AMR (الأمر) secara bahasa artinya adalah tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan yang berasal dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya (طلب الفعل على وجه الإستعلاء). Definisi ini saya kutip dari kitab asy-Syakhsiyah al-Islamiyah Juz 3 hal 207. Definisi yang sama (dengan sedikit perbedaan redaksi, tapi maknanya sepenuhnya sama) juga disampaikan oleh Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah hafizhahullah dan Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah di kitab mereka.
Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah hafizhahullah di kitab beliau menegaskan bahwa pengertian amr harus dikembalikan ke makna bahasanya, karena amr tidak memiliki makna syar’i. Beliau juga membantah sebagian ulama ushul yang menyatakan bahwa amr memberi arti wajib, atau memberi arti mandub (sunnah) atau memberi arti ibahah (mubah), semua hal tersebut -menurut beliau- tidak memiliki dasar yang kuat. Makna amr harus dikembalikan ke makna bahasanya, dan baru bisa dipahami bersifat wajib, mandub, atau mubah jika ada indikasi (qarinah) yang menjelaskan status amr tersebut. Tentang qarinah –secara lebih mendalam- akan saya jelaskan nanti, insya Allah.
Lawan dari amr adalah nahy yang berarti tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan yang berasal dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya (طلب الترك على وجه الإستعلاء). Seperti amr, pengertian nahy juga harus dikembalikan ke makna bahasanya.
BACA JUGA: Hukum Aborsi dalam Islam
Hukum Asal Perbuatan Manusia
Untuk membahas hal ini, mari kita renungi firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini:
Pertama:
فوربك لنسألنهم أجمعين . عما كانوا يعملون
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Hijr [15] : 92-93)
Ats-Tsa’labi di kitab tafsir beliau menjelaskan bahwa Allah akan menanyai semua manusia di hari kiamat tentang perbuatan mereka di dunia (lihat tafsir ats-Tsa’labi Juz 5 halaman 354). Al-Bukhari di kitab Shahih beliau menyatakan bahwa sebagian ahlul ‘ilmi menjelaskan bahwa ayat ini adalah tentang kalimat laa ilaaha illallaah (lihat Shahih al-Bukhari Juz 1 halaman 25). Bahkan, menurut al-Qurthubi, bahwa ayat ini adalah tentang kalimat laa ilaaha illallaah marfu’ dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits dari Anas ibn Malik yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Dan telah mafhum bagi kita, kalimat laa ilaaha illallaah berkonsekuensi amal perbuatan.
Al-Qurthubi, setelah menjelaskan panjang lebar perihal tafsir surah al-Hijr ayat 92-93 ini, menyimpulkan bahwa ayat ini berlaku umum untuk seluruh pertanyaan yang merupakan hisab bagi orang-orang kafir dan mu’min kecuali orang-orang yang masuk surga tanpa hisab (lihat tafsir al-Qurthubi Juz 12 halaman 258-260).
Kedua:
وما تكون في شأن وما تتلوا منه من قرءان ولا تعملون من عمل إلا كنا عليكم شهودا إذ تفيضون فيه
Artinya: “Kalian tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur’an, dan kalian tidak mengerjakan suatu perbuatan, melainkan Kami menjadi saksi atas kalian di waktu kalian melakukannya.” (QS. Yunus [10]: 61)
Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa makna ikhbar (berita) dari Allah kepada hamba-Nya bahwa Allah menyaksikan perbuatan mereka adalah Allah akan menghisab dan meminta pertanggungjawaban amal perbuatan mereka.
Mari kita renungi juga hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
Pertama:
من أدحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya: “Barangsiapa yang membuat-buat suatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, maka (perkara) tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Hadits ini merupakan penegasan bahwa kita wajib menyesuaikan perbuatan kita dengan hukum Allah ‘azza wa jalla, dan terlarang bagi kita untuk melakukan bid’ah.
