SHALAT Istisqa’ adalah suatu shalat yang disyari’atkan ketika terjadinya kekeringan karena lama tidak turun hujan atau banyak mata air yang kering. Shalat Istisqa’ disunahkan ketika munculnya sebab yang telah disebutkan, dan tidak sunahkan saat sebab yang mendasarinya telah hilang.
Istisqa’ (minta hujan) bisa dilakukan dalam empat cara :
1). Berdo’a secara mutlak di sembarang waktu dan tempat dengan suara keras ataupun pelan.
2). Menambahkan do’a istisqa’ pada khutbah Jum’at.
BACA JUGA: Benarkah Shalat Dhuha Pembuka Pintu Rezeki?
3). Berdo’a setelah rukuk pada rekaat terakhir sebelum sujud atau di belakang shalat fardu.
4). Shalat dua rekaat dengan disertai dengan dua khutbah.
No (1) termasuk tata cara yang paling sederhana, sedang no (2) dan (3) termasuk tata cara yang sedang, kemudian cara yang ke (4) termasuk cara yang paling sempurna.
Tata cara pelaksanaan untuk nomor empat :
1). Para ulama setempat hendaknya memerintahkan penduduk setempat untuk berpuasa selama empat hari berturut-turut. Kemudian memerintahkan mereka untuk beramal baik, berupa sedekah, taubat dari dosa, mengusahakan perdamaian di antara orang-orang yang berselisih, serta melepaskan diri dari kedzaliman.
2). Pada hari yang keempat, penduduk setempat diminta keluar ke tanah lapang semua dalam keadaan masih berpuasa dengan memakai pakaian yang sederhana, tidak memakai wewangian dan perhiasaan. Dianjurkan untuk memperbanyak membaca istighafar selama perjalanan dari rumah sampai ke tanah lapang hingga imam bersiap shalat. Diperintahkan pula para wanita, anak-anak, orang tua, dan hewan ternak dikeluarkan semua ke tanah lapang.
3). Setelah semua berkumpul, lalu dilanjutkan dengan shalat dua rekaat sebagaimana shalat Ied (hari raya) dengan niat shalat Istisqa’. Diawali dengan takbir ihram, lalu membaca do’a istiftah, lalu takir tambahan sebanyak tujuh kali dengan mengangkat kedua tangan. Kalau pada rekaat kedua lima kali takbir setelah takbir perpindahan. Setelah itu membaca ta’awudz, membaca surat Al-Fatihah dengan suara keras, lalu setelah itu membaca surat Qaf pada rekaat pertama dan surat Iqtarabatis sa’ah/ surat Nuh, atau membaca Sabihisma pada rekaat pertama dan Al-Ghasyiyah pada rekaat kedua.
4). Setelah selesai shalat, lalu dilanjutkan dengan dua kali khutbah disela dengan duduk (sebagaimana khutbah Jum’at). Dimana pada khutbah yang pertama, hendaknya khatib mengawali dengan membaca istighfar sebanyak sembilan kali dan pada khutbah kedua mengawali dengan membaca istighfar sebanyak tujuh kali.
Tata cara khutbah Istisqa’ :
Tata cara khutbah Istisqa’ sedikit berbeda dengan khutbah Jum’at atau yang lainnya. Tata caranya kurang lebih demikian :
1). Khatib disunahkan memakai selendang.
2). Khutbahnya berisi dengan anjuran untuk istighafar dan merendahkan diri kepada Allah serta berkeyakinan, bahwa Allah akan mengabulkan do’a mereka, yaitu menurunkan hujan.
3). Ketika berdoa, hendaknya mengangkat tangan lebih tinggi sehingga terbuka antara lengan dan badannya. Dan hendaknya punggung tangannya diarahkan ke langit.
4). Pada khutbah yang kedua, di kala berdo’a hendaknya khatib berpaling menghadap ke kiblat dengan membelakangi makmum dan bersama-sama semuanya berdo’a terus.
5). Ketika berpaling ke kiblat khatib hendaknya mengubah selendangnya yang kanan ke kiri dan yang di atas ke bawah.
Lafadz istighafar :
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ و أَتُوْبُ إِلَيْهِ
“Aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, tidak ada tuhan selain Allah. Dia Yang Maha hidup dan yang berdiri sendiri dan saya bertaubat kepada-Nya.”
