BAGI umat Muslim awal, pengetahuan adalah harta yang akan mereka cari dengan penuh semangat. Tidak terkecuali ilmu kedokteran dan farmasi.
Praktik awal kedokteran Muslim menekankan pentingnya menjaga kesehatan melalui intervensi yang alami.
Filsafat Hippocratic ‘Premium non nocera’ (pertama tidak membahayakan) adalah gagasan yang terpelihara dengan baik dalam pikiran mereka karena mencerminkan ajaran agama mereka. Perkataan Nabi Muhammad, “ Tubuhmu memiliki hak atas dirimu” (mutafaq alaih – Ṣaḥīḥ al-Bukhārī) membuka jalan mereka menuju kemajuan luar biasa dalam bidang medis, farmasi, dan kesehatan.
Mempelajari sejarah, kita dapat melihat bahwa kedokteran dan ilmu pengobatan serta obat-obatan dalam peradaban Islam melewati tiga tahap utama (Abouleish, nd). Tahap pertama dimulai pada awal abad ke-7 dengan mengumpulkan dan menerjemahkan pengetahuan medis orang-orang Yunani, Persia, Siria Asyur, India, dan Bizantium (Nagamia, 1998).
BACA JUGA: Bocoran Ilmu Kedokteran dalam Setengah Ayat Alquran dan Satu Kalimat Hadis
Tak lama kemudian, dokter Muslim mulai menguraikan kumpulan pengetahuan yang dikumpulkan dan sebagian besar memperluasnya melalui pengalaman, eksplorasi, eksperimen, pengujian, dan praktik. Ini terjadi selama Zaman Keemasan peradaban Islam yang membawa kontribusi asli dari dokter Muslim di bidang medis, farmasi, herbal, nutrisi dan botani.
Tahap kedua ini diperpanjang selama abad kesembilan hingga ketiga belas. Namun, selama tahap terakhir, penurunan terjadi yang mencerminkan stagnasi dan kemunduran seluruh negara Islam secara bertahap.
Selama tahap kedua, banyak dokter, orang Arab maupun non-Arab, berkontribusi pada perkembangan obat.
Dokter seperti Al-Razi, atau Razes (841 – 926), dan Ibnu Sina yang dikenal sebagai Avicenna (980 – 1037) adalah pelopor dalam bidang medis. Buku-buku dan ajaran mereka digunakan sebagai pangkalan untuk studi medis di Eropa selama berabad-abad yang akan datang.
Ketenaran Al-Razi dimulai dengan pendirian sebuah rumah sakit di Baghdad pada abad ke-9 yang mencakup bangsal khusus untuk penyakit mental. Ia juga merintis dalam pengobatan holistik dan spiritual, menganjurkan penyembuhan dan perawatan untuk seluruh pasien. Gagasan ini tercermin dengan baik dalam bukunya ‘ Al-Tibb al-Rawhani’ (Pengobatan Spiritual) di mana ia menekankan pentingnya pemurnian jantung dan perilaku etis dan berbudi luhur dalam mencapai penyembuhan total.
Sementara Ibnu Sina meletakkan dasar praktik medis, menyusun Materia Medica lengkap, menggambarkan penyakit dan malfungsi dan memberikan formularium lengkap tentang solusi, saran, dan resep untuk perawatan melalui bukunya yang terkenal, Al-Qanun fi al-Tibb (Hukum dalam Kedokteran).
Pada awal abad ke-10, dokter Muslim mengobati penyakit mata dan bahkan melakukan operasi katarak. Al-Mawsili, dokter spesialis mata dan dokter Irak, merancang jarum khusus untuk menghilangkan katarak dengan penyedotan. Dan, sebuah buku teks yang lengkap tentang penyakit mata ‘Notebook of the Oculist’ ditulis oleh Ali Ibnu Isa juga di Baghdad pada abad ke-10. Referensi berharga Ibnu Isa didasarkan pada pengetahuan Eropa tentang oftalmologi modern (Al-Hassani, 2006).
Ibnu al-Nafis, ulama Muslim Suriah, menggambarkan dalam sebuah risalah yang ditulis pada 1210 tentang peran jantung dan paru-paru dalam pemurnian darah dan menguraikan deskripsi Ibnu Sina tentang sirkulasi paru-paru. Ibnu al-Nafis secara akurat menggambarkan struktur anatomi bilik jantung dan struktur halus sistem peredaran darah ratusan tahun sebelum penemuan Barat.
Muslim awal juga meletakkan dasar farmakologi modern melalui karya awal Sabur ibnu Sahl, Al-Razi dan Ibnu Sina pada awal abad ke-9. Belakangan, pada abad ke-11, Al-Biruni menulis karya agungnya yang terkenal ‘The Book of Pharmacology‘ yang menyusun karya luar biasa tentang obat-obatan. Tulisan Al-Zahrawi ‘ Al-Tasrif’ (Dispensing) lebih lanjut mengajarkan metode persiapan obat dan formulasi mulai dari obat sederhana sampai ke peracikan kompleks (Al-Hassani, 2006).
BACA JUGA: Masa Berjayanya Kedokteran Islam (1)
Konsep-konsep utama yang mewujudkan kedokteran seperti yang dipraktikkan selama periode ini didasarkan pada makna esensial keseimbangan. Mereka mempresentasikan peran dokter sebagai salah satu dalam menyeimbangkan dan menyelaraskan fungsi tubuh secara keseluruhan sambil memulihkan kesehatan dan penyembuhan pada bidang fisik, emosional, mental dan spiritual.
Penyakit fisik diperkirakan timbul terutama sebagai akibat dari akumulasi zat limbah berlebih di dalam tubuh. Terlalu banyak makan, pilihan makanan yang tidak tepat dan kebiasaan tidak sehat lainnya dianggap sebagai sumber akumulasi materi yang tidak sehat, dan gejala penyakit muncul ketika proses pencernaan menjadi kewalahan (Al-Jauziyah, 2003).
Lebih penting lagi, bagaimanapun, itu adalah kepercayaan mendasar dari seorang dokter Muslim bahwa tubuh fisik tidak boleh menjadi satu-satunya kepentingan dokter. Adalah Ruh, atau jiwa, yang memberikan vitalitas dan esensi sejati pada tubuh ini (Nagamia, 1998). Oleh karena itu penting bagi seorang dokter Muslim untuk mengetahui dengan baik penyakit jantung dan jiwa dan bagaimana cara merawatnya bersama dengan mengelola gejala fisik.
Bagaimana perkembangan selanjutnya? Simak artikel berikutnya, ya. []