INI adalah hari kedua aku dan Bapak tak bertegur sapa. Kami satu atap namun tak kunjung saling tatap bahkan sekedar menanya kabar. Entah apa yang saat ini Bapak rasakan, mungkin masih marah. Atau Bapak sudah memaafkanku namun tak kuasa untuk menatapku walau hanya beberapa detik.
Tepatnya dua hari yang lalu. Aku dengan segudang aktivitasku di kampus, hampir seluruh kehidupanku, kuhabiskan di kampus. Ya, teman-teman yang mengenalku sebagai aktivis dengan kondisiku yang harus pulang-pergi kampus dan rumah.
Ini adalah hari yang cukup melelahkan bagiku. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari yang penuh dengan tugas dan ujian akhir. Dan kini, tepatnya jam 7 malam. Aku masih tetap menunggu angkutan umum yang kutumpangi untuk segera menancap gasnya. Aku terdiam di belakang supir yang masih celingukan mencari sang penumpang.
Tasku terasa bergetar begitu lama. Dan seperti biasa, wanita tercantik sedunia itu menelponku. Ya! Aku memanggilnya mama, namun nama yang muncul dilayar telponku adalah “Ayahku”. Panggilan pertama tak sempat aku jawab, namun mata ini tertuju pada layar HP yang menyuruhku untuk memilih salah satu kalimat yang tertera di layar HP. Kalimat pertama yang muncul adalah “Jangan ganggu saya” aku tak mengerti apa maksud dari beAra silver ini. Namun jempol ini tak sengaja meluncur dan akhirnya terkirimlah pesan singkat itu yang aku tak mengerti maksudnya. Bahkan aku tak tau pesan itu terkirim untuk siapa.
Hingga akhirnya kebingunganku terpecah ketika mama kembali menelpon dengan menggunakan nomor Bapak. “Ara masih dimana? Mengapa belum pulang?” pertanyaan yang sudah sangat ku hapal dari wanita yang telah mendidikku ini.
“Ara masih di jalan mah, di sudirman macet. Tapi sekarang Ara sudah sampai jalan mashudi kok,” jawabku dengan penuh kehati-hatian.
“Ya sudah hati-hati ya,” jawab mama singkat yang kemudian menutup telponnya.
Lima menit kemudian sampailah aku di surganya dunia. Ya, Rumah ini sudah bagaikan surga dunia bagiku. Tempat di mana aku dibesarkan dan dididik dengan sangat baik. Mama terperanjat ketika melihat aku membuka pintu, “Loh sudah sampai lagi? Bukankah tadi Ara bilang sampai jalan mashudi?” Tanya mama dengan keheranan.
Dengan tubuh yang mulai lemas dan wajah tak karuan aku hanya menjawab, “Iya Mah…” Namun seketika rasa lemasku terganti dengan penuh keheranan. Mata indah mama dengan bulatan coklat di dalamnya membuatku bertanya-tanya. “Mama habis nangis ya? Mama kenapa?” Desakku penasaran.
“Nanti lagi tak usah menunggu siapa pun untuk mengantarmu kuliah, belajar mandiri. Keberhasilan akan hadir suatu hari nanti,” jawab mama dengan senyum.
Namun aku sangat mengenal mama, mama sangat lihai dalam menyembunyikan masalahnya. “Mama kenapa ih?” Desakku lagi
“Mama gak kenapa-napa ko, kepala mama sakit. Jadi mama nangis, biar gak sakit lagi,” jawab mama sambil tertawa. Namun aku seolah tak mengiyakan cerita mama, aku menatapnya lekat. Dan mama hanya tersenyum tak banyak bercerita.
Rasanya mata ini tak tahan membendung air mata yang sudah terkumpul. Dan akhirnya ia keluar begitu deras tanpa suara. “Loh Ara kenapa nangis? Mama gak kenapa-napa kok. Sudah, sekarang kamu makan lalu istirahat,” ujar mama. Batinku terasa kesal, aku merasa jadi anak yang tak berguna. Mungkin mama kembali berselisih dengan bapak karena bapak tak sempat mengantarkanku kuliah pagi ini. Pikirku terus melayang. Rasanya kepala ini begitu berat. Banyak pikiran aneh yang kini memenuhi ruang memoriku.
Rasanya begitu sakit dan sesak. Kepala ini dipenuhi begitu banyak cerita dan masalah akhir-akhir ini. Aku sangat berharap bahwa lantunan ayat suci al-quran yang kuputar melalui HPku bisa mengurangi sakitnya kepala ini. Lampu kamar pun aku gelapkan dan aku mulai beranjak ke dunia mimpi.[]
BERSAMBUNG