Kedua:
أن عثمان بن مظعون أتى النبي فقال : أتأذن لي في الإختصاء ؟ فقال الرسول : ليس منا من خصى أو اختصى وإن اختصاء أمتي الصيام . قال : يا رسول الله ، أتأذن لي في السياحة ؟ قال : سياحة أمتي الجهاد في سبيل الله . قال : يا رسول الله ، أتأذن لي في الترهب ؟ قال : إن ترهب أمتي الجلوس في المساجد لانتظار الصلاة
Artinya: “Sesungguhnya ‘Utsman ibn Mazh’un menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata, (wahai Rasulullah) apakah Anda mengizinkanku melakukan pengebirian? Rasul bersabda, ‘Bukan termasuk golonganku orang yang melakukan pengebirian dan minta dikebiri. Sesungguhnya pengebirian umatku adalah berpuasa’. ‘Utsman berkata, wahai Rasulullah apakah Anda mengizinkanku melakukan tamasya? Rasul bersabda, ‘Tamasyanya umatku adalah jihad di jalan Allah’. ‘Utsman berkata lagi, wahai Rasulullah apakah Anda mengizinkanku menjadi rahib? Rasul bersabda, ‘Kerahiban umatku adalah duduk di masjid untuk menunggu shalat’.” (HR. Ibnu al-Mubarak)
Ketiga:
عن حذيفة بن اليمان قال : كان الناس يسألون رسول الله عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني ، فقلت : يا رسول الله إنا كنا في جاهلية و شر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر ؟ قال : نعم . قلت : وهل بعد ذلك الشر من خير ؟ نعم ، وفيه دخن . قلت وما دخنه ؟ قال : قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر . قلت : فهل بعد ذلك الخير من شر ؟ قال : نعم ، دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها . قلت : يا رسول الله صفهم لنا . قال : هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا . قلت : فما تأمروني إن أدركني ذلك ؟ قال : تلزم جماعة المسلمين وإمامهم . قلت : فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام ؟ قال : فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك
Artinya: “Dari Hudzaifah ibn al-Yaman, beliau berkata, orang-orang (biasa) bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut hal itu akan menimpaku. Aku bertanya, wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sebelumnya ada dalam kejahiliahan dan kejahatan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami, apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan? Rasul menjawab, ‘Ya’. Aku bertanya lagi, dan apakah setelah keburukan itu ada kebaikan? Rasul menjawab, ‘Ya, tetapi didalamnya terdapat asap (yang akan menutupinya)’. Aku bertanya, apakah asap tersebut? Rasul menjawab, ‘Kaum yang mendapat petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau akan mengenal mereka dan mengingkari mereka’. Aku bertanya lagi, apakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan lagi? Rasul menjawab, ‘Ya, akan ada orang-orang yang mengajak pada pintu-pintu jahannam, barangsiapa yang menyambut (seruan) mereka, maka akan dilemparkan ke dalam jahannam’. Aku berkata, wahai Rasulullah tolong sebutkan ciri-ciri mereka. Rasul bersabda, ‘Mereka itu seperti kita dan berbicara dengan lisan-lisan (bahasa) kita’. Aku bertanya, apa yang Anda perintahkan kepadaku jika aku menjumpainya? Rasul menjawab, ‘Engkau harus berada bersama jamaaatul muslimin dan imam mereka’. Aku bertanya, bagaimana jika tidak ada jama’ah atau imam? Rasul menjawab, ‘Tinggalkanlah firqah-firqah itu semuanya, meskipun engkau harus menggigit akar pohon hingga mati dalam keadaan seperti itu’.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits kedua dan ketiga merupakan contoh pertanyaan para shahabat radhiyallahu ‘anhum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang aktivitas mereka. Mereka selalu bertanya kepada Rasul tentang aktivitas mereka sebelum mereka melaksanakannya.
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits diatas, dapat kita simpulkan bahwa asal perbuatan hamba adalah terikat dengan hukum syar’i. Seorang muslim harus mengetahui hukum Allah tentang suatu perbuatan sebelum mereka mengerjakannya.
Hukum Asal Benda
Benda berbeda dengan perbuatan. Benda adalah sesuatu yang digunakan oleh manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Sedangkan perbuatan adalah aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik fi’liyah maupun qauliyah, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Perbuatan biasanya berhubungan dengan benda.
Seperti perbuatan, benda juga ada hukumnya, meskipun nash-nash yang menerangkan hukum tentang benda berbeda dengan nash-nash yang menerangkan hukum perbuatan. Mengutip pernyataan Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah, syara’ hanya memberi sifat pada benda dengan halal dan haram saja. Artinya pilihan bagi benda hanyalah benda tersebut halal atau haram. Halal berarti boleh digunakan atau dimanfaatkan, dan haram sebaliknya.
BACA JUGA: Siapakah yang Berhak Mengeluarkan Hukum?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قل أرءيتم ما أنزل الله لكم من رزق فجعلتم منه حراما وحللا
Artinya: “Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal’…” (QS. Yunus [10]: 59)
ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حللا وهذا حرام
Artinya: “Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, ‘ini halal dan ini haram’…” (QS. An-Nahl [16]: 116)
إنما حرم عليكم الميتة
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai…” (QS. An-Nahl [16]: 115)
حرمنا كل ذي ظفر
Artinya: “…Kami haramkan segala binatang yang berkuku…” (QS. Al-An’aam [6]: 146)
ويحرم عليهم الخبئث
Artinya: “…dan Dia (Allah) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (QS. Al-A’raaf [7]: 157)
لما تحرم ما أحل الله لك
Artinya: “…mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu…” (QS. At-Tahriim [66]: 1)
قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق
Artinya: “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rizki yang baik…” (QS. Al-A’raaf [7]: 32)
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به
Artinya: “Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih atas nama selain Allah…” {QS. Al-Maaidah [5]: 3)
ألم تروا أن الله سخر لكم ما في السموات وما في الأرض
Artinya: “Tidakkah kalian memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi…” (QS. Luqman [31]: 20)
كذلك سخرها لكم لتكبروا الله على ما هداكم
Artinya: “…Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian agar kalian membesarkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kalian…” (QS. Al-Hajj [22]: 37)
يأيها الناس كلوا مما في الأرض حللا طيبا
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi thayyib dari apa yang terdapat di bumi…” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
ألم تر أن الله سخر لكم ما في الأرض
Artinya: “Apakah engkau tidak melihat bahwasanya Allah telah menundukkan bagi kalian apa yang ada di bumi…” (QS. Al-Hajj [22]: 65)
Dari nash-nash di atas, dapat kita simpulkan bahwa Allah telah menghalalkan seluruh benda, kecuali yang dijelaskan keharamannya. Dengan demikian, hukum asal suatu benda adalah ibahah (boleh digunakan) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Wallahu a’lam bish shawab.
Bahan Bacaan:
1. asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Penerbit Daar al-Ummah, Beirut-Libanon (ebook)
2. Taysir al-Wushul ila al-Wushul, karya Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah, Penerbit Daar al-Ummah, Beirut-Libanon (ebook)
3. al-Ushul Min ‘Ilm al-Ushul, karya Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, Penerbit Daar al-Iman, Iskandariyah (ebook)
4. al-Jaami’ ash-Shahiih, karya Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Penerbit al-Mathba’ah as-Salafiyah, Kairo (ebook)
5. al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’an, karya Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthubi, Penerbit Muassasah ar-Risalah, Beirut-Libanon (ebook)
6. al-Kasyf wa al-Bayan, karya Imam Abu Ishaq ats-Tsa’labi, Penerbit Daar Ihyaa’ at-Turaats al-‘Arabi, Beirut-Libanon (ebook)
Facebook: Muhammad Abduh Negara
Web: Abufurqan.net