Oleh : Muhammad Fahrul Rizal
Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff Tarim
Penulis Aktif di Ahgaff Pos
ahgaffpos95@gmail.com
BEGITULAH pertanyaan beberapa muslimah saat ini ketika mendengar beberapa tokoh mengatakan bahwa “Jilbab atau Hijab buat muslimah ga wajib”. Ya begitulah.. Di era milenial, hukum – hukum yang udah paten dalam Syari’at Islam mulai di utak – atik atau minimal umat islam dibikin ragu terhadap hukum permasalahan tersebut.
Adapun permasalahan hukum berhijab (dalam pengertian menutup aurat bagi Muslimah) itu telah dibahas dengan tuntas detail oleh Para ‘Ulama terdahulu, begitupula telah dibahas oleh Al Ustadz Dr. Syauqi Ibrahim ‘Allam di website Darul Ifta Al Mishriyyah. Dalam tulisan beliau, permasalahan Hijab ini dibahas secara detail berikut bantahan terhadap orang yang mengingkari kewajibannya. Berikut ulasan ringkasnya :
Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu Ushul Fiqh permasalahan dalam Syari’at Islam beserta hukumnya itu terbagi menjadi 2 :
1. Permasalahan Yang Hukumnya “Mujma’ ‘Alaih”
Yaitu permasalahan yang hukumnya telah menjadi Ijma’ (konsensus) dan permasalahan ini menjadi hal yang “ma’lum minaddin bidh dhoruroh”, baik dalilnya sejak awal bersifat “Qoth’i”, atau tadinya bersifat zhonni, tapi menjadi Qoth’i karena sebab ijma’ kaum muslimin.
Permasalahan yang termasuk kategori ini tidak boleh bagi siapapun menentang atau menyelesihinya.
2. Permasalahan yang hukumnya “Mukhtalaf Fiih”
Yaitu permasalahan yang teterjadi erbedaan pendapat dikalangan Mujtahidin dan tidak terjadi ijma’/konsensus diantara mereka mengenai hukum permasalahan tersebut. Dalam kategori ini seorang muslim boleh mengikuti pendapat mana saja atas arahan seorang mufti, karena perbedaan dalam hal ini adalah rahmat.
Ijma’ menjadi pengontrol dan penjaga hukum – hukum yang telah ditetapkan dalam islam dan mengubah dalil zhonni (baik dari segi tsubut maupun dalalahnya) menjadi Qoth’i,
sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk berijtihad dalam hal ini. Menyalahkan ijma’ sama halnya menghancurkan ajaran Agama Islam.
Contohnya :
1. Umat islam telah berijma’ bahwa wudhu itu dilakukan sebelum shalat, walaupun berdasarkan Al Maidah : 6 ada ihtimal/kemungkinan wudhu itu dilakukan setelah shalat, karena lafadz “Qiyam” pada ayat tersebut redaksinya menggunakan “Fi’il Madhi” dan menggunakan ‘Athaf “fa” yang berfaidah tartib. Akan tetapi tatkala terjadi ijma’ diantara kaum muslimin bahwa wudhu dilakukan sebelum shalat, maka wajib menafsirkan lafadz “قمتم” dalam ayat tersebut dengan makna majazi yaitu “irodatush sholah”, sehingga makna ayat tadi menjadi “apa bila kamu hendak mengerjakan shalat” bukan “apabila kamu telah mengerjakan shalat”.
2. Umat islam juga berijma’ bahwa mengkonsumsi khamr itu hukumnya haram, meskipun Nash Al Quran ( Al Maidah : 90 ) redaksinya tidak menggunakan lafadz “tahrim” tapi menggunakan lafadz “ijtinab” , begitupula sebagimana kita ketahui bahwa redaksi “amr / perintah” kemungkinan juga berfaidah sunnah, akan tetapi tatkala terjadi ijma’ diantara kaum muslimin mengenai keharaman mengkonsumsi khamr maka wajib menafsirkan redaksi amr / perintah dalam ayat itu kepada wajib.
Begitupula telah terjadi konsensus / ijma’ diantara mujtahidin, para fuqoha ummah islamiyyah bahwa hijab bagi muslimah hukumnya adalah wajib tatkala ia telah baligh. Wajib bagi seorang muslimah menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sebagian ‘Ulama berpendapat kedua telapak kaki boleh di tampakkan, selain itu sebagian ‘Ulama yang lain berpendapat boleh menampakkan pergelangan tangan atau bagian lengan yang terkadang nampak tatkala seorang wanita sedang bekerja.
Adapun selain bagian itu, maka tidak ada perbedaan diantara para ‘ulama baik salaf maupun kholaf mengenai kewajiban menutup bagian tersebut, karena kewajiban ini telah disebutkan secara shorih (jelas dan gamblang) baik dalam Al Quran maupun Hadits Nabi saw dan mereka telah bersepakat, apabila seorang wanita membuka bagian tubuh yang wajib ditutup menurut syara’ maka ia telah berdosa dan wajib bertobat kepada Allah swt.
Berikut dalil dari Al Quran, Hadits dan Ijma’ :
1. Al Quran
A. Al Ahzab : 58
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri – isteri mu, anak – anak perempuan mu dan wanita – wanita kaum muslimin agar mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka , dengan demikian mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Latar belakang turunnya ayat ini adalah, dahulu wanita – wanita muslimah menampakkan rambut, leher dan sebagian dadanya, lalu Allah swt memerintahkan menutup bagian – bagian tersebut dengan menjulurkan jilbab. Dan lafadz “wa nisaail mu’miniin” menjadi argumentasi bahwa sasaran hukum pada ayat ini mencakup seluruh muslimah.
Berkata Muqotil bin Sulaiman dalam Tafsirnya: “(dengan menjulurkan jilbab keseluruh tubuhnya) mereka lebih layak/mudah dikenali dari cara berpakaiannya bahwasannya mereka bukan wanita “penggoda” dan mereka termasuk wanita yang menjaga kehormatannya, maka tidak ada satupun laki – laki berhasrat kepada mereka (untuk berzina).”
B. QS. An-Nur : 31
1). Dalam ayat ini Allah swt melarang wanita menampakan “perhiasannya” (bagian tubuhnya) kecuali yang biasa tampak. ‘Ulama berbeda pendapat mengenai apakah yang dimaksud “perhiasan yang biasa tampak” itu.
Sebagian ‘Ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah wajah dan telapak tangan, sebagian ‘Ulama Salaf (seperti Sayyidah ‘Aisyah r.ha) menambahkan kedua telapak kaki termasuk “perhiasan (bagian tubuh)” yang boleh di tampakkan, ini pendapat dari Imam Abi Hanifah, Ats -Tsauri, Al Muzani dari syafi’iyah, dan ikhtiyarnya Ibnu Taimiyah dari Hanabilah , sebagian ‘Ulama ada yang menambahkan “Maudhi’us siwar” (bagian lengan yang biasa dipakaikan gelang), sebagian ‘Ulama ada yang menafsirkan “perhiasan yang biasa tampak” dalam ayat ini adalah baju/pakaian wanita (sehingga wanita wajib menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah dan telapak tangan).
Adapun bagian tubuh wanita selain yang telah disebutkan oleh Para ‘Ulama diatas , maka seorang muslimah wajib menutupnya, karena selain bagian yang telah disebutkan tidak ada perbedaan diantara para ‘ulama baik salaf maupun kholaf atas kewajiban menutup bagian tersebut.
2) Dalam ayat ini Allah swt juga memerintahkan muslimah untuk menjulurkan “Khimar” nya ke atas “juyub”. Adapun makna dari khimar :
Berkata Al Fayumi dalam Al Misbah Al Munir ” khimar adalah pakaian yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya, bentuk pluralnya adalah “khumur” ”
Adapun “juyub” bentuk plural dari “jayb” yang artinya adalah dada.
Perintah Allah untuk menjulurkan khimar keatas jayb , menandakan bahwa seorang muslimah wajib menutup kepala, rambut, leher dan dadanya.
Imam Thobari dalam Jami’ul Bayan mengatakan : “Allah SWT berfirman agar wanita menjulurkan khumurnya (khumur bentuk jamak/plural dari khimar) ke atas “juyub” mereka, agar mereka menutup rambut, leher dan anting – anting (telinga) mereka”
Berkata Imam Ibnu Hazm dalam “Muhalla” :
“Allah Swt memerintahkan wanita untuk menjulurkan khimarnya keatas “juyub” merupakan perintah untuk menutup aurat, leher dan dada, dan perintah ini juga menunjukan kebolehan menampakan wajah”
2. Hadits
Hadits Imam Abu Dawud dalam Sunannya : dari ‘Aisyah r.ha sesungguhnya Asma Binti Abi Bakar Ash-Shidiq r.huma menemui Rasulullah saw dengan pakaian yang tipis, lalu Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata “Wahai Asma, sesungguhnya apabila wanita telah mencapai usia baligh, tidak boleh dilihat darinya kecuali bagian ini dan ini (Rasulullah saw mengisyarahkan bagian wajah dan telapak tangan)”
Adapun mendho’ifkan hadits ini sebab perawi Sa’id bin Basyir tidaklah tepat, karena banyak para Imam yang menghukuminya tsiqoh, dan Al Hakim menshohihkan haditsnya dalam Al Mustadrok (menkukunya embahasan kedudukan hadits ini bisa baca selengkapnya tulisan asli Dr. Syauqi Ibrahim di website darul ifta al mishriyyah).
3. Ijma’
‘Ulama berijma’ baik salaf maupun kholaf akan kewajiban hijab bagi muslimah, ini termasuk perkara “ma’lum minaddin bidh-dhoruroh”, diantara ‘Ulama yang menukil ijma’ :
Imam Ibnu Hazm berkata dalam “Maratib Al Ijma’ ” Telah bersepakat para ‘Ulama bahwa rambut wanita merdeka serta tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangannya, dan mereka berbeda pendapat mengenai wajah dan kedua telapak tangan beserta kukunya apakah termasuk aurat atau tidak” dan Imam Ibnu Taimiyah menyetujui hal ini dalam kitab “Naqdu Marotibil Ijma’ ”
Al Hafizh ibnu Abdil Bar Al Maliki berkata dalam kitabnya “At-Tamhid”
” Ulama telah berijma’ bahwa seorang wanita saat ihram diperintahkan membuka wajahnya saja tidak dengan kepalanya, dan ia tetap menutup kepalanya dan rambutnya saat berihram”
“seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan menurut mayoritas ‘ulama, dan mereka telah berijma’ mengenai wanita membuka wajahnya saat shalat dan ihram. Berkata Imam Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i beserta ashabnya dan ini merupakan pendapat Al Auza’i dan Abi Tsaur : Wajib Bagi wanita menutup seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan Abu Bakar bin Abdurrahmah bin Al Harits berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya.”
Dan masih banyak lagi ‘ulama yang menukil ijma’ dalam hal ini.
Setelah menyampaikan argumentasi kewajiban berhijab secara terperinci, Syekh Dr. Syauqi Ibrahim dalam website Darul Ifta Al Mishriyyah beliau menyampaikan :
“Berdasarkan hal itu, kewajiban wanita menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan, telapak kaki dan sebagian lengannya termasuk hukum syari’at bersifat qath’i yang dimana kaum muslimin dari berbagai mazhab fiqh dan pemikiran telah berijma’ atas hal ini sepanjang kurun waktu, tidak ada satupun ‘ulama yang menyimpang dari pendapat ini baik generasi salaf maupun kholaf. Adapun pendapat yang mengatakan wanita boleh menampakan bagian tubuhnya selain yang telah disebutkan diatas (misalkan rambut) dalam kondisi tidak darurat atau ada hajat yang sangat mendesak maka pendapat ini telah bertentang dengan perkara yang “ma’lum minaddin bidh-dhoruroh” dan ini merupakan pendapat yang mengada – ngada dan sesat/ menyimpang dan kita tak boleh menisbatkan pendapat ini terhadap ajaran islam”.
Sebagai closing statement saya tampilkan perkataan dari Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buty dalam kitabnya ” ‘ilaa kulli fataat” halaman 49, setelah beliau menjelaskan aurat muslimah :
” apabila kita menemukan setelah itu kejadian atau prilaku individu dari isteri – isteri sahabat atau tabi’in atau selain mereka yanh bertentangan dengan konsensus (ijma’) para ‘ulama yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah yang telah dijelaskan secara gamblang maka prilaku ini harus dikalahkan oleh hukum yang telah paten berdasarkan Ijma’ , Qur’an dan Sunnah, mana mungkin hukum Allah harus dikalahkan oleh mereka”
So, kalau prilaku isteri sahabat saja tatkala bertentangan dengan Quran, Sunnah dan Ijma’ harus ditolak, apalagi hanya seorang isteri ustadz atau kiyai, bukan begitu ferguso? []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.