KALI ini, saya akan sedikit berbagi tentang keagungan Syariah Islam, terutama pada bagian sistem sanksi (nizham al-’uqubat). Tulisan ini merujuk pada sebuah buku karya Syaikh Abdurrahman al-Maliki dan Syaikh Ahmad ad-Da’ur rahimahumaLlah yang berjudul “Nizham al-’Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat“. Buku terjemahnya berjudul “Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam”. Mari kita belajar bersama.
‘Uqubat disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS. Al-Baqarah: 179).
BACA JUGA: Wacana Kebenaran Islam Pluralis
Mafhum dari ayat tersebut adalah, adanya hukum qishash (yang merupakan bagian dari ‘uqubat) mampu menjaga jiwa manusia. Logikanya sederhana, qishash, yaitu sanksi bunuh terhadap pembunuh, akan membuat orang berpikir ribuan kali untuk melakukan pembunuhan. Inilah maksud dari ungkapan dalam qishash terdapat kehidupan. Dapat kita simpulkan bahwa ‘uqubat berfungsi sebagai pencegah kejahatan (zawajir).
Kejahatan adalah perbuatan tercela (qabih), yaitu yang dicela oleh Syari’ (Allah). Suatu perbuatan tidak dianggap kejahatan kecuali syara’ menetapkan bahwa perbuatan itu tercela. Syara’ juga telah menetapkan bahwa setiap perbuatan tercela sebagai dosa, dan harus dikenai sanksi, baik sanksi akhirat maupun dunia.
Sanksi bagi para pelaku perbuatan dosa di akhirat, dapat kita ketahui, misalnya, dari firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut.
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (TQS. At-Taubah: 34-35).
Sedangkan sanksi di dunia, misalnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (TQS. An-Nuur: 2).
Sanksi di dunia dilaksanakan oleh Imam (Khalifah) atau orang yang mewakilinya. Sanksi di dunia, selain sebagai zawajir (pencegah dari kejahatan) juga sebagai penebus dosa di akhirat (jawabir). Maksudnya, jika seorang pelaku kejahatan mendapatkan sanksi di dunia, maka Allah akan menghapus dosanya dan meniadakan baginya sanksi di akhirat, bagi orang yang Dia kehendaki.
BACA JUGA: Islam, Antara Agama dan Ideologi
Dalilnya adalah Hadits riwayat Bukhari rahimahullah dari Ubadah ibn Shamit radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu majlis dan beliau bersabda, “Kalian telah membaiatku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, kemudian Beliau membaca keseluruhan ayat berikut, ‘Barangsiapa diantara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah kaffarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau (mungkin) mengazab’.”
Hal ini juga ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Hadits tentang seorang wanita yang dirajam hingga mati karena mengaku berzina, Beliau bersabda:
“Sungguh ia telah bertaubat seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan mencukupi mereka semuanya”. (HR. Muslim).
Fungsi ‘uqubat sebagai zawajir (pencegah kejahatan) dan jawabir (penebus dosa) ini tak pernah ada dalam sistem manapun selain sistem sanksi Islam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara
Web: Abahfurqan.net