Lafadz do’a Istisqa’ :
أَللَّهُمَّ اِسْقِنَا الغَيْثَ وَلاَ تَجْعَلْنَا مِنَ الْقَانِطِيْنَ. اَللَّهُمَّ عَلَى الظِّرَابِ وَالآكَامِ، وَمَنَابَتِ الشَّجَرِ وَبُطُوْنِ الأَوْدِيَةِ، اَللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا. اَللَّهُمَّ اِجْعَلْهَا سُقْياً رَحْمَةٍ، وَلاَ تَجْعَلْهَا سُقْياً عَذاَبٍ، وَلاَ مُحْقٍ وَلاَ بَلاَءٍ، وَلاَ هَدْمٍ وَلاَ غَرَقٍ. اَللَّهُمَّ اِسْقِنَا غَيْثاً مَغِيْثاً، هَنِيْئاً مَرِيْئاً مَرِيْعاً، سَحّاً عَامّاً غَدَقاً طَبَقاً مُجَلَّلاً، دَائِماً إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اِسْقِنَا الغَيْثَ وَلاَ تَجْعَلْنَا مِنَ القَانِطِيْنَ، اَللَّهُمَّ إِنَّ بِالْعِبَادِ وَاْلبَلاَدِ مِنَ الْجُهْدِ وَالْجُوْعِ وَالْضَنْكِ، مَا لاَ نَشْكُوْ إِلاَّ إِلَيْكَ. اَللَّهُمَّ أَنْبِتْ لَنَا الزَّرْعَ وَأَدِرَّ لَنَا الضَّرْعَ، وَأَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاءِ، وَأَنْبِتْ لَنَا مِنْ بَرَكَاتِ الأَرْضِ، وَاكْشِفْ عَنَّا مِنَ الْبَلاَءِ مَا لاَ يَكْشِفُهُ غَيْرُكَ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَغْفِرُكَ إِنَّكَ كُنْتَ غَفَّاراً، فَأَرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْنَا مِدْرَاراً.
“Ya Allah ! turunkan hujan kepada kami dan janganlah Engkau jadikan kami orang-orang yang berputus asa. Ya Allah ! turunkan hujan di atas itu di atas tumpukan-tumpukan tanah (gumuk) dan bukit-bukit, tempat pepohonan tanaman dan tumbuh-tumbuhan, dan lembah-lembah. Ya Allah ! curahkanlah di sekeliling kami dan jangan di atas kami. Ya Allah ! Jadikan hujan ini sebagai siraman rahmat, dan janganlah menjadikan hujan ini sebagai siraman siksa dan janganlah menjadikan hujan ini suatu siraman yang memusnahkan harta benda dan mara bahaya dan jangan siraman yang menghancurkan dan menenggelamkan. Ya Allah ! Siramilah kami dengan hujan yang menyelamatkan, menyenangkan, menyuburkan, mengalirkan ke segenap penjuru, banyak air dan kebaikannya, memenuhi sungai-sungai dan selalu mengalir merata hingga sampai hari kiamat. Ya Allah, tumpahkanlah hujan kepada kami, dan janganlah menjadikan kami orang-orang yang perputus asa. Ya Allah ! sesungguhnya hamba dan negeri tengah ditimpa kemelaratan dan kelaparan dan kesempitan hidup dan kami tidak dapat mengadukan kecuali kepada Engkau. Ya Allah ! tumbuhkanlah tanaman-tanaman ini untuk kami dan perbanyaklah air-air susu binatang-binatang untuk kami, tumpahkanlah barokah dari langit untuk kami, tumbuhkanlah isi bumi ini untuk kami, dan hindarkanlah kami dari mara bahaya sesuatu bencana alam yang tak akan mampu kami menghindarkan kecuali Engkau yang Allah. Ya Allah !, sesungguhnya kami memohon ampunan-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun. Tumpahkanlah hujan sederas-derasnya dari langit untuk kami.”
BACA JUGA: Tinggalkan Shalat Akibat Ketergantungan Masturbasi; Bagaimana Cara Melepasnya?
Waktunya :
Yang kuat, tidak ada waktu khusus untuk pelaksanaan shalat Istisqa’. Boleh dilakukan kapanpun sesuai dengan kelonggaran dan hajat. Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawi –rahimahullah-. Sebagian ulama menganjurkan waktu pelaksanaannya sebagaimana shalat Ied.
Demikian panduan ringkas tata cara shalat Istisqa menurut madzhab Syafi’i. Semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Wallahu a’lam. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani