ALLAH ‘azza wa jalla menyampaikan khithab seruan terhadap seluruh mukallaf (orang yang dibebani hukum, maksudnya sudah baligh berakal) berupa perkara ushul (dasar) yaitu aqidah (keyakinan) dan furu’ (cabang) yaitu kumpulan hukum-hukum tentang perbuatan dan sikap manusia.
Namun kajian ushul fiqih hanya membahas hukum-hukum tentang perbuatan dan sikap manusia, tidak membahas perkara-perkara aqidah. Berbeda dengan fiqih, ushul fiqih membahas hukum-hukum tentang perbuatan dan sikap manusia dilihat dari sisi kaidah dasar untuk membangun pemahaman terhadap hukum-hukum tersebut, bukan dari sisi cabang-cabang hukum untuk perbuatan dan sikap manusia. Ringkasnya, ushul fiqih adalah ilmu yang mempelajari kaidah dasar untuk memahami fiqih. Tanpa ushul fiqih, seseorang tak akan mampu memahami fiqih secara benar dan utuh.
Salah satu pembahasan utama dalam kajian ushul fiqih adalah tentang hukum syar’i. Apa itu hukum syar’i atau hukum syara’? Berikut penjelasannya.
BACA JUGA: Siapakah yang Berhak Mengeluarkan Hukum?
Definisi Hukum Syar’i
Berikut beberapa definisi hukum syar’i (dalam kajian ushul fiqih) menurut ulama:
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, dalam kitab beliau asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3:
خطاب الشارع المتعلق بأفعال العباد بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع
Artinya: Seruan asy-Syari’ yang berhubungan dengan aktivitas hamba, berupa tuntutan, pemberian pilihan atau penetapan. (lihat asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3 halaman 37)
Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah hafizhahullah, dalam kitab beliau Taysir al-Wushul ila al-Ushul:
خطاب الشارع المتعلق بأفعال العباد بالإقتضاء أو بالوضع أو التخيير
Artinya: Seruan asy-Syari’ yang berhubungan dengan aktivitas hamba, berupa tuntutan, penetapan atau pemberian pilihan. (lihat Taysir al-Wushul ila al-Ushul halaman 9)
Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf rahimahullah, dalam kitab beliau ‘Ilm Ushul al-Fiqh:
خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
Artinya: Seruan asy-Syari’ yang berhubungan dengan aktivitas mukallaf, berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan. (lihat ‘Ilm Ushul al-Fiqh halaman 100)
Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah, dalam kitab beliau al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh:
خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع
Artinya: Seruan Allah ta’ala yang berhubungan dengan aktivitas mukallaf, berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan. (lihat al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh halaman 119)
Masih banyak definisi yang disampaikan oleh ulama lain di kitab mereka yang secara umum tidak jauh berbeda. Di sini saya akan menggunakan definisi yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah.
Berikut sedikit penjelasan dari definisi yang disampaikan Syaikh an-Nabhani di atas:
1. asy-Syari’ maksudnya adalah Allah ta’ala. Disebut seruan asy-Syari’, bukan seruan Allah, adalah untuk menghindarkan kesalahpahaman bahwa seruan yang dimaksud cuma al-Qur’an. Yang benar adalah seruan tersebut mencakup al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ Shahabat. Penjelasan lebih detail tentang hal ini akan disampaikan nanti, insya Allah.
2. Dikatakan “berhubungan dengan aktivitas hamba” bukan “berhubungan dengan aktivitas mukallaf” adalah untuk mencakup hukum-hukum seputar anak kecil dan orang gila, misalnya tentang zakat atas harta mereka.
Pembagian Hukum Syar’i
Dari definisi di atas, dapat kita pahami bahwa hukum syar’i terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
Pertama
Seruan asy-Syari’ yang berhubungan dengan penjelasan hukum atas aktivitas manusia berupa tuntutan dan pemberian pilihan. Ini dinamakan khithab at-Taklif.
Yang dimaksud dengan tuntutan adalah tuntutan untuk melakukan atau untuk meninggalkan, baik tuntutannya bersifat tegas atau tidak. Dan yang dimaksud dengan pemberian pilihan adalah manusia diperbolehkan memilihnya, melakukan atau meninggalkan.
BACA JUGA: Apakah Akal Bisa Mengetahui Hukum Allah, Tanpa Nash Syariah?
Di bagian pertama ini akan dibahas tentang hukum-hukum atas perbuatan manusia, misalnya wajib, haram dan mubah dari sisi penjelasan tentang maksud dari wajib, haram dan mubah tersebut.
Kedua
Seruan asy-Syari’ yang menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas aktivitas manusia, yaitu perkara-perkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya. Ini disebut khithab al-Wadh’i.
Jika di bagian pertama membahas tentang apa maksud dari “wajib”, maka bagian kedua ini akan membahas kapan hal yang “wajib” tersebut bisa terwujud.
Wallahu a’lam bish shawwab.
Bahan Bacaan:
1. asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Penerbit Daar al-Ummah, Beirut-Libanon (ebook)
2. Taysir al-Wushul ila al-Wushul, karya Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah, Penerbit Daar al-Ummah, Beirut-Libanon (ebook)
3. ‘Ilm Ushul al-Fiqh, karya Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah, Syabab al-Azhar (ebook)
4. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, karya Dr. Wahbah az-Zuhaili, Penerbit Daar al-Fikr, Damaskus-Suriah (ebook)
Facebook: Muhammad Abduh Negara
Web: Abufurqan.net