SAAT Khalifah Harun Ar-Rasyid berniat mengirimkan salinan kitab Al-Muwaththa ke seluruh negeri, sebagai panduan bagi setiap qadhi dalam memutuskan hukum, Imam Malik, sang penulis kitab, menolak hal tersebut. Karena menurut beliau, di setiap negeri sudah ada ulama, dan masing-masing memiliki pandangannya sendiri-sendiri. (Baca: Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan, hlm. 350-351).
Inilah sikap sejati orang yang berilmu. Walaupun beliau punya pandangan, dan tentu beliau menganggap pendapatnya itu adalah pendapat yang benar, namun beliau tidak pernah menafikan adanya pandangan ulama lain yang berbeda. Seandainya beliau mau, tentu beliau bisa saja menyetujui keinginan sang Khalifah, hingga Al-Muwaththa dan madzhab beliau tersebar di seluruh negeri Islam yang dikuasai ‘Abbasiyah.
BACA JUGA: Beda Pendapat Antara Syaikh bin Baz dan Syaikh Al-Albani
Dalam kesempatan lain, Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في قولي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به وما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
Artinya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Dikutip dari kitab I’lam Al-Muwaqqi’in ‘An Rabb Al-‘Alamin, Juz 1, hlm. 60 karya Ibn Qayyim Al-Jauziyyah)
Lihatlah perkataan Imam Malik di atas, beliau yang kapasitas keilmuannya tak diragukan lagi, Imam Darul Hijrah, guru para ulama besar, ternyata tak memonopoli kebenaran. Beliau, dengan rendah hati, mengakui bahwa beliau hanyalah manusia biasa, yang bisa jadi benar, bisa juga keliru. Coba bandingkan dengan sikap sebagian orang saat ini, keilmuannya belum sampai setengah dari yang dimiliki Imam Malik, namun lagaknya sudah seperti ulama besar. Dengan gampangnya mereka meremehkan, menghujat dan bahkan menyesatkan pihak lain yang mengikuti pendapat berbeda dengan yang dianutnya.
Dalam riwayat yang masyhur, disebutkan di banyak kitab, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Siapa saja yang melakukan istihsan, sesungguhnya ia telah membuat syari’at sendiri.” (Penisbatan ini misalnya disebutkan oleh Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa: 171, Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam: 4/156, dan Al-Qarafi dalam Al-Furuq: 4/145).
Dan sudah masyhur, Imam Malik adalah ulama yang menggunakan istihsan dalam ushul fiqihnya (Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu: 1/46). Apakah Imam Asy-Syafi’i pernah menghujat atau menyesatkan Imam Malik? Tak pernah sama sekali.
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa wajib wudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Kemudian beliau ditanya, “Jika imam shalat keluar darah, dan ia tidak berwudhu lagi, apakah saya tetap shalat di belakangnya?”, Imam Ahmad menjawab, “Mengapa engkau tidak mau shalat di belakang Sa’id bin Al-Musayyib dan Malik?” (cerita ini saya dapatkan di Fatawa Mu’ashirah Juz I, karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, baca online di: http://www.qaradawi.net/library/50/2284.html, dan di Adab Al-Ikhtilaf fi Al-Islam, karya Dr. Thaha Jabir Fayadh Al-‘Alwani, baca online di: http://www.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang=A&BabId=10&ChapterId=10&BookId=209&CatId=201&startno=0; keduanya diakses pada tanggal 11 Februari 2012).
BACA JUGA: Benarkah Imam An-Nawawi Tidak Berpendapat Melafazkan Niat?
Lihatlah Imam Ahmad, walaupun beliau berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahmatullahi ‘alaihima, tidak sedikitpun beliau merendahkan kedudukan mereka berdua.
Perbedaan pendapat, dalam perkara ijtihadi, sangat memungkinkan melahirkan beragam pendapat. Menghadapi hal ini, seharusnya kita bisa berlapang dada. Walaupun kita menganggap pendapat yang kita ikuti lebih kuat, kita tetap harus menghormati orang lain yang pendapatnya berbeda. Adanya keragaman pendapat ini juga seharusnya membuka cakrawala berpikir kita, jika ternyata kebenaran ada pada orang lain, kita harus siap untuk menerima kebenaran tersebut dan meninggalkan pendapat kita sebelumnya. []
Wallahu a’lam bish shawab.
Facebook: Muhammad Abduh Negara