Oleh: Hanif Jepara, jeparahanif@yahoo.co.id
ADALAH Urwah bin Zubair, salah seorang tabi’in yang diberi ujian bertumpuk-tumpuk. Masa itu ia hidup di pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik (khalifah keenam dari khalifah-khalifah Bani Umayyah, dan pada zamannya kekuasaan Islam pada puncak-puncaknya).
Saat itu kaki Urwah terkena tumor. Penyakit yang mampu menggerogoti tubuh dari dalam. Agar tidak menjalar pada tubuh yang lain, maka Kaki Urwah harus diamputasi. Dokter menyarankan meminum alhokol supaya nanti saat dimputasi tidak merasakan sakit.
Lantas urwah berkata, “Itu tidak mungkin.! Aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap kesembuhan yang aku harapkan.”
BACA JUGA: Zubair bin Al Awwam, Cinta dan Perhatiannya yang Dalam pada Nabi
Sang dokter berkata, “kalau begitu aku akan membius Anda.”
Urwah berkata lagi, “Aku tidak ingin kalau ada satu dari anggota badanku yang diambil sedangkan aku tidak merasakan sakitnya. Aku hanya berharap pahala di sisi Allah atas hal ini.”
Urwah hanya ingin satu permintaan saja. yaitu sholat saat kakinya diamputasi. Lantas kaki Urwah diamputasi tengah shalat berlangsung. Begitu khusyu’ shalatnya Urwah, sampai-sampai ia tidak merasakan apa-apa saat kakinya diamputasi.
Subhanallah. Tingkat kekhusyu’an seperti apa yang dimiliki seorang tabi’in ini hingga tak merasakan sedikitpun rasa sakit?
Sebelumnya Urwah sedang dirudung duka. Anaknya yang bernama muhammad meninggal. Berawal dari sang anak pertama itu hendak bermain bersama kudanya, tak disangka hewan itu menendangnya. Saat itu juga anaknya meninggal.
Al-Walid bin Abdul Malik menghibur Urwah atas musibah yang bertubi-tubi menimpanya. Urwah telah kehilangan anak, dan setelah itu, ia kehilangan kakinya.
Setelah kejadian itu, Urwah bertemu seorang buta dari bani ‘Abs. Orang buta itu bercerita, dahulu ia tidak buta dan memiliki banyak harta serta keluarga. Tidak ada yang lebih banyak harta dan keluarganya kecuali orang buta tersebut. Suatu ketika orang dari bani ‘Abs ini singgah disebuah lembah tempat tinggal kaumnya. Di tengah malam, tiba-tiba terjadi banjir besar. datangnya banjir itu menghanyutkan apa yang dia punya. Dari keluarga, harta dan tempat tinggalnya hilang.
Tidak ada yang tersisa kecuali seekor unta dan bayi yang tak jauh dari hewan itu. Saat dia hendak mendekati unta itu, ternyata ia takut dan menjauhi laki-laki tersebut. Ia mengejar hewan itu, hingga meninggalkan bayi yang ada didekatnya tadi. Namun terdengar teriakan dari sang bayi. Saat dilihat, ternyata kepala sang bayi sudah berada dimulut serigala. Hatinya begitu teriris melihat pemandangan itu. Ia sudah tidak bisa menolong bayi itu.
Lantas Ia mendekati unta yang dari tadi dikejarnya. Jarak antara dirinya dengan unta tersebut sudah dekat. Tapi anehnya hewan tersebut tiba-tiba memberontak lantas menendang kepala orang itu hingga buta, dan pelipisnya robek.
Akhirnya orang itu sudah lengkap kehilangan. Kehilangan keluarga, harta dan matanya pada satu malam saja.
BACA JUGA: Abu Bakar pun Memeluk Jasad Rasulullah
Demikianlah kisah yang penuh dengan kesabaran. Luasnya sabar menunjukkan besarnya iman. Iman bukan tumbuh dari banyaknya musibah yang menimpa. Musibah hanya sebagai penguat mental dan membentuk baja reaktif dalam hati. Tapi iman tumbuh dari seberapa taat dan patuh dalam menunaikan perintah Allah dan Nabinya.
Kemudian yakin dengan haqqul yakin, terhadap semua perkara keimanan, tanpa sedikitpun bercampur dengan keraguan. Di saat ujian datang bagi orang beriman, ujian merupakan bentuk lain dari kasih sayang Allah kepada hambanya.
Lalu, sampai kapan terus bersabar? Sampai Allah bilang, “Tugasmu di dunia sudah selesai, maka pulanglah!” []