BILAL bin Rabah ialah yang dilukiskan oleh para ahli riwayat, ia yang berkata, “Saya ini hanyalah seorang Habsyi. . . dan kemarin saya seorang budak belian!”
Hingga tiba pada saat dimana Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam menjatuhkan pilihan bahwa Bilal sebagai mu’adzin pertama dalam Islam. Dengan suaranya yang merdu dan atas keimanan hingga menjadi keharuan dari suara gema itu. Kehitaman kulitnya sekali-kali tak mampu membatasinya untuk menempati kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran.
Posisinya semasa Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam tak tergantikan oleh siapapun. Namun setelah Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam meninggalkan alam fana pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah Bilal menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi.
BACA JUGA: Tatkala Adzan Berkumandang
Ketika Khalifah Abu Bakar memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu Bilal berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”
“Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf, apakah engkau membebaskanku karena dirimu apa karena Allah? Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku,” Bilal melanjutkan.
Setelah Bilal berkata seperti itu, maka Abu Bakar pun hanya terdiam.
Lama Bilal tak mengunjungi Madinah. Hingga pada suatu malam, Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?”
Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam.
Setelah tiba di Madinah, Bilal melepas rasa rindunya. Saat itu, kedua cucu Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam mendekati nya, ialah Hasan dan Husein.
Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam itu.
Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.”
Saat itulah menjadi adzan terakhir yang dikumandangkan oleh Bilal. Saat waktu shalat tiba, ia naik ke menara dan adzanlah di tempat dahulu biasa ia adzan pada masa Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam masih hidup.
BACA JUGA: 10 Adab Ketika Mendengar Adzan
Suaranya yang syahdu dan penuh wibawa membuat kenangan lama bangkit kembali.
Seluruh isi kota Madinah berlarian dan berteriak hingga wanita pingitan pun ikut keluar menuju arah suara. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya. Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Rasa senang tertelan oleh tangisan yang pecah, sedang suara yang paling keras tangisnya diantara mereka ialah Umar. []
Sumber: Karakterisik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah/Penulis: Khalid Muhammad Khalid/Penerbit: Diponegoro