PALESTINA–Mayoritas penduduk permukiman Yahudi di pinggiran Jalur Gaza dikabarkan tidak merasa aman setelah tentara penjajah Israel melaksanakan operasi “Sabuk Hitam” pada November 2019 lalu. Temuan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan media Israel usai membunuh seorang pemimpin terkemuka Brigade Al-Quds, sayap militer Gerakan Jihad Islam Palestina, Baha Abu Al-Atta.
Penelitian yang diterbitkan oleh surat kabar Israel Haaretz edisi Rabu (1/1/2020), ini menunjukkan bahwa 63% dari penduduk permukiman Israel di pinggiran Jalur Gaza tidak merasakan perubahan keamanan apapun setelah pembunuhan Abu Al-Atta yang dilakukan oleh pasukan pejajah Israel.
BACA JUGA: Serbu Al-Aqsha, 200 Ektremis Yahudi Dilindungi Polisi Israel
Sementara dua 27% penduduk permukiman yang pada pada jarak 40 km dari perbatasan dengan Jalur Gaza, mengatakan bahwa mereka tidak merasa aman. Mereka mengatakan bahwa perasaan takutnya meningkat setelah terjadi eskalasi terakhir di Jalur Gaza.
Sebanyak 63 persen penduduk permukiman Yahudi di pinggiran Jalur Gaza berpendapat bahwa “Operasi Sabuk Hitam” yang dilakukan tentara Israel di Jalur Gaza tidak menghasilkan perubahan mendasar dalam situasi keamanan di wilayah selatan, juga tidak meningkatkan rasa aman mereka.
Penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa operasi militer “Sabuk Hitam”, yang dilakukan oleh tentara Israel pada November lalu, dibalas oleh perlawanan Palestina dengan meluncurkan 450 roket dari Jalur Gaza, yang sebagian besar menuju permukiman-permukiman Yahudi yang berbatasan dengan Jalur Gaza.
BACA JUGA: Anggota Parlemen Palestina: Gaza Butuh 280 Juta USD untuk Pemulihan
Pada tanggal 12 November 2019 lalu, penjajah Israel melancarkan operasi militer di Gaza, yang dimulai dengan pembunuhan pemimpin Brigade Al-Quds, Baha Abu Al-Atta dan istrinya. Operasi militer ini mengakibatkan 35 warga Palestina gugur, termasuk 8 anak-anak dan 3 wanita. Serta melukai 111 warga lainnya. Sementara banyak rumah, fasilitas, dan institusi sipil hancur. []
SUMBER: PALINFO