JUDUL ini barangkali agak menggelitik. Dua kata majemuk di dalamnya, yaitu musibah banjir (1) dan rahmat hujan (2) bahkan memberi kesan antagonistik. Akan tetapi disinilah letak ketertarikan penulis untuk menjadikannya sebagai satu judul dan membahasnya dari sudut kajian lingkungan sosial dan mencoba mengundang ayat suci Al Qur’an untuk mengurai dan meletakkan permasalahannya pada tempatnya.
Ini menjadi lebih penting jika melihat realitas umat Islam adalah mayoritas mutlaq di negeri ini, yang semestinya nilai-nilai qurani internalized dalam realitas kehiduan mereka.
Musibah Banjir
Beberapa hari terakhir ini hujan selalu membasahi bumi nusantara yg tercinta ini tanpa henti kadang deras kadang rintik-rintik tiada henti serta tidak dapat diprediksi. Akibatnya sudah dapat diduga yaitu banjir datang melanda di berbagai tempat terutama di wilayah ibu kota dan sekitarnya. Orang-orang pada panik seketika.
BACA JUGA: Kisah Ibu dan Bayi Saat Azab Banjir di Zaman Nabi Nuh
Sudah banyak pemukiman yang dilanda banjir sehingga menimbulkan gelombang pengungsi yang tentu saja membutuhkan bantuan moril dan harta benda terutama dari pemerintah daerah ibu kota. Para pekerja kantoran banyak yang terhambat perjalanannya karena ruas-ruas jalan tergenang air di mana-mana.
Tidak hanya di kota besar yang sangat padat penduduknya, seperti kota-kota di pulau Jawa dan sebagian kota-kota di luar pulau Jawa. Tetapi bahkan juga di daerah-daerah pedalaman yang agak sepi penduduk sekalipun sering terjadi banjir bandang.
Setiap musim penghujan tiba selalu diidentikkan dengan musibah banjir yang tidak jarang menimbulkan kerugian material maupun immaterial seperti rusaknya infrastruktur, terendamnya perabot rumah tangga, kendaraan dan rusaknya jaringan bisnis serta komunikasi selalu mewarnai lingkungan sosial di Indonesia pada umumnya. Sementara kerugian immaterial seperti stres sosial berkepanjangan, terhentinya program-program pendidikan serta komunikasi sosial lainnya selalu mewarnai lingkungan sosial Indonesia di musim penghujan.
Semua ini akan berubah total manakala musim kemarau tiba. Kekeringan dan matinya sumber-sumber air menjadi pemandangan panjang dan menyedihkan. Pemanasan global menjadi spesifikasi negeri yang termasuk memiliki curah hujan tinggi ini. Belum lagi kebakaran infrastruktur sosial maupun hutan-hutan lindung. Maka musibah banjir di satu musim dan musibah kekeringan dan kebakaran di musim lain seperti menjadi ciri utama bagi masyarakat Indonesia.
Ketika banjir bandang terjadi, maka banyak pihak yang menuding curah hujan yang tinggi sebagai penyebab utama, sehingga hujan tidak dirasa sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya yang menghuni negeri yang amat subur ini dan sebaliknya jika kekeringan dan kebakaran terjadi Allah yang menjadi tertuduh pertama karena tertundanya turun hujan.Saling melempar kesalahan dan tanggung jawab selalu mewarnai silang sengketa masyarakat terhadap fenomena sosial yang menyedihkan ini.
Akar Permasalahan
Agar upaya mengatasi problema sosial berupa musibah banjir, kekeringan dan kebakaran tidak merupakan lingkaran setan yang sulit ditemukan ujung pangkalnya, kita mencoba mengundang ayat suci al Qur’an berkenaan dengan rahmat hujan dan pengelolaan bumi yang semestinya.
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya”. (QS. Al Mukminun[23] :18)
Allah Ta’alaa sebagai dzat pengatur alam semesta dan pemberi rizki kepada penghuninya sesungguhnya menurunkan hujan dengan ukuran. Al Imam Al Suyuthi dalam kitab tafsir al-Jalalain memberikan tafsiran “dengan ukuran” yaitu dengan ukuran yang sesuai dengan kecukupan dan dan kemaslahatan (penghuni alam semesta).
Allah Yang Maha Tahu berapa debit air yang diperlukan oleh penduduk bumi baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan dan sebanyak kebutuhan itulah yang Allah curahkan. Jadi hujan adalah benar-benar rahmat Allah bagi hamba-Nya dan bukan penyebab utama musibah banjir yang berkepanjangan.
Maka disini kita bisa mulai melacak akar permasalahan musibah banjir dari dalam lingkungan sosial kita :
1. Penolakan masyarakat terhadap penyerapan air hujan oleh bumi. Ini bisa terjadi antara lain :
a. Pembangunan infrastruktur sosial yang tidak ramah lingkungan
b. Penutupan (pemampetan) akibat hampir semua permukaan tanah di floor dengan semen atau aspal, sehingga air hujan hanya menggenang untuk waktu yang lama tanpa mampu meresap kedalam tanah, kecuali kalau ada celah-celah bangunan atau jalan yang rusak. Akhir tahun 90-an misalnya pemerintah DKI menggalakkan pembuatan sumur resapan. Dan bagi lembaga sosial dan pendidikan yang melaksanakan anjuran ini mendapatkan subsidi biaya pembuatan sumur, itupun respon masyarakat sangat kecil.
2. Penutupan dan pengalih fungsi situ-situ resapan air untuk mall dan bangunan-bangunan ekonomi kapitalistik maupun untuk komplek-komplek perumahan baru, baik elite maupun Perumnas. Hal ini mengakibatkan tidak terserapnya air hujan atau sebaliknya terjadi genangan banjir baik di tempat itu ataupun di tempat lain yang lebih rendah.
3. Kesadaran rendah terhadap arti kebersihan bagi sebuah lingkungan sosial yang sehat. Pembuangan sampah di sembarang tempat menjadi penyebab utama tersendatnya aliran air limbah maupun air hujan ke tempat semestinya, bak sampah terbesar di seluruh dunia ternyata adalah sungai-sungai di Indonesia
4. Salah urus pembuatan banjir kanal sebagai sistem pengaturan air yang mestinya membawa kemaslahatan ini diperparah oleh kenekatan penduduk yang beramai-ramai tinggal di kawasan bantaran sungai.
BACA JUGA: Panas Setahun Dihapus Hujan Sehari
5. Penebangan dan bahkan penggundulan hutan yang membabi-buta untuk tujuan-tujuan ekonomis sesaat. Sehingga salah satu fungsi hutan sebagai tempat resapan airpun menjadi hilang dan tidak bermakna, maka daerah-daerah pedalamanpun sekarang menjadi sangat akrab dengan banjir dan bahkan dengan tanah longsor
Maka melihat hal-hal di atas musibah banjir adalah human and social error, kesalahan manusia dan kesalahan sosial, kesalahan lingkungan sosial yang tidak akrab dengan ekosistem dan bukan “God Error.” Curah hujan tetaplah sebagai rahmat Allah untuk alam semesta. Sayang penghuni alam semesta ini (utamanya manusia) menolaknya dengan berbagai cara.
Maka lagi-lagi kita mengundang ayat yang kita harapkan bisa memahamkan kita pada realitas sosial yang memperhatikan ini. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar Rum [30] : 41)
Sebuah Solusi
Menarik sekali kita mencermati penghujung ayat di atas “agar mereka kembali”. Potongan ayat ini mengisyaratkan harus adanya solusi sosial atas musibah yang menimpa masyarakat (dalam hal ini musibah banjir). Menjalani kehidupan sosial yang sadar etika lingkungan alam dan lingkungan sosial serta pandai memahami ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat Allah) yang berlaku atas alam semesta ini sebagai wujud kembali kepada kebenaran Allah Ta’alaa.
Perilaku sosial yang merusak harus dihentikan, siapapun pelakunya. Sikap acuh terhadap perilaku, menyimpang ini hanya akan menebar bencana demi bencana yang mungkin akan menjadi sejumlah lingkaran setan persoalan sosial yang tidak teratasi. []
Artikel ini ditulis oleh almarhum Ustadz Muzayin Abdul Wahab