SAUDARAKU,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Āli `Īmrān [3]: 185.)
Saudaraku,
Kematian adalah langkah awal dari perjalanan agung yang memisahkan suami dari istrinya, orang tua dari anaknya, kekasih dari yang dicintainya dan saudagar dari kekayaannya. Perjalanan yang bermuara kepada keabadian; kenikmatan Surga atau kesengsaraan Neraka.
Kematian merupakan hal yang diyakini namun sering kali sengaja dilupakan atau terlupakan; perkara yang diketahui akan tetapi begitu banyak diabaikan. Karena itulah, Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—mengingatkan,
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ – يَعْنِي الْمَوْت
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (yakni kematian).” [Riwayat at-Tirmidzi IV/553/2307, Ibn Mājah II/1422/4258, dan lain-lain.]
Dalam rangka mengingat kematian Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—menganjurkan ziarah kubur. Beliau bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
“Dahulu aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur. Namun saat ini lakukanlah ziarah kubur, karena hal itu mengingatkan kalian terhadap akhirat.” [Ash-Shahīhah II/545/886.]
Saudaraku,
Dahulu, jika Khalīfah `Utsmān Ibn `Affān berdiri di daerah kuburan maka beliau menangis hingga basah jenggot beliau. Ada yang bertanya, “Disebutkan Surga dan Neraka namun Anda tidak menangis, maka mengapa Anda menangis karena kuburan ini?” `Utsmān menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ
“Sungguh, kubur merupakan tempat pertama dari akhirat. Jika seseorang selamat darinya, maka yang berikutnya akan lebih mudah. Namun, jika ia tidak selamat, maka yang berikutnya akan lebih keras lagi.”
`Utsmān melanjutkan, “Rasulullah—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—juga bersabda,
مَا رَأَيْتُ مَنْظَراً قَطُّ إِلاَّ وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ
“Tidaklah aku melihat suatu pemandangan pun (di dunia) melainkan kuburan lebih buruk darinya.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/553/2308; Ibn Mājah II/1426/4267; Ahmad I/63/454; dan lain-lain.]
Saudaraku,
Suatu ketika `Ali Ibn Abī Thālib melewati daerah pekuburan. Beliau mengucapkan salam lalu berkata, “Wahai para penghuni kubur, istri kalian maka telah dinikahi, rumah kalian telah dihuni dan harta kalian telah dibagi. Inilah kabar dari kami, maka bagaimana kabar kalian?” [Tasliyah Ahl al-Mashā’ib, hal. 194 dan al-`Āqibah fī Dzikri’l Maut, hal. 196.]
Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—pernah ditanya, “Siapakah yang paling cerdik dari kalangan kaum mukminin?” Beliau menjawab,
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولئِكَ الْأَكْيَاسُ
“Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya untuk setelah kematian. Mereka itulah orang-orang yang cerdik.” [Shahīh at-Targhīb wa’t Tarhīb III/164/3335.]
Ulama Salaf berkata,
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا
“Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat.” [Lihat Shifah ash-Shafwah vol. I, hal. 639; al-`Āqibah fī Dzikri’l Maut, hal. 43; dan al-Ihyā’, vol. IV, hal. 450. Adapun hadits Nabi s.a.w. dengan lafal dimaksud, maka tidak valid.]
Ka`b berkata, “Barangsiapa mengenal kematian, niscaya menjadi remehlah segala musibah dan kegundahan dunia.” [Al-Ihyā’, vol. IV, hal. 451.] []
Sumber: https://adniku.wordpress.com/2008/02/05/cukup-kematian-sebagai-nasehat/