IMAM Abu Hanifah berpendapat bahwa Qunut Shubuh tidak disyari’atkan, sedangkan imam Asy-Syafi’i berpendapat sunah, bahkan sunah ab’adh (sunah yang mendekati wajib).
Diceritakan, bahwa Imam Asy-Syafi’i pernah shalat Shubuh di dekat pekuburan Abu Hanifah dalam keadaan tidak qunut. Lalu ada yang menanyakan hal itu. Maka beliau menjawab: “Pantaskah aku menyelisihinya sedangkan aku hadir di dekat kuburannya?”
BACA JUGA: Mengikuti Dalil atau Ulama?
Beliau meninggalkan Qunut waktu itu dalam rangka menghormati dan mengagungkan imam Abu Hanifah. Jika ini beliau lakukan dalam kondisi Imam Abu Hanifah telah wafat, maka bagaimana jika beliau berjumpa langsung dengan Abu Hanifah dalam keadaan masih hidup ?
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa darah yang keluar dari hidung (dalam bahasa Jawa namanya : mimisan) dan bekam membatalkan wudhu. Lalu ada seorang yang bertanya kepada beliau : “Jika ada seorang imam shalat keluar darah dari hidungnya dan tidak berwudhu, apakah anda akan shalat di belakangnya ? Maka imam Ahmad menjawab : “Bagaimana aku tidak shalat di belakang imam Malik dan Sa’id bin Al-Musayyib ?”
Imam ahamd menjawab demikian, sebagai isyarat bahwa imam Malik dan Ibnul Musayyib berpendapat tidak batalnya wudhu disebabkan oleh mimisan dan bekam. Hal ini sebagai penegasan dari beliau, bahwa perbedaan pendapat dalam kedua masalah, tidak menjadikan mereka enggan untuk shalat di belakang sebagian mereka atas sebagian yang lain.
BACA JUGA: Larangan Mencela Ulama
Alangkah indahnya akhlak dan sikap para ulama pendahulu kita. Perbedaan pendapat dalam masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, tidak menjadikan mereka saling bermusuhan, apalagi saling tahdzir dan menyesatkan. Mereka tetap saling menghormati, memuliakan, dan berlapang dada. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita sekalian untuk meneladani akhlak mereka.
Dua kisah di atas disebutkan oleh Waliyyullah Ad-Dihlawi – rahimahullah – (w.1176 H) dalam kitabnya “Hujjatullah Al-Balighah” : (1/39, cetakan Darul Jail – Beirut). []
Facebook: Abdullah Al-Jirani