ADA saja cara kalangan liberal dan pendukung pluralisme untuk menjustifikasi pemikiran mereka. Salah satu cara yang sangat sering mereka lakukan adalah memelintir ayat dan menafsirkannya sekehendak perut mereka. Mereka selalu berargumen bahwa menafsirkan kitab suci adalah hak setiap orang, dan tidak boleh ada yang mengklaim dan membatasi kebenaran hanya pada satu tafsir saja. Bagi saya, pernyataan ini berbahaya karena terkesan benar padahal pondasinya sangat rapuh.
Berbicara tafsir Al-Qur’an, maka pijakan awal kita adalah kesepakatan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, Tuhan semesta alam. Mengapa Al-Qur’an harus diyakini sebagai kalam Allah? Saya persilakan Anda mengkajinya di kitab-kitab yang membahas ‘Aqidah maupun ‘Ulumul Qur’an. Pijakan awal ini mengharuskan kita untuk menyepakati bahwa tafsir yang benar adalah tafsir dari-Nya sendiri. Jadi, untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, yang pertama harus dilakukan adalah menafsirkannya dengan ayat Al-Qur’an lain yang relevan atau melalui hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang Allah sendiri telah nyatakan bahwa hadits Rasulullah juga merupakan wahyu dari-Nya.
BACA JUGA: Tercengang dengan Ayat Alquran yang Terangkan Anatomi Kulit, Profesor Ini Bersyahadat di Atas Podium
Cara kedua –jika tafsirnya tak dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits– adalah dengan mengikuti penafsiran kalangan shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in. Mengapa? Sangat jelas, karena shahabat adalah murid langsung dari Nabi, mereka mengiringi Nabi sepanjang perjalanan hidup beliau, tentu mereka lebih bisa memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dibanding kita. Hal ini terlalu logis untuk dibantah.
Cara ketiga –jika pun tak ada juga tafsir dari shahabat–, maka kita harus kembali ke fakta bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan dalam bahasa Arab. Untuk memahami makna-maknanya, kita harus merujuk ke bahasa tersebut. Maka, di sebagian kitab tafsir, ada ulama tafsir yang menafsirkan sebagian ayat mengikuti makna bahasanya. Untuk melakukan ini, perlu mujahadah untuk memahaminya. Tidak bisa sembarangan, apalagi serampangan. Selain penguasaan bahasa, ahli tafsir juga perlu menguasai ilmu-ilmu syar’i lainnya, tentunya agar tafsirnya tidak menyimpang dari pondasi dasar Islam.
Nah, sayangnya, para penganut pluralisme dengan pongahnya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an seenak perut mereka sendiri tanpa mengikuti kaidah ilmiah yang seharusnya. Tentu wajar jika tafsirnya harus kita gugat. Tentu wajar jika tafsirnya tak layak untuk dirujuk. Sangat logis.
Nah, salah satu ayat yang mereka pelintir adalah surah Al-Baqarah ayat 62. Berikut bunyi ayatnya.
إِنَّ ٱلَّذِينَ آمَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلنَّصَارَىٰ وَٱلصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Secara serampangan mereka menafsirkan ayat ini sebagai pembenaran bahwa bukan cuma umat Islam yang akan selamat, bukan cuma yang mengikuti Muhammad yang berada di jalan kebenaran. Benarkah tafsirnya seperti itu? Jawabannya, tidak.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, beliau menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pertanyaan Salman Al-Farisi tentang shahabat-shahabat beliau dulu yang beragama Nashrani. Dari pertanyaan Salman tersebut, turunlah ayat ini.
BACA UGA: Kisah Mualaf Sri Sayati, Masuk Islam karena Sering Dengarkan Salawat
Ibnu Katsir kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Yahudi di ayat tersebut adalah orang-orang yang mengikuti Taurat dan sunnah Musa hingga datang ‘Isa. Yang dimaksud Nashrani adalah orang-orang yang mengikuti Injil dan Syariat ‘Isa hingga datangnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga menjelaskan, pengikut Musa yang tidak mengimani dan mengikuti ‘Isa –setelah kedatangan Isa– akan celaka. Demikian juga pengikut ‘Isa yang tidak mengikuti Muhammad dan syariat yang dibawanya, juga akan celaka. Tentang Shabiin, sebagian ahli tafsir berbeda pendapat, namun semuanya menunjuk pada satu pemahaman bahwa Shabiin adalah penganut ajaran-ajaran terdahulu sebelum kedatangan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Statusnya pun sama persis dengan Yahudi dan Nashrani.
Jika ingin lebih yakin, silakan langsung merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir atau tafsir mu’tabar lainnya.
Dari sini bisa kita pahami bahwa ayat ini sama sekali tidak membenarkan ‘aqidah orang-orang yang menganut selain Islam setelah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Secara ‘aqidah mereka adalah kafir dan tidak akan mendapatkan keselamatan di akhirat kelak. Bagi seorang muslim, pemahaman seperti ini harusnya mudah saja diterima. Pemahaman ini juga sesuai dengan firman Allah di surah Ali ‘Imran ayat 85 sebagai berikut.
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلإِسْلَـٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلآخِرَةِ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ
Web: Abahfurqan.net
Facebook: Muhammad Abduh Negara