Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan
SHALAT rawatib ketika safar diperselisihkan para ulama. Mayoritas ulama mengatakan tetap sunnah dan menjadi perkara yang disukai. Sebagian lain mengatakan tidak dilakukan, seperti Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, begitu juga ulama kontemporer seperti Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazaairiy dalam Minhajul Muslim.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
قال أصحابنا يستحب صلاة النوافل في السفر سواء الرواتب مع الفرائض وغيرها. هذا مذهبنا ومذهب القاسم بن محمد وعروة بن الزبير وأبي بكر بن عبد الرحمن ومالك وجماهير العلماء قال الترمذي وبه قالت طائفة من الصحابة واحمد واسحق وأكثر أهل العلم
Para sahabat kami mengatakan sunahnya shalat nawafil saat safar, baik rawatib bersama shalat wajibnya dan shalat sunnah lainnya.
Inilah madzhab kami (Syafi’iyah), juga pendapatmya Al Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, Malik, dan mayoritas ulama.
BACA JUGA: Benarkah Shalat Dhuha Pembuka Pintu Rezeki?
Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah pendapat segolongan ulama dari kalangan sahabat, Ahmad, Ishaq, dan mayoritas ulama. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/400-401)
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلَاةَ اللَّيْلِ إِلَّا الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ
Dari Ibnu ‘Umar berkata, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, maka beliau mengerjakan shalat (sunnah) di atas tunggangannya kemana saja hewan itu menghadap, beliau mengerjakannya dengan isyarat, kecuali shalat fardlu. Dan beliau juga mengerjakan shalat witir di atas kendaraannya.” (HR. Bukhari No. 1000)
Juga riwayat lain, yang sangat panjang bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Sallam dan para sahabat safar, dan mereka bangun kesiangan saat subuh. Abu Qatadah bercerita, setelah Bilal adzan :
فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى الْغَدَاةَ فَصَنَعَ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ كُلَّ يَوْمٍ
“Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Sallam shalat dua rakaat (sunnah), lalu shalat subuh. Dia melakukannya seperti yg dilakukannya setiap harinya.” (HR. Muslim No. 681)
Dalam hadits lain, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam shalat 8 rakaat saat dhuha di waktu Fathul Makkah, seperti yang diceritakan oleh Ummi Hani.
Ummu Hani Radhiyallahu ‘Anha berkata :
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ فَقُلْتُ أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ….
“Aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari pembebasan Makkah ternyata beliau sedang mandi, dan Fathimah, putri beliau menutupinya dengan tabir. Aku memberi salam kepada Beliau lalu Beliau bertanya: “Siapa ini?”. Aku jawab; “Aku Ummu Hani’ binti Abu Thalib”. Beliau berkata: “Marhaban (selamat datang) Ummu Hani”. Setelah selesai mandi, Beliau shalat delapan raka’at dengan berselimut pada satu baju. (HR. Bukhari No. 3171)
Dan masih banyak dalil lainnya. Semua ini menunjukkan walau dalam keadaan safar Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam tetap melalukan shalat Sunnah, baik rawatib dan lainnya.
Sementara itu, sebagian lain mengatakan sunnah rawatib tidak dianjurkan di saat safar.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan :
وقالت طائفة لا يصلي الرواتب في السفر وهو مذهب ابن عمر
“Segolongan ulama tidak shalat rawatib saat safar, inilah madzhabnya Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.” (Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, 4/401)
Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazaairiy Rahimahullah mengatakan :
إذا سافر المسلم له ان
يترك سائر النوافل و راتبة و غيرها ما عدا رغيبة الفجر و الوتر فإنه لا يحسن تركهما
“Jika seorang muslim melakukan safar, maka hendaknya dia meninggalkan semua shalat sunnah, rawatib, dan lainnya kecuali shalat sunnah fajar dan witir. Sebab tidak bagus meninggalkan keduanya.” (Minhajul Muslim, Hal. 190)
BACA JUGA: Shalat Tanpa Rasa Ikhlas, Apa Dampaknya?
Dalil kelompok ini adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma berikut ini:
صَحِبْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أَرَهُ يُسَبِّحُ فِي السَّفَرِ وَقَالَ اللَّهُ جَلَّ ذِكْرُهُ
{ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ إِسْوَةٌ حَسَنَةٌ }
“Aku pernah menemani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku tidak melihat Beliau melaksanakan shalat sunnah dalam safarnya”. Dan Allah subhanahu wata’ala telah berfirman: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Ahzab 21). (HR. Bukhari No. 1101)
Beliau juga berkata :
صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
“Aku pernah menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika safar (bepergian), selama kepergian itu Beliau tidak lebih melaksanakan shalat kecuali dua raka’at. Begitu juga dengan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman Radhiallahu ‘anhum.” (HR. Bukhari No. 1102)
Demikian perselisihan pendapat dalam hal ini. Jika kita mengikuti pendapat jumhur, silahkan. Mengikuti pendapat Ibnu Umar juga silahkan. Semua pendapat ini recommended, karena berdasarkan ilmu dan dalil-dalil masing-masing, bukan hawa nafsu. Wallahu a’lam. []