Oleh: Prof. KH Ahmad Satori Ismail
ISLAM adalah agama kemanusiaan. Kemanusiaan menjadi ciri khusus Islam, baik dalam teori maupun praktik. Kemanusiaan ini berhubungan erat dengan akidah Islam, syiarnya, manhaj, dan etikanya.
Ukhuwah Imaniyah yang dibangun Islam menetapkan bahwa semua manusia adalah berasal dari turunan induk manusia yang satu, yaitu Adam dan Hawwa (QS an-Nisa: 1). Zaid bin Arqam mendengar Rasulullah SAW berdoa pada setiap selesai shalat, “Aku bersaksi bahwa semua hamba Allah adalah berukhuwah/bersaudara.” (HR Abu Daud).
BACA JUGA: Ini 3 Unsur dalam Diri yang Disucikan melalui Puasa Ramadhan
Secara gamblang, semua ibadah dalam Islam senantiasa dilandasi dengan sendi kemanusiaan ini. Shalat umpamanya. Dalam syarat, rukun dan pelaksanaannya bersendi atas aspek kemanusiaan. Orang yang tidak mampu berdiri diperbolehkan duduk, dst. Shalat juga harus memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia.
Shalat yang benar harus mampu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan kemungkaran (QS al-Ankabut: 45). Demikian juga shaum. Shaum adalah istimewa. Allah berfirman dalam sebuah hadis Qudsi, “Setiap amalan anak cucu Adam adalah baginya, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku dan Aku-lah yang akan langsung membalasnya.”
Shaum adalah ibadah yang bersendi kepada kemanusiaan. Ia hanya diwajibkan kepada manusia Muslim yang sehat jasmani dan rohani. Orang gila tidak wajib berpuasa. Bila seorang Muslim tidak mampu shaum karena safar (bepergian syar’i) atau karena sakit atau uzur lainnya, boleh tidak berpuasa dan bisa menggantinya pada yang lain (QS al-Baqarah: 184).
Shaum dan hubungannya dengan kemanusiaan ini bisa ditinjau dari aspek hikmahnya. Di antara hikmah diwajibkannya shaum adalah:
Pertama, mengokohkan ruhiyyah, karena manusia terdiri atas aspek jasmani dan aspek rohani. Saat shaum, seorang Muslim dikokohkan aspek rohaninya. Bila seorang Muslim berpuasa, akan kokoh rohaninya. Dan bila kokoh rohaninya, akan kokoh jasmaninya, apalagi shaum bila dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW akan menjadikan jasmaninya sehat walafiat.
Kedua, shaum juga disyariatkan untuk merealisasi ketakwaan (QS al-Baqarah: 183). Orang yang sedang shaum wajib menjauhi semua yang mubahat, yang membatalkan puasanya apalagi yang makruh dan yang haram. Hal ini menguatkan ketakwaan. Ketika seorang bertakwa, maka akan memiliki dampak sosial pada sekelilingnya. Ia menjadi orang yang sangat baik dan tidak mungkin mengganggu lainnya.
BACA JUGA: Apa Saja Ketentuan bagi Orang-Orang yang Berhalangan Puasa?
Ketiga, shaum mengendalikan keinginan. Manusia memiliki kemampuan berpikir, merenung, berkehendak, dan kemampuan lainnya. Saat shaum, seorang Muslim dikendalikan semuanya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal yang membatalkan shaumnya atau mengurangi pahala shaumnya. Dengan shaum, seorang Muslim akan menjadi orang yang produktif karena terkendali pikiran, keinginan, dan perbuatannya.
Keempat, shaum diwajibkan untuk mengingat nikmat Allah. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis panjang bersabda, “Biarlah aku kenyang sehari dan lapar sehari, bila aku kenyang aku mensyukuri nikmat dari aku lapar aku ber-tadhorru kepada-Mu. (HR At turmudzi). Singkatnya, shaum yang benar akan merealisasi kemanusiaan manusia dan mengokohkan kepedulian sosial yang tinggi terhadap manusia lainnya.
Semoga shaum kita bisa dilaksanakan dengan maksimal, sehingga bisa menggapai rahmah dan maghfirah, juga menumbuhkan kepedulian sosial yang tinggi dalam kehidupan ini. Wallahu a’lam. []
SUMBER: IKADI