KELUARGA kita boleh jadi apa adanya, tak ada rumah megah, mobil mewah, dan perabotan serba indah. Tak ada itu semua. Keluarga kita sederhana saja, rumah lama tampak biasa, motor butut roda dua, dan perabotan ala kadarnya.
Sementara itu, ada orang kaya raya yang segala keinginannya kesampaian, semua kebutuhannya tercukupi, dan setiap yang terbetik di benaknya bisa dipenuhi. Urusan dunia seolah tak ada masalah baginya, apapun yang diinginkan bisa terlaksana.
Apakah bahagia?
Belum tentu!
Kisah hidup Christina Onassis merupakan Pelajaran berharga bagi kita, putri Aristotle Onassis milyarder terkenal asal Yunani ini layak kita renungkan.
Setelah ayahnya meninggal dunia, Christina mewarisi seluruh kekayaan peninggalannya. Harta yang ditinggalkan berupa simpanan deposito, real estate, armada laut, perusahaan penerbangan, danau pribadi dan pesawat pribadi. Bahkan Christina memiliki pulau pribadi.
Bayangkan! Orang kaya macam apa sehingga memiliki pulau pribadi?
Sungguh, sebuah kekayaan yang fantastis. Banyak orang mengagumi dan berangan ingin sepertinya. Siapa pun yang memiliki harta sebanyak itu, pasti menjadi orang paling bahagia di dunia.
Lantas apakah demikian yang dirasakan Christina? Apakah harta segunung itu membuat hidupnya tenang, nyaman dan bahagia? Apakah rumah tangganya rukun, harmonis dan penuh cinta?
Ternyata tidak. Dalam gelimang harta hidup Christina terasa hampa, hari-hari dilalui seolah tiada arti. Pernikahan pertama, kedua, ketiga dan keempat, gagal semuanya. Berakhir menyakitkan dalam perceraian.
Setelah kisah cintanya kandas di tengah jalan, Christina memutuskan untuk tidak menikah lagi. Ia menikmati hidup sendiri dengan berkunjung ke berbagai kota di seluruh negeri, keliling dunia demi mengobati sepinya jiwa. Apakah bahagia? Akhirnya ditemukan berbaring di sebuah kamar hotel di Argentina.
Siapakah yang membunuhnya?
Ternyata bukan dibunuh, tapi bunuh diri. Sebuah perjalanan hidup yang pelik, rumit, dan tragis.
Bukan karena serba ada, segala kebutuhan terpenuhi dan setiap keinginan bisa dicapai yang membuat hidup bahagia.
Bukan karena mewah kita betah tinggal di rumah, tapi karena saling mengerti dan memahami, saling menerima setulus hati. Ada sapaan mesra, uluran cinta, dan kasih sayang di sana. Rumah yang sempit pun terasa lapang bila hati kita lapang, sebaliknya rumah yang lapang akan terasa sempit bila hati kita sempit.
Tapi kita berharap rumah lapang dan hati lapang, yang kita ikrarkan untuk kebaikan keluarga dan manfaat bagi sesama. Tempat bernaung, istirahat, belajar, mengaji, halaqah, menginap keluarga, saudara, teman, dan sesama Muslim bila suatu saat membutuhkan atau mampir dalam perjalanan. Karena di antara baiknya iman adalah kita berharap bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Sebaik-baiknya. Sebanyak-banyaknya.
Keluarga istimewa itu selalu baik dalam segala keadaan, saat senang maupun susah. Kaya atau miskin, lapang atau sempit, senyum atau tangis. Apapun kondisinya, bagaimanapun keadaannya, buahnya adalah cinta, penerimaan, dan keyakinan kokoh yang menggunung. Senantiasa tumbuh perasan cinta pada sesama anggota keluarga seiring dengan kian mantapnya keyakinan pada Allah SWT.
Materi bukan segala-galanya, pasangan cantik jelita, tampan menawan, pangkat tinggi, mobil mewah, rumah megah, tanah luas tak terkira, kebutuhan tercukupi, dan keinginan terpenuhi, bukan sumber kebahagiaan yang hakiki.
Teringatlah kita pada Ibnu Taimiyah, sosok ulama yang mulia, agung dan berwibawa. Tutur lembut lisannya mengokohkan keyakinan, menyadarkan cara pandang akan makna bahagia sesungguhnya.
BACA JUGA: Islam Sumber Kebahagiaan Keluarga
Aku, surga, dan tamanku ada dalam dadaku
Ke mana pun aku pergi ia selalu bersamaku
Tidak meninggalkanku
Jika dipenjara, bagiku itu adalah khalwah [menyendiri]
Jika dibunuh bagiku itu adalah syahadah [syahid]
Dan jika aku diusir dari negeriku
Bagiku itu adalah siyahah [rekreasi]
Bahagia itu dalam hati, dalam taat pada Allah dan Rasul-Nya. Rezeki yang melimpah, pasangan yang rupawan, dan kedudukan yang mulia ialah bonus dari Allah sebagai hadiah ketaatan. Sebagai pelengkap kebahagiaan setelah hadirnya iman dalam jiwa.
Setelah iman dan takwa terpatri di nurani, yang menjadikan sesuatu istimewa adalah cara pandang kita menyikapi hidup. Keluarga sederhana pun akan terasa surga bila jiwa rela menerima dan hati ikhlas menyikapi. Sabar dan syukur menjadi penghiasnya. Dengan demikian yang menjadikan keluarga terasa istimewa itu adalah hati kita. Hati yang lapang menerima.
Mari hadirkan hati munajat pada Ilahi, melalui doa kanjeng nabi, kita berserah diri pada Ilahi, “Allahumma Wa As’alukal Qashda fil Faqri Wal Ghina.” “Ya Allah, aku mohon padaMu diberi kemampuan hidup sederhana dalam keadaan miskin maupun kaya.” (HR. Nasai dan Hakim). []