QUSHAY bin Kilab adalah leluhur dari suku Quraisy, yang salah satu keturunannya adalah Nabi Muhammad. Nama asli Qushay bin Kilab sebenarnya adalah Zaid bin Kilab. Sepeninggal Qushay bin Kilab, kepemimpinan atas kaumnya dan kaum-kaum yang lain dipegang oleh anak-anak Qushay bin Kilab. Namun mereka membagi-bagi Mekkah, setelah sebelumnya disatu padukan oleh Qushay bin Kilab. Mereka membagi-bagi Mekkah untuk kaum dan patner-patner mereka, bahkan mereka menjualnya. Orang-orang Quraisy ikut terlibat dengan mereka dalam hal ini dan tidak ada konflik internal dan pertentangan di antara mereka.
Namun setelah itu, anak-anak Abdu Manaf bin Qushay, yaitu Abdu Syams, Hasyim, Al-Muthalib, dan Naufal bersatu untuk merebut otoritas yang selama ini berada di tangan Abduddar bin Qushay, yakni hak- hak tersebut adalah hak menjaga Ka’bah, komando perang, memberi minum jama’ah haji, dan jamuan buat mereka. Bani Abdu Manaf, Hasyim, Al-Muthalib, dan Naufal menganggap mereka lebih berhak atas hal-hal tersebut daripada Abduddaar, karena mereka lebih terpandang, dan lebih mulia di tengah kaumnya.
BACA JUGA: Perbincangan Mengharukan Antara Quraisy, Kaum Muslimin, dan Raja Habasyah
Efeknya orang-orang Quraisy pun terbelah. Kelompok yang mendukung anak-anak Abdu Manaf mengatakan bahwa Bani Abdu Manaf lebih berhak atas hak-hak tersebut daripada Bani Abduddar, karena kedudukan Bani Abdu Manaf di kaumnya. Kelompok yang mendukung Bani Abduddar mengatakan bahwa apa yang diserahkan Qushay bin Kilab kepada mereka tidak boleh diambil kembali dari mereka.
Pemimpin Bani Abdu Manaf ialah Abdu Syams bin Abdu Manaf, karena ia yang tertua dari Bani Abdu Manaf, sedang peminpin Bani Abduddar adalah Amir bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abduddaar. Sedangkan Bani Asad bin Abdul Uzza bin Qushay. Bani Zuhrah bin Kilab, Bani Taim bin Murrah bin Ka’ab, dan Bani Al-Harts bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr berpihak kepada Bani Abdu Manaf.
Sedangkan Bani Makhzum bin Yaqazhah bin Murrah, Bani Sahm bin Amr bin Hushaish bin Ka’ab, Bani Jumah bin Amr bin Hushaish bin Ka’ab, dan Bani Adi bin Ka’ab berpihak kepada Bani Abduddaar. Sedang Amir bin Luay dan Muharib bin Fihr tidak memihak kepada kelompok mana pun.
Setiap kaum menyatakan perjanjian yang kokoh untuk tidak saling melanggar dan tidak menyerahkan antara satu dengan yang lain selama laut masih basah (selamanya).
Ibnu Ishaq menuturkan: Bani Abdu Manaf mengeluarkan cawan yang dipenuhi dengan parfum. Mereka mengaku bahwa sebagian perempuan Bani Abdu Manaf memberikan cawan tersebut kepada mereka, lalu mereka meletakkannya di sisi Ka’bah untuk patner mereka. Setelah itu, mereka semua mencelupkan tangannya ke dalam cawan tersebut dan saling berjanji bersama patner-patner mereka. Mereka mengusapkan tangannya ke Ka’bah untuk menguatkan perjanjian mereka. Oleh sebab itulah mereka dinamakan Al-Muthayyibun.
Ibnu Ishaq melanjutkan: Bani Abduddar dan patner-patnernya mengadakan perjanjian yang sama kuat di sisi Ka’bah, bahwa masing-masing mereka tidak akan menelantarkan yang lain, tidak pula akan menyerahkan sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Mereka dinamakan Al-Ahlaf (konfederasi).
BACA JUGA: Tuduhan Buruk dari Orang Quraisy untuk Rasulullah
Kemudian masing-masing kabilah merapatkan barisan untuk perang dan siap untuk memulai pertempuran. Bani Abdu Manaf disiagakan untuk menghadapi Bani Sahm. Bani Asad disiagakan untuk menghadapi Bani Abduddar. Bani Zuhrah disiagakan untuk menghadapi Bani Jumah. Bani Taim disiagakan untuk menghadapi Bani Makhzum. Bani Al-Harits bin Fihr disiagakan untuk menghadapi Bani Adi bin Ka’ab. Setelah itu, mereka berkata, “Masing-masing kabilah membasmi lawan-lawan kabilah yang dihadapinya.”
Ketika kedua pasukan sudah telah siap untuk berperang, tiba-tiba masing-masing pihak berinisiatif mengajak pihak lain berdamai dengan satu syarat isi perdamaian, bahwa hak pemberian minum dan jamuan jama’ah haji diberikan kepada Bani Abdu Manaf, sedang hak penjagaan Ka’bah, komando perang dan Daar An-Nadwah dilimpahkan kepada Bani Abduddar sebagaimana sebelumnya. Masing-masing pihak menyepakati point perdamaian, menerimanya, menahan diri dari perang, dan semuanya harus menghormati pihak yang terlibat dalam kesepakatan damai ini. Mereka tetap dalam kondisi seperti ini hingga datangnya Islam. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak perdamaian apapun pada masa jahiliyah, melainkan Islam pasti semakin menguatkannya.” []
Referensi: Sirah Nabawiyah perjalanan lengkap Kehidupan Rasulullah/ Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani/ Akbar Media