SUATU ketika beberapa sahabat berdiri di depan pintu rumah Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra. Mereka meminta izin untuk diperkenankan masuk pada hari pertemuan tahuna di rumah Amirul Mukminin. Mereka hendak masuk menemuinya.
Di antara mereka, yang sudah berdiri di depan pintu rumah Umar bin Khathab adalah Abu Sufyan bin Harb, paman Nabi, mantan panglima perang Quraisy, yang sudah masuk Islam, dan pernah memerangi Islam, dan kemudian mendapatkan hidayah. Ada al-Absyami dari Bani Abdul Syams. Sosok Bangsawan dari kabilah Arab yang paling tinggi nasabnya. Lalu, Suhail bin Amr, juru bicara Arab, juga ada al-Harits bin Hisyam, sosok tokoh terpandang di Quraisy.
Mereka berdiri dengan berwibawa. Sedangkan di samping mereka ada Bilal bin Rabbah, mantan budak yang berasal dari Abesinia, ada Shuhaib ar-Rumi dari bangsa Romawi, Salman al-Farisi dari Persia, dan Abdullah bin Mas’ud, mantan penggembala ternak, yang menjadi sahabat yang mulia karena ilmunya.
Mereka mengerumuni pintu rumah Khalifah seraya meminta izin kepada Umar ra untuk masuk menemuinya. Setelah sepuluh sahabat yang mendapatkan berita gembira dijamin masuk surga, para sahabat yang ikut dalam perang Badar dipersilahkan masuk. Baru sejumlah orang yang dipilih menurut kebijaksanaan dan pilihan Umar bin Khathab.
Setelah mereka masuk, barulah pengawal pribadi Umar keluar dan bertanya, “Siapakah kalian?”
Abu Sufyan menjawab, “Sampaikanlah kepada Amirul Mukminin bahwa aku ada di sini.”
Selanjutnya pengawal itu bertanya lagi, ”Sebutkan siapa lagi kalian?”
Masing-masing yang ada di balik pintu Umar bin Khathab pun menyebut namanya mereka masing-masing. Pengawal Khalifah pun kembali kepada Umar bin Khathab dan memberitahukan siapa mereka yang berada di balik pintu kepadanya.
Lalu Umar berkata, “Berilah izin kepada Bilal bin Rabbah untuk masuk.” Bilal pun mengetuk pintu, mengucapkan salam, dan masuk ke dalam ruangan pertemuan yang sudah disiapkan itu.
“Suruh Shuhaib masuk,” ucap Umar.
Tak lama Umar berkata, “Persilahkan Salman masuk.”
Setelah itu, Umar berkata, “Izinkan Abdullah bin Mas’ud masuk.”
Sesudah sahabat masuk semuanya, Abu Sufyan yang mulai merasa aneh karena ia merasa bangsawan dan mulia, lalu berkata, “Demi Allah, yang tiada Tuhan berhak disembah selain Dia, aku tidak mengira bila Umar membuatku lama menanti sesudah mereka masuk terlebih dahulu sebelumku!”
Mengapa hal itu terjadi? Sesungguhnya Abu Sufyan menimbang segala sesuatu dengan parameter jahiliyah. Ternyata sisa-sisa jahiliyah masih membekas dalam dirinya. Ukuran dari nasab, kabilah, kedudukan, kekayaan, dan identitas atau nama duniawi lainnya.
Sementara Sang Khalifah, Umar bin Khathab berbeda. Umar menilai segala sesuatu berdasarkan persembahan untuk Islam, berdasarkan nilai sebuah nama dalam timbangan ukhrawi.
Mendengar perkataan Abu Sufyan tersebut, Suhail bin Amr, teman dekatnya pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Sufyan, demi Allah, aku tidak peduli dengan pintu Umar dan izinnya. Akan tetapi, aku khawatir bila kita dipanggil pada hari Kiamat nanti, maka mereka masuk surga, sedangkan kita ditinggglkan. Mengingat sesungguhnya mereka dan kita diseru oleh Rasulullah, ternyata merekalah yang menyambutnya, sedangkan kita terus mengingkari. Baru kita mengikuti ajaran Islam setelah mereka mendahului kita. Oleh karena itu, pantaslah bila mereka didahulukan, sedangkan kita dinantikan.”
Anda tentu mengenal siapa Bilal bin Rabbah. Sosok budak kulit hitam. Secara fisik tidak menarik ditampilkan, secara keturunan ia tanpa kehormatan atau gelar Bangsawan, dari pekerjaan hanyalah hamba sahaya yang siap diperintah kesana kesini oleh sang majikan. Tapi lihatlah ketika ia memilih iman dalam dekapan. Dengan segala intimidasi dari perjuangan. Indah ia begitu mulia dan muliakan. Para sahabat, Rasulullah, hingga Allah memuliakan. Dengan surga yang kepadanya telah dipastikan. Ia karena iman, karena ia mengikuti kata hati dari kebenaran dan kebaikan.
Bilal bin Rabbah ra, dengan iman yang telah ia pilih dan yakinkan, dengan jalan Islam yang terus ia jalankan, dengan kecintaannya kepada Rasulullah sang teladan, ia rasakan kebahagiaan tak tergantikan. Baginya berada dalam petunjuk hidayah Allah, mendekap cinta pada ajaran Rasulullah tercinta, mengikuti kata hati tentang kebenaran, hidup bertabur kemuliaan adalah kebahagiaan sejatinya.
Inilah Bilal bin Rabbah, sosok mulia yang pertama kali masuk Islam dari kalangan hamba sahaya. Bukan main ia mempertahankan keyakinan yang telah bertengger kokoh di hatinya. Hingga ia tidak mampu melakukan apa pun, hanya kuasa menyatakan, “Ahad, Ahad,” Allah Maha Esa. Sementara tubuh hitamnya terus dijemur di atas padang pasir di tengah terik panasnya. Ia juga ditindih dengan batu besar, dipukul, diseret dengan kuda, disiksa habis-habisan. Tapi ia tetap kokoh menyatakan sekuat iman, “Ahad, Ahad”.
Oleh karena itu, Bilal didahululkan. Dia telah mengenal jalan menuju kebenaran hakiki, bersama iman yang paripurna. Lihatlah betapa Rasulullah mengetahui kemuliaan nama Bilal di sisi Allah. Hingga beliau pernah memanggil lembut Bilal bin Rabbah, “Wahai Bilal, mengapa engkau mendahuluiku masuk surga? Sesungguhnya ketika aku masuk surga tadi malam (malam Isra’), aku mendengar suara terompahmu di hadapanmu.”
Tampak bahagia di wajah shaleh Bilal mendengar sabda junjungan alam kepadanya, lalu dengan tawadhu ia berkata santun, “Wahai Rasulullah, tidaklah sekali-kali aku menyerukan adzan, melainkan terlebih dahulu aku melakukan shalat dua rakaat (shalat tahyatul masjid) dan tidak sekali-kali aku mengalami hadats, melainkan aku berwudhu, dan setelahnya aku menunaikan shalat dua rakaat (shalat sunnah wudhu) sebagai kewajibanku kepada Allah.”
Rasulullah saw tersenyum mulia dan bersabda, “Karena kedua-duanya (shalat tahyatul masjid dan shalat wudhu).”
Subhanallah, betapa mulia siapa pun dalam dekapan iman. Bilal telah membuktikan jadi diri sendiri sebagai hamba yang beriman. Bahkan meski untuk jadi diri sendiri dengan iman dan keislamannya ia mendapatkan intimidasi.
“Karena ia yakin bebas tapi hati tidak nyaman maka bahagia niscaya tidak bersahutan di kehidupan. Ia percaya, memilih menjadi orang lain dengan mengikuti kehendak orang lain (majikan dan orang-orang kafir Quraisy), tidak menjadi memilih diri sendiri beserta keyakinan yang kuat pasti hidup jadi hambar, tanpa bahagia menghuni. Ia percaya, bahwa kebahagiaan tersandar indah bagi siapa yang sanggup pertahankan, perjuangkan identitas Iman dan Islam.
Karena itu, Allah mengingatkan kita agar senantiasa bergembira dan berbahagia hanya dengan karunia dan nikmat-Nya. Dan salah satu nikmat terbesar adalah hidup mulia bersama ajaran-Nya yang jelas terbaik. Allah berfirman, “Katakanlah, hanya dengan keutamaan dan rahmat Allah lah hendaknya mereka berbahagia, karena ia lebih baik dari semua apa yang bisa mereka kumpulkan”. (Yunus [10] : 58).
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengomentari ayat di atas bahwa al-Farah (bahagia) merupakan bentuk kenikmatan yang tertinggi bagi hati, karena berbahagia dengan sesuatu berarti ridha dengan keberadaannya, bahkan ia kedudukan di atas sikap ridha. Padahal ridha sendiri akan bisa memberikan ketenangan, kedamaian dan lapang dada ke dalam hati seorang mukmin.
Berbahagialah Anda, nikmatilah hidup Anda, senangkanlah jiwa raga Anda, riangkanlah lahir batin Anda. Iya karena Anda terlahir sebagai muslim. Iya, karena saat ini Anda sudah menjadi seorang muslim. Pandanglah, bagaimana pun kekayaan, sehebat apa pun kekuasaan, seindah apa pun paras dan fisik, seluas apa pun ketenaran, bila tanpa iman dan Islam, maka sejatinya merugilah ia, ia tidak sehebat kita sebagai seorang muslim.
Berbahagialah karena Anda sebagai seorang mukmin, karena Anda telah menjadi seperti yang Allah tujukan pada penciptaanmu. Jangan bersedih, karena Anda sebagai seorang mukmin, bagaimana pun surga telah dijaminkan kepada Anda, surga dunia dan akhirat.
Terimalah setiap anugerah nikmat terbesar Allah yang menjadikan Anda seorang mukmin. Karena Anda sesungguhnya orang yang paling kaya. Anda harus ridha, bersyukur, ikhlas karena Allah jadikan Anda sebagai seorang mukmin kepada-Nya. Dalam arti, Anda harus rela hati dan puas dengan setiap pemberian Allah; baik itu yang berupa bentuk rupa dan raga, harta, anak, tempat tinggal, dan apa pun yang penting Anda tetap dalam iman dan Islam Anda. Perhatikanlah janji Allah, “Janganlah kalian merasa hina dan bersedih hati, padahal kalian adalah orang-orang yang mulia (tinggi derajatnya) jika kalian beriman.” (Ali Imran [3] : 139).
Marilah dengan keteguhan hati dan setulus iman, seringlah membaca doa yang diajarkan Rasulullah saw berikut, “Radhitu billahi Rabba, wabil Islami dina, wabi Muhammadin Nabiyya wa Rasula, Aku ridha Allah menjadi Rabbku, Islam sebagai agamaku, dan nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku.”
Karena itu kejarlah, genggamlah, dekaplah, jagalah, sempurnakanlah keimanan Anda. Bebahagialah karena Allah menilai Anda bukan karena fisik atau nama gelar yang lain. Tapi karena keimanan dan kehebatan takwa Anda.
Ridhalah karena Anda sebagai seorang mukmin, karena Allah anugerahakan nikmat paling hebat yaitu dengan menjadikan Anda sebagai seorang mukmin. Karena itu, tentang anugerah yang lain tidak boleh dijadikan yang utama. Karena itu menjadi masalah, bila hanya karena harta, jabatan, atau nama-nama dunia menjadikan Anda rela memberikan harga rendah pada iman dan agama Anda.
Singkatnya, selama bersama iman, maka terimalah setiap pembagian Allah dengan penuh kerelaan hati. Allah swt berfirman, “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (az-Zukhruf [43] : 32). Dalam sejumlah ayat dalam surah Ar-Rahman kita diingatkan, “Maka, nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan.” (Ar-Rahman [55] : 13). []