Oleh: Retno Dyah
pangestiretno44@gmail.com
“LAKI-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya.” (QS. An-Nisa:34)
“suami adalah pelindung bagi istrinya” Adalah kalimat awal dalam surat tersebut, rupanya hal itu saat ini hanya menjadi untaian kalimat yang maknanya tak diilhami. Kasus suami yang menyiksa istrinya, menjadi kabar harian yang mengisi media cetak, sosial maupun elektronik. Ada kasus suami yang tega membakar istrinya hidup- hidup, adalah salah satu contoh saja. Istri yang seharusnya dijaga kehormatan dan dirinya, dilindungi dari gangguan dan ancaman, malah yang terjadi sebaliknya.
BACA JUGA: Masalah Keluarga? Ingat, Para Nabi pun Mengalaminya
Tidak heran jika saat ini banyak terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga karena spirit keimanan bukan menjadi landasan utama ketika akan membangun mahligai rumah tangga. Malah keelokan fisik dan keberadaan materi menjadi pertimbangan pertama dan utama.
Hawa nafsu yang dibalut atas nama cinta menjadi alasan memasuki gerbang pernikahan, maka ketika cinta pudar seiring bertambahnya waktu, ketika hadir fisik yang lebih elok, materi yang lebih berlimpah, problem kehidupan rumah tangga yang semakin banyak, maka tidak ada lagi perilaku baik pada pasangannya, tidak ada lagi rasa saling menutupi kekurangan, tidak lagi hadir rumah tangga yang harmonis.
Padahal kuat atau tidaknya sebuah rumah tangga itu tergantung landasannya. Ibarat rumah jika pondasinya kokoh maka akan kuat pula bangunan di atasnya. Jika pondasi dalam berumah tangga dibangun atas dasar keimanan, maka masalah yang hadir akan disikapi dengan tepat dan solutif, karena senantiasa terkoneksi dengan sang pencipta manusia, kehidupan, beserta seluruh problem dan solusinya. Maka sekalipun badai yang datang, sebuah keluarga akan tetap melayari samudra, hingga sampai di tujuan.
Dalam Islam, pernikahan adalah sebuah perjanjian yang agung. Hubungan suami dan istri adalah hubungan persahabatan, bukan hubungan antara majikan dan pembantu atau atasan dengan bawahan. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam menjalani kehidupan. Yaitu
persahabatan yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain.
Islam telah memberikan aturan yang khusus kepada suami dan istri untuk mengemban tanggung jawab kepemimpinan dalam rumah tangga. Suami adalah kepala dan pemimpin keluarga. Istri adalah pengatur rumah suaminya sekaligus ibu bagi anak-anaknya.
Peran kepemimpinan bukan merupakan legitimasi atau superioritas derajat yang satu atas yang lain. Suami tidak dianggap lebih mulia dibandingkan dengan istri dan anak-anaknya. Kepemimpinan adalah tanggung jawab dan amanat yang dibebankan oleh Allah SWT untuk dilaksanakan, selanjutnya dipertanggungjawabkan sebagai sebuah amal ibadah.
BACA JUGA: Tips Profetik, 5 Resep Keharmonisan Keluarga
Islam menetapkan peran suami adalah menjadi pemimpin rumah tangga. Ia memiliki kewajiban untuk menafkahi dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Ia adalah nakhoda yang akan mengendalikan ke mana biduk rumah tangga akan diarahkan. Kepemimpinan tersebut telah Allah amanahkan ke pundak suami.
Dari sana Islam mewajibkan suami bekerja menjemput rezeki dengan nafkah yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Mengatur hubungan interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan, hanya boleh ketika ada hajat syar’i semisal pendidikan, kesehatan, muamalah.
Islam juga mengatur masalah pendidikan, Akidah Islam adalah landasan, dan terbentuknya kepribadian (Syakhsiyyah) Islam adalah tujuannya. Sehingga ketika seseorang akan menikah, Islam menjadi pedomannya, bagaimana syariat Islam mengatur rumah tangga muslim, itu menjadi acuannya. []
OPINI adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.