SANGAT penting bagi Anda untuk memiliki jiwa pembelajar, yang terus menerus giat menambah ilmu pengetahuan, wawasan, namun juga ketrampilan. Kehidupan pernikahan adalah kondisi yang sangat dinamis, penuh dengan aneka warna keadaan. Kadang melewati suasana penuh keceriaan dan kebahagiaan, kadang harus melewati kesusahan dan kedukaan. Kita harus siap untuk terus belajar menghadapi semua kondisi kehidupan yang aneka rasa tersebut.
Sebanyak apapun Anda belajar dan mempersiapkan diri untuk membentuk rumah tangga, tetap saja ada bagian yang belum sempat Anda pelajari, saking banyaknya ilmu yang dibutuhkan. Karena kehidupan keluarga itu tidak flat, terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Selalu bertemu hal-hal baru. Benarkah?
BACA JUGA: Mau Dibawa Kemana Rumah Tangga yang Anda Bangun?
Coba kita tengok selintas saja, teori Duvall dan Milller mengenai “8 Stages of The Family Life Cycle” Menurut Duvall dan Miller, kehidupan dan perkembangan sebuah keluarga, akan melalui delapan tahap, yaitu:
Tahap 1: Keluarga Baru/Beginning Family
Tahap pertama sebuah keluarga dimulai pada saat seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga melalui proses perkawinan. Setelah menikah, mereka berdua mulai diakui sebagai sebuah keluarga yang eksis di tengah kehidupan masyarakat.
Pengantin laki-laki dan pengantin perempuan meninggalkan keluarga masing-masing, karena sudah memiliki keluarga baru. Mereka sudah dianggap mandiri dan bertanggung jawab atas diri serta keluarga yang dibentuknya bersama pasangan. Istilah “meninggalkan keluarga” tidak selalu terjadi secara fisik karena kenyataannya banyak keluarga baru yang masih tinggal bersama orang tua atau mertua. Namun secara psikologis mereka sudah “meninggalkan” lingkaran keluarga masing-masing, untuk memulai sebuah keluarga baru.
Dalam keluarga baru ini, hanya ada suami dan istri. Mereka melakukan proses penyesuaian peran dan fungsi. Masing-masing belajar hidup bersama serta beradaptasi dengan kebiasaan sendiri dan pasangannya, seperti pola makan, tidur, bangun pagi, kebiasaan berpakaian, bepergian, dan lain sebagainya. Mereka akan melewati masa-masa indah saat fase romantic love, namun akan mengalami pula masa ketegangan saat berada pada fase disappointment atau distress.
Tahap 2: Keluarga dengan Kelahiran Anak Pertama/Childbearing Family
Tahap kedua ini, menurut Duvall, dimulai dari kelahiran anak pertama hingga bayi pertama ini berusia 30 bulan atau 2,5 tahun. Namun saya cenderung menarik ke garis yang lebih awal, yaitu sejak mulai terjadi kehamilan, karena sudah ada perubahan yang nyata pada keluarga baru setelah sang istri hamil. Ada status yang mulai berubah pada diri suami dan istri tersebut. Kini mereka menjadi calon ayah dan calon ibu bagi janin yang tengah dikandung. Mereka harus mulai belajar dan bersiap untuk menyambut kelahiran anak pertama.
Apalagi ketika sudah lahir bayi pertama, maka status sudah berubah lagi. Kini mereka resmi menjadi ayah dan ibu. Mereka tidak lagi berdua, namun sudah nyata bertiga. Ada bayi di antara mereka. Dulu mereka tidur, bangun, berkegiatan, berdua saja. Kini harus bertiga, dimana si bayi tidak mungkin ditinggalkan begitu saja tanpa pengawasan salah satu dari mereka atau bahkan kedua-duanya.
Tahap 3: Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah/Family With Preschoolers
Tahap ketiga sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama melewati usia 2,5 tahun, dan berakhir saat ia berusia 5 tahun. Pada rentang waktu sekitar 2,5 tahun ini, ada hal yang spesifik pada sebuah keluarga. Anak pertama mereka sudah mulai menjadi balita yang mungil, imut dan lucu, dengan segala tingkah polahnya. Orangtua mulai disibukkan oleh seorang balita yang menyita habis waktu serta perhatian, terutama dari sang ibu. Anak mulai berulah, anak mulai punya keinginan, dan anak mulai dipersiapkan untuk memasuki bangku sekolah.
Di Indonesia, ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menampung anak-anak usia prasekolah. Pada contoh orangtua yang keduanya bekerja serta sibuk, anak-anak dititipkan di PAUD, karena di rumah tidak ada yang menjaga. Corak interaksi sudah sangat berubah dibandingkan dengan dua tahap sebelumnya. Kondisi keluarga pada tahap ketiga ini lebih majemuk. Ada status sebagai suami dan istri, ada status sebagai ayah dan ibu, serta ada anak balita yang sudah mulai menyibukkan orang tua dengan segala tingkah lakunya.
Pada beberapa keluarga, di tahap ketiga ini mereka sudah memiliki lebih dari satu anak. Pada keluarga muda dengan dua atau tiga anak kecil-kecil, menjadikan suasana yang sangat dinamis dalam keluarga tersebut. Orangtua merasakan kesibukan yang sangat berubah dibanding dengan tahap sebelumnya.
Tahap 4: Keluarga dengan Anak-anak Sekolah/Family With School-age Children
Tahap keempat dalam kehidupan keluarga dimulai ketika anak pertama mulai berumur 6 tahun, berakhir pada saat anak berumur 12 tahun. Anak pertama mulai masuk Sekolah Dasar, maka orangtua harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak pada usia sekolah tersebut.
Saat masih usia prasekolah, kendatipun anak mengikuti program PAUD, akan tetapi isinya relatif lebih banyak bermain dan bersenang-senang. Begitu sudah masuk SD, anak mulai mengenal stress karena memasuki lingkungan dan tantangan baru. Mulai ada PR yang harus dikerjakan di rumah. Pada tahap ini biasanya keluarga mencapai jumlah maksimal sehingga suasana menjadi sangat sibuk. Selama enam tahun pada tahap keempat, rata-rata keluarga di Indonesia sudah memiliki lebih dari satu anak.
BACA JUGA: Rumus Rumah Tangga Bahagia Itu Dua: Sabar dan Syukur
Jika anak pertama sudah kelas 6 SD, anak kedua mungkin sudah kelas 3 SD dan anak ketiga mungkin sudah TK. Jika kita bayangkan satu keluarga dengan tiga anak yang sekolah di SD dan TK seperti ini, tampak jelas betapa tingkat kesibukan, kerepotan, keributan dalam keluarga tersebut sangat tinggi.
Ayah dan ibu yang harus mempersiapkan keperluan sekolah anak-anak, urusan PR, urusan pembagian perhatian terhadap tiga anak. Di sisi yang lain, suami dan istri sudah mencapai posisi yang lebih “tinggi” dalam pekerjaan atau karier mereka, sehingga memiliki kesibukan yang juga sangat padat. Pada keluarga yang belum mapan secara ekonomi, maka mengurus tiga anak usia sekolah ini benar-benar membuat mereka harus bekerja ekstra untuk biaya sekolah maupun biaya keperluan hidup keluarga secara layak. []
BERSAMBUNG
SUMBER: KOMPASIANA, CAHYADI TAKARIAWAN