ONANI, atau dalam bahasa Arabnya al-istimna’ (الاستمناء), adalah aktivitas mengeluarkan air mani tanpa senggama (jima’), baik yang diharamkan, maupun yang dibolehkan, seperti air mani yang dikeluarkan melalui tangan istri.
Ulama sepakat bahwa hukum onani adalah haram, kecuali onani yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya. Dan pelakunya mendapat sanksi ta’zir. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
والذين هم لفروجهم حافظون . إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين
BACA JUGA: Jika Terpasung Kebiasaan Onani
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak terceIa.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 5-6)
Lalu, apakah onani membatalkan puasa? Dalam hal ini, ulama membedakan onani yang dilakukan dengan wasilah tangan, pandangan, dan pikiran.
Untuk onani dengan tangan, ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan umumnya kalangan Hanafiyah sepakat bahwa ia membatalkan puasa. Mereka beralasan, sekedar memasukkan alat kelamin laki-laki ke farji perempuan tanpa keluar air mani saja membatalkan puasa, maka mengeluarkan air mani karena syahwat tentu lebih layak dianggap membatalkan puasa. Sedangkan Abu Bakr ibn al-Iskaf dan dan Abul Qasim dari kalangan Hanafiyah menyatakan onani dengan tangan tidak membatalkan puasa, karena ia tidak sama dengan persenggamaan.
Menurut kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, salah satu qaul dari Hanabilah, dan pendapat yang tidak mu’tamad dari kalangan Malikiyah, orang yang batal puasanya karena melakukan onani tidak wajib membayar kaffarah, karena ia bukanlah persenggamaan. Sedangkan menurut pendapat yang mu’tamad dari kalangan Malikiyah, dan satu riwayat dari imam Ahmad, selain wajib qadha, orang yang batal puasanya karena onani juga wajib membayar kaffarah, karena onani menyerupai jima’.
Adapun onani dengan pandangan (maksudnya keluar air mani karena memandang perempuan atau sesuatu yang mendatangkan syahwat), ulama Malikiyah menyatakan ia membatalkan puasa, baik pandangan tersebut berulang-ulang atau tidak, baik pandangan tersebut secara kebiasaan menyebabkan keluar air mani atau hal itu tidak biasa bagi diri orang tersebut. Menurut ulama Hanabilah dan salah satu qaul dari Syafi’iyah, ia membatalkan puasa jika dilakukan berulang-ulang. Sedangkan menurut Hanafiyah dan pendapat yang mu’tamad dari Syafi’iyah, onani dengan pandangan tidak membatalkan puasa secara mutlak.
Hanya kalangan Malikiyah yang berpendapat, orang yang onani dengan pandangan wajib membayar kaffarah, selain wajib qadha atasnya.
Dan onani dengan pikiran (maksudnya keluar air mani karena memikirkan hal yang menimbulkan syahwat), menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, hukumnya sama dengan onani dengan pandangan.
BACA JUGA: Pernah Onani di Bulan Ramadhan ketika Belum Taubat, Bagaimana?
Adapun menurut ulama Hanabilah, selain Abu Hafsh al-Barmaki, onani dengan pikiran tidak membatalkan