SEKARANG kita berada di luar Yatsrib bersama para sahabat, menunggu kedatangan Rasulullah. Sudah beberapa hari lalu beliau meninggalkan bumi Makkah. Mestinya hari ini beliau tiba. Ini sudah hari ketiga atau keempat kami meninggalkan rumah pagi-pagi sekali.
Sebagian berdiri di loteng-loteng rumah, sebagian lagi berlindung di bawah bayang-bayang pohon kurma. Mata kami lepas ke ufuk jauh, menatap hingga perih. Tetapi yang tampak hanyalah hamparan gurun pasir yang mendidih. Gamang hati kami, gelisah jiwa kami.
Di antara kami kebanyakan tidak mengenal Rasulullah. Tidak tahu seperti apa postur dan parasnya. Kami hanya bisa membayangkan beliau seperti yang dilukiskan orang-orang yang pernah bertatap muka dengannya.
Begitulah kami setiap hari, keluar pagi an pulang setelah matahari meninggi, memanggang tubuh dan melecut kepala kami.
Di tengah khalayak yang tengah berdiri berkerumun untuk menyambut Rasulullah ini, mata kami melihat seorang bocah berusia sepuluh atau sebelas tahun. Namanya zaid ibn Tsabit. Ia tampak sangat gelisah, mondar-mandir dengan mata tetap nyalang memandang ke ufuk jauh.
Berikut kami turunkan penuturan si bocah ini.
Lama sudah kami menunggu. Matahari terik bukan main pada musim panas ini. Karena letih, kami pun kembali.
Tiba-tiba seorang Yahudi, setelah melihat rombongan di kejauhan mnembus tabir fatamorgana, berteriak dari loteng rumahnya yang tinggi. “Bani Qailah, Bani Qailah, itu kakekmu datang!”
Sontak kami semua keluar, berbondong-bondong dan saling teriak. Aku bersama-sama kawan-kawan sebayaku berlari kencang ke ujung jalan arah Makkah, mendahului orang-orang tua, pria, wanita, yang juga bergegas.
“Rasulullah datang…! Rasulullah datang…!”
Teriakan kami memenuhi seluruh belahan Yatsrib, disambut seluruh jalan, dijawab batang-batang kurma yang menjulang, menggetarkan loteng-loteng rumah. Para tetua berkata, “Belum pernah Yatsrib mengalami peristiwa seperti hari ini. Belum pernah terjadi momentum sedahsyat ini. Semua hati girang tak terperi. Seluruh wajah bersinar cerah. Semesta jiwa berdenyut penuh cinta. Sungguh, sebuah perjumpaan yang menggetarkan dan mengharukan!”
Rombongan Nabi terus bergerak dari kejauhan. Ada sekitar tujuh puluh orang yang ikut dalam rombongan itu. Semua menaiki tunggangannya, membawa bendera, melangkah dalam pelukan angin yang berdesir gemulai. Mereka berhenti di luar Yatsrib, berteduh di bawah pohon-pohon kurma. Di situ, telah menunggu berkerumunan sekitar lima ratus orang laki-laki dan peremuan. Tetapi, tidak tahu yang mana Rasulullah?
Dua orang pria duduk berteduh di bawah sebatang pohon kurma. Juga pri-pria lain yang bukan penduduk Yatsrib. Orang-orang berbisik di belakangku.
“Di antara dua pria itu, manakah Rasulullah?”
“Tidak tahu.”
Kami tak perlu menunggu lama untuk menemukan jawabannya. Seorang dari sua pria itu bangkit, lalu melindungi temannya dari terik matahari dengan selendangnya. Maka tahulah kami, pasti pria yang duduk itulah Rasulullah.
Pria itu berperawakan ideal. Tidak kurus, tidak gemuk. Dadanya bidang. Kulitnya putih bak kembang. Parasnya bulat menawan. Keningnya lebar. Kedua pipinya halus datar. Mulutnya lebar sedang. Alis matanya memanjang. Hitam matanya begitu pekat. Jenggotnya lebat.
Kami bergegas menghampiri, mengelilingi, dan mengucapkan selamat datang.
“Selamat datang, Rasulullah.”
“Salam sejahtera untukmu, Nabi Allah.”
“Kami ucapkan selamat datang, Rasulullah.”
Ada wibawa tak terkira di balik keanggunan beliau. Ada aura kuat memancar dari parasnya yang bercahaya. Seraya tersenyum agung, beliau membalas semua dengan mengucap salam dan menyambut mereka dengan wajah berbinar.
Rupanya ibu juga tak kuasa menahan kegembiraan. Dengan langkah tersipu-sipu ia ikut merengsek ke depan bersama wanita-wanita lainnya. Lalu ia berkata padaku, “Zaid, dekati Nabi, mintalah berkah!”
Makin meluap saja kerumunan orang di sekeliling Nabi. Semua berebut menyambutnya dan mengucapkan selamat datang. Maka, bersama teman-teman sebayaku aku menyelip masuk. Kudorong orang-orang hingga aku berhasil berada lebih dekat dengan Nabi. Kudengar beliau bersabda berulang-ulang, “Saudara-saudara, sebarkanlah salam, sedekahkanlah makanan, jalinlah hubungan kekerabatan, shalatlah di waktu malam saat orang-orang tertidur nyenyak, niscaya kalian masuk ke surga dengan sentosa.”
Tak lama berselang, Tsabit ibn Qais datang bersama sekelompok penunggang kuda. Ia berdiri di depan Nabi, lalu dengan suara lantangnya mengucapkan selamat datang kepada beliau. Kami lihat rona kebahagiaan di raut muka beliau. []
Sumber: Ketika Nabi di Kota/Dr Nizar Abazhah/Penerbit Zaman