilitas seadanya, sebagian menteri harus mengontrak rumah, bahkan mereka bergeriliya di medan tempur demi mengusir penjajah yang hendak kembali merebut negeri ini.
BACA JUGA: Ketika Seorang Menteri Mengontrak Rumah
Operatie Kraai atau Operasi Gagak yang kita kenal dengan Agresi Militer Belanda II, pada 19 Desember 1948 yang diawali serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota negara saat itu. Saat itu Indonesia darurat.
Menetri Soepeno turut gerilya masuk keluar hutan selama berbulan-bulan, namanya tercatat dalam agenda ‘Wanted’ Belanda, nyawanya diincar dan harus dibunuh.
Lahir di Kota Pekalongan, 12 Juni 1916 dan meninggal 24 Februari 1949 pada usia 32 tahun. Tertangkap di pancuran saat hendak mandi di Desa Ganter, Dukuh Ngliman, Nganjuk, Jawa Timur, sebagaimana kita ulas di atas. []