Al-‘Adatu muhakkamah, adat-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat itu bisa jadi patokan dalam menetapkan hukum. Kaidah fiqih yang disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wan Nazhair, yang dianggap sebagai salah satu dari lima kaidah fiqih utama ini, merupakan ketentuan yang menjadi landasan diakuinya ‘urf dan/atau ‘adah (kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat) dalam penetapan hukum dalam fiqih Islam.
Kaidah yang diakui dan dipakai oleh jumhur ulama mutaakhkhirin, dari empat madzhab dan lainnya ini, tentu ada syarat dan ketentuannya, tidak bisa diterapkan dan dijalankan secara serampangan.
Contoh ‘urf yang diakui misalnya, sebagaimana dikatakan Az-Zuhaili dalam Ushul Al-Fiqh Al-Islami, adalah sahnya jual beli mu’athah (jual-beli tanpa lafazh ijab qabul). Jual-beli semacam ini sebenarnya bertentangan dengan ketentuan yang disebutkan oleh kalangan fuqaha mutaqaddimin, yang mensyaratkan adanya lafazh ijab-qabul. Lafazh ijab-qabul disyaratkan, karena “saling ridha” antara pembeli dan penjual itu perkara samar, dan kesamaran itu baru akan hilang jika ada lafazh jelas yang menunjukkan keridhaan tersebut, dan itu adalah lafazh ijab-qabul.
BACA JUGA: Alasan Kenapa Islam Melarang Riba
Namun, setelah berkembangnya pola interaksi dan transaksi antar manusia, ternyata sifat “saling ridha” itu masih bisa dilihat dari indikasi tertentu, meskipun tanpa ada lafazh ijab dan qabul. Karena itu, memperhatikan adanya ‘urf di masyarakat, kebanyakan fuqaha mutaakhkhirin membolehkan dan menganggap sah jual-beli mu’athah.
‘Urf seperti jual-beli mu’athah ini diakui dan diterima, meskipun ia bertentangan dengan syarat yang ditetapkan oleh sebagian ahli fiqih, karena ia pada hakikatnya tak menabrak dalil-dalil syariah dan prinsip-prinsip pokok beragama. Ia hanya tafsiran baru, berdasarkan ‘urf di masyarakat, atas maksud “saling ridha” antara penjual dan pembeli.
Namun sebaliknya, jika ia bertentangan dengan nash sharih atau prinsip-prinsip pokok dalam Islam, maka ‘urf itu tidak diakui dalam fiqih Islam, dan dianggap ‘urf fasid. Contoh ‘urf fasid misalnya: kebiasaan sebagian muslimah yang membuka aurat di depan umum, dan campur-baur (ikhtilath) laki-laki dan perempuan di tempat-tempat pertemuan. Dua contoh ini, meskipun berlaku di tengah masyarakat, namun ia tetap tak bisa dibenarkan, karena bertentangan dengan nash syar’i dan prinsip-prinsip pokok dalam Islam.
Berbicara tentang Islam Nusantara, atau Islam rasa Indonesia, atau Islam khas Indonesia, kita perlu memperhatikan bahasan ‘urf di atas. Seperti yang pernah saya sampaikan dulu, muslim di Indonesia memang tak harus persis sama dengan muslim di Arab. Kalau di Arab gamisan, di Indonesia tak apa sarungan. Kalau di Arab menyembelih onta, di Indonesia tak apa menyembelih kerbau. Kalau di sebagian negeri Arab, kebiasaan cium tangan ulama jarang dipraktekkan, di Indonesia tak apa dipraktekkan. Dst.
Namun pada perkara-perkara yang jelas nash syar’i-nya dan telah ditetapkan sebagai prinsip-prinsip pokok dalam Islam, maka Islam di Arab, di Nusantara, di China, di Eropa, atau di manapun, tak boleh beda.
Muslimah Arab menutup aurat secara sempurna, muslimah Nusantara pun wajib melakukan hal yang sama, tak cukup dengan koteka atau kemben saja. Islam Arab anti syirik, maka Islam Nusantara pun juga wajib menghindari syirik, dengan tak membuat-buat patung untuk disembah, atau bikin sesajian buat “penguasa” laut dan gunung.
BACA JUGA: Tsawabit dan Mutaghayyirat dalam Politik Islam
Islam Arab komitmen dengan aqidah dan syariah, dan menjauhi pemikiran sekuler dan liberal, Islam Nusantara pun harus demikian juga. Diin Islam adalah diin Islam, tak berbeda antara di Arab dengan di Nusantara.
Jadi, jika konsep “Islam Nusantara” atau konsep “Islam khas Indonesia” itu sekadar memunculkan karya ilmiah para ulama Nusantara, atau mengangkat sebagian ‘urf baik sebagai ciri khas, maka itu tak mengapa, bahkan kita dukung.
Namun jika yang dimaksud “Islam khas Indonesia” itu adalah keislaman yang bingung, keislaman yang mengusung pluralisme agama, keislaman yang tak yakin diin-nya sebagai satu-satunya jalan keselamatan, keislaman yang meremehkan Syariah, keislaman yang suka mengejek dan menjelek-jelekkan ulama yang tidak sepandangan dengannya, dan keislaman yang menjadikan para pelawak sebagai tokoh agama rujukan, maka ini adalah kebatilan, dan harus ditolak. []
Wallahu a’lam.
Facebook: Muhammad Abduh Negara