“YANG serius itu akhirat, urusan dunia mah dibawa santai saja.” Begitu salah satu nasihat guru kami, agar tak salah arah, agar hidup lebih berkah.
Orang yang mengutamakan pekerjaan dan menomorduakan ibadah, biasanya penuh kesibukan. Pekerjaannya bertumpuk seolah tiada henti, tiada selesainya. Begitulah urusan dunia. Tiada habisnya, tiada puasnya. Yang ada malah usia semakin senja, jatah hidup di dunia mendekati garis finisnya.
BACA JUGA: Imam Al Ghazali: Dunia dan Akhirat Tak Perlu Seimbang
Urusan dunia itu dibawa santai saja, tak perlu bersusah payah mengerjakannya, memikirkannya, dan mengusakannya. Tapi urusan dunia yang terkait akhirat harus sungguh-sungguh, apalagi yang jelas-jelas akhirat.
Apa urusan dunia itu? Saat mengendarai mobil di jalan misalnya, kita sudah hati-hati, rem bagus, lampu sein menyala, dan jeli memerhatikan rambu-rambu lalu lintas. Tiba-tiba BRUK, motor nabrak dari belakang. Lecet, mana mobil baru lagi.
Yang namanya jalanan ‘kan panas tuh, apalagi dalam keadaan lelah, capek, sehingga mudah sekali terpancing emosi, mudah marah meledak-ledak.
“Aduuh, maaf Kang, maaf, saya gak sengaja.” Terbungkuk-bungkuk si Bapak minta maaf, wajahnya memelas, dan matanya menampakan penyesalan.
Lantas bagaimana sikap kita, marah? Bisa saja marah, tapi dengar dulu penjelasannya, pengakuannya, dan permohonan maafnya. Lihat penampilannya, nampaknya ia orang biasa, pekerjaannya serabutan, dan tak punya uang pula.
Minta pertanggungjawabannya? Boleh saja, karena ada dua pilihan di sini. Pertama, memaafkan penuh ketulusan. Kedua, minta ganti sesuai kerugian. Tapi di mana nurani kita kepada orang kecil tak berdaya, miskin, yang untuk makan anak istrinya saja susah? Sudahlah tak usah dibikin repot. Mobil lecet itu urusan dunia yang tak begitu ngaruh pada masa depan, lebih baik selesaikan dengan kekeluargaan.
BACA JUGA: Mus’ab bin Umair Menjual Kekayaan Dunia Demi Akhirat
Yang bikin resah itu dunia, saat melihat orang lain sudah begini dan begitu, sudah punya ini dan punya itu, atau pernah ke sana dan ke situ. Hati panas tak karuan.
Lain lagi dengan urusan ibadah, urusan akhirat. Tak ada rasa iri, panas, dan resah karena ada salah seorang teman kita rajin ke masjid. Tak ada dendam gara-gara tetangga rajin ibadah, misalnya, “Kurang ajar tetangga saya itu, muak saya melihat dia rajin puasa.” Tak ada.
Yang resah itu karena kurangnya ilmu, sehingga terlalu sibuk mikirin dunia. Yang berilmu mah santai saja, karena tidurnya pun lebih berharga dari beramalnya orang tak berilmu. []