Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
Penulis Buku Benarkah Kaisar Heraklius Masuk Islam?
wisnu.tp@gmail.com
ALI bin Husain ra berkata, “Kami dahulu diajari tentang sejarah peperangan Nabi sebagaimana kami diajari tentang surat Alquran.” (Al-Jaami’ li Akhlaaq). Generasi awal umat Islam telah meletakkan al maghazi atau sejarah peperangan Rasulullah SAW sebagai materi pokok dalam “silabus” mereka. Al maghazi merupakan di antara pendorong kegemilangan peradaban Islam yang berasaskan pada tauhid dan ilmu.
Sejarah peperangan Nabi tidak saja narasi tentang cara menghilangkan nyawa orang lain sebagaimana kita saksikan dalam dramatisasi peperangan di berbagai film Hollywood, tidak juga ia menitikberatkan pada unsur kekerasan dan kebengisan.
BACA JUGA: Munajat Rasulullah di Perang Badar
Dalam Al Maghazi terdapat etika dalam peperangan, semisal perlakuan baik terhadap tawanan, larangan merusak mayat, keteguhan menjaga perjanjian dengan tidak berlaku khianat, sifat ksatria dan pengorbanan, serta ketabahan dalam menanggung penderitaan semata-mata untuk Allah.
Peperangan dalam Al Maghazi selalu berasaskan pada kebaikan yang lebih besar, atau menghilangkan keburukan yang lebih besar. Peperangan dalam Islam sangat jauh dari perang peradaban-peradaban lain baik sebelum maupun sesudahnya.
Dalam sejarah peperangan Nabi juga terdapat kandungan ilmu yang luas, sebab sejarah Nabi merupakan elemen penting dalam memahami Alquran dan Hadits. Sejarah hidup Nabi secara umum menggambarkan bagaimana Islam itu berjalan dalam implementasinya termasuk dalam peperangan.
Sahabat Nabi mulia sekaligus dari kalangan ahlul bait, Ibnu Abbas, menekankan materi sejarah peperangan Rasulullah SAW sebagaimana kesaksian ‘Ubaidillāh bin ‘Utbah, “Kami menghadiri majelis Ibnu ‘Abbas pada suatu sore dan seluruh waktu beliau habiskan untuk mengajarkan Al Maghazi.”
Teladan Nabi dalam Al Maghazi turut membentuk karakter bagi generasi muslim setelahnya, di mana ketika mereka membuka suatu negeri, mereka tidak membantai penduduknya, tidak menghancurkan tempat-tempat ibadah, tidak membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua, mereka tidak menerapkan pajak yang mencekik sekaligus menjamin keamanan bagi pemeluk agama lain yang berada dalam naungan pemerintahan Islam dengan syarat-syarat yang lunak.
BACA JUGA: Nama-Nama Kaum Musyrikin yang Tewas di Perang Badar
Di atas semua itu, di saat mereka membuka suatu negeri, keadilan dan kemakmuran tersebar luas, ilmu mengakar di kehidupan masyarakat, bahkan tidak jarang lahir para ulama. Islam datang tidak menghapus identitas dan khazanah budaya penduduk setempat, melainkan menyaring untuk membuang yang buruk dan memperbagus yang baik.
Dalam Islam perang bukanlah tentang menumpahkan darah manusia sepuasnya, atau bermotif ekonomi seperti menguasai sumber daya alam dan eksploitasi sumber daya manusia sekaligus membajak sejarah suatu kaum. Islam datang menyebarkan ilmu dan rahmat bagi semesta alam, baik kepada binatang, lingkungan, khususnya kepada sesama manusia. Wallahu A’lam. []
OPINI adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.