Oleh: Alfiz Rahdian
Mahasiswa STEI SEBI
zrahdianalfiz@gmail.com
Ihdinash shiratal mustaqim. Shiratal ladzina an’amta ‘alaihim. “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepadanya.”
Begitulah seorang muslim melafalkan kalimat per kalimat dua ayat dalam surah Al-Fatihah tersebut. Ia membacanya pada setiap rakaat shalat lima waktu dalam penghambaan kepada Allah SWT. Begitu pentingnya hidayah itu, sehingga ia harus memohon minimal tujuh belas kali dalam satu hari satu malam. Karena tahu bahwa ia sangat membutuhkan hidayah, sebanyak helaan napasnya.
Dan sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan dan minuman, hatinya pun membutuhkan hidayah sebagai makanan dan minumannya.
BACA JUGA: Tunjukanlah Kami Jalan yang Lurus
Hidayah adalah nikmat yang dianugerahkan Allah kepada seorang hamba dari bilangan nikmat yang ada. Hidayah adalah sentuhan lembut Ilahi untuk mengantarkannya ke pantai kebahagiaan. Hidayah merupakan rengkuhan Ilahi agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesalahan dan kesengsaraan.
Hidayah merupakan pengalihan kemauan seorang hamba yang penuh nafsu dan hawa kepada kehendak Dzat Yang Maha Kuasa. Dan Dia tidak membiarkannya sendirian dalam mencari kebenaran, tetapi tangan-Nya yang menuntun dan mengambil ubun-ubunnya ke arah yang ia lihat.
Orang yang baru timbul kesadarannya dalam menerima Islam, sama seperti orang yang baru terbangun dari tidur panjangnya, atau seperti orang yang baru tersadar dari mabuknya.
Ibnu Qayyim berkata: “kesadaran merupakan kunci pertama kebaikan. Orang yang lalai dalam mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Rabbnya dan lupa dnegan bekal untuk hari kepulangannya, seperti orang yang tidur, bahkan ia lebih parah.
Orang yang berakal pasti mengerti janji dan ancaman Allah, paham balasan dalam melaksanakan perintah dan larangan, serta paham hukum dan kewajibannya. Akan tetapi, hilangnya kesadaran dan adanya kelalaian telah menghalangi seseorang untuk memahami hakikat dan membuatnya lemah dalam mengejar ketertinggalan. Kelalaian yang selama ini membuat ia belum sadarkan diri dari pingsan yang berkepanjangan, condong dan empati dengan dorongan syahwat, hingga kecenderungannya menguat dan ia terbenam dalam lumpur syahwat. Dia pun dikuasai oleh tradisi dan pengaruh orang-orang yang tidak punya pekerjaan, telah meniru orang-orang yang menyia-nyiakan waktu.
Dalam ketidaksadarannya, bersama orang-orang yang pingsan dan dalam mabuknya bersama orang-orang yang mabuk. Karena mata hatinya telah terbuka, dengan satu pekikan dari suara kebenaran, ia pun sadar dan barulah terasa baginya seruan Allah SWT.
BACA JUGA: Menuju Jalan Lurus Bersama Al-Qur’an
Jika demikian yang terjadi pada seorang hamba, maka hal itu pertanda baik. Berarti jejak-jejak kasih sayang Allah sudah mulai tampak di halaman qalbunya, awan mahabbah dan kabut cinta Allah sedang datang berarak-arak menuju langit hatinya. Bersegeralah ia mengambil wadah untuk menampung hujan hidayah, jangan biarkan ia berlalu dan meninggalkannya dalam sendirian,
yang menyebabkan ia harus menunggu dan menunggu pada sebuah penantian yang tidak berkesudahan. []
REFERENSI: Armen Halim Naro, Lc. (2016) Untukmu Yang Berjiwa Hanif. Jakarta: Penerbit Pustaka Imam Syafi’i, Hlm 36-38
OPINI adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.