CUKUP banyak mereka berdatangan. Semuanya dari kalangan miskin. Mereka sepakat mendatangi Rasulullah, setelah sebelumnya saling mencurahkan isi hati mereka. Mereka memikirkan amal mereka yang terasa kalah dengan golongan sahabat yang lain. Hingga mereka mutuskan mendatangi teladan mereka.
Setelah Rasul yang mereka cintai berada di hadapan mereka, juru bicara sahabat golongan miskin itu mengadukan permasalahan mereka, ”Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah banyak membawa pahala. Mereka shalat, kami pun bisa menunaikan shalat. Mereka berpuasa, kami pun dapat berpuasa. Tapi mereka bisa bersedekah dengan kelebihan dan keunggulan harta mereka. Sementara kami tak dapat bersedekah, wahai Rasulullah. Kalau demikian keadaannya, kami akan selalu kalah dengan mereka.”
Rasulullah tersenyum mendengar keluhan mereka. Mereka protes karena masalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Mereka bertanya tentang “kekalahan” berburu pahala Allah.
Dengan sejuk dan penuh penghormatan Rasul melihat mereka dengan perasaan haru penuh cinta. Lalu Rasulullah saw pun berasabda, ”Tenanglah saudara-saudaraku, bukankah Allah telah menjadikan buat kalian sesuatu yang kalian dapat bersedekah dengannya? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah. Amar makruf nahi mungkar adalah sedekah, dan pada hubungan suami istri pun adalah sedekah.”
Mereka bertanya, ”Wahai Rasulullah, andaikan seseorang di antara kami menyalurkan syahwatnya (hubungan suami istri), apakah padanya ada pahala?” Rasulullah saw menjawab, ”Bagaimana pendapat kalian, jika ia menyalurkan syahwatnya pada yang haram, apakah baginya ada dosa? Demikian pula jika ia menyalurkan syahwatnya pada yang halal, pasti akan ada pahala baginya.” (HR Muslim).
***
Subhanallah, indah para sahabat yang tergolong dari kalangan miskin tersebut “berdemonstrasi” kepada Rasulullah. Ghibthah, contoh yang mereka lakukan. Yaitu iri positif terkait dengan urusan akhirat. Benar, indah yang dipermasalahkan dan complain mereka adalah tentang amal kebaikan.
Inilah di antara keistimewaan generasi sahabat Rasulullah, yaitu gemar dan termotivasi berlomba-lomba untuk meraih kebaikan. Mereka berpacu untuk mendapatkan pahala dari Allah swt, ingin lebih dari yang lain dalam ketaatan.
Sudah sepatutnya kita bercermin. Karena justru banyak di antara kita ramai mempermasalahkan bila terkait duniawi. Banyak yang iri pada sesama hanya disebabkan tentang kekayaan, kendaraan, kecantikan, jabatan. Sementara bila terkait hebatnya ibadah shalat, kuatnya infak dan sedekah, luar biasanya membantu orang lain, giatnya baca Al-Qur’an, lebih banyak merasa biasa saja, tak mengukir semangat meraih yang sama.
Demikian dapat kita lihat indahnya penjelasan Rasulullah di atas. Setelah menerima keluhan mereka, beliau lukiskan makna luas dan aneka warna sedekah, gambarkan banyak jalan untuk beramal.
Dalam arti, jika sedekah tidak mampu diwujudkan dengan bentuk harta, maka sejatinya berzikir, mengajak pada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan meletakkan sesuatu pada tempat yang halal adalah bernilai sedekah. Zikir kepada Allah merupakan sarana pengakuan anugerah nikmat serta mengagungkan-Nya. Dengannya kita meyakini bahwa keberadaan kita adalah yang terbaik dalam pandangan Allah.
Karena itu, kita harus menyebut nama-Nya sebagai tanda syukur, pengokohan Zat Allah, dan inilah yang juga bernilai sedekah.
Saling berbagi kebaikan di antara jalan luas raih pahala sedekah. Bukan materi yang diberikan, tapi pemaknaan agar sesama raih kebaikan, mendukung kebenaran tentu dapat bernilai sedekah yang dalam beberapa kondisi lebih baik daripada materi. Demikian halnya menyelamatkan sesama dari keburukan merupakan langkah terpuji berbagi yang sejati.
Selain itu, meletakkan sarana pemberian Allah pada tempatnya yang halal merupakan jenis sedekah yang paling ringan. Pasalnya meletakkannya pada yang haram bermakna merusak karunia-Nya dan merugikan orang lain. Nafkah untuk anak istri adalah sedekah utama, membeli untuk kepentingan individu adala sedekah utama.
Dengan demikian, kita tidak perlu berputus-asa dalam bersedekah. Sedekah bisa dengan harta, bisa dengan zikir, tahmid, dan bahkan sekadar ucapan baik.
Oleh sebab itu, mari terus semangat berbuat kebaikan. Tak perlu merasa sempit berbuat ketaatan. Sekecil apapun yakinlah Allah Maha Membalas. Karenanya tidak tepat meremehkan kebaikan sekecil apapun, Rasulullah saw mengingatkan, “Jangan pernah meremehkan kebaikan sekecil apapun, walaupun hanya dengan tersenyum ketika bertemu dengan sesamamu.” (HR. Muslim).
Allah swt berfirman, “Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat timbangan debu, maka Ia akan mengetahuinya -di akhirat nanti memperoleh balasannya.” (az-Zalzalah [99] : 7).
Terlebih pada prinsipnya, bila kebaikan dikedepankan, maka Allah yang niscaya menilainya. Allah swt berfirman, “Dan apa saja yang engkau semua lakukan dari kebaikan, pasti Allah Maha Mengetahuinya.” (al-Baqarah [2] : 197). Pengaruh kebaikan itu pula niscaya hadir kepada pelakunya, “Siapa yang melakukan amal shalih, maka perbuatannya itu akan menguntungkan dirinya sendiri.” (al-Jatsiyah [45] : 15).
Benar banyak jalan kebaikan, Allah mencatat berdasarkan kemampuan kita. Selama kita berusaha membuka pintu-pintu kebaikan, maka tetap istimewa dalam padangan-Nya. Islam memberikan ajaran yang tidak sempit dalam beramal. Surga terbuka lebar dari jalan mana kebaikan dipersembahkan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah bersabda, “Setiap orang Islam itu harus bersedekah.” Seorang sahabat bernama Abu Musa lalu bertanya, “Bagaimana wahai Rasulullah, jika seseorang tidak menemukan sesuatu untuk disedekahkan?”
Beliau menjawab, “Kalau tidak ada hendaklah ia bekerja dengan kedua tangannya, kemudian ia dapat memberikan manfaatnya kepada dirinya sendiri, kemudian bersedekah.”
Ia bertanya lagi, ” Bagaimana wahai Rasulullah jika ia tidak kuasa berbuat demikian?”
Beliau menjawab, “Hendaklah ia memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan bantuan.”
Ia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila ia tidak dapat berbuat demikian?”
Beliau menjawab, “Hendaklah ia memerintah dengan kebaikan atau kebaikan.”
Ia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika ia tidak dapat berbuat demikian.”
Beliau menjawab, “Hendaklah ia menahan diri dari berbuat kejahatan, maka yang sedemikian itupun sebagai sedekah yang diberikan olehnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Mari berbuat kebaikan, terus menebar kebaikan, motivasi orang lain ikut berbuat kebaikan, dan mari berlomba-lomba berbuat kebaikan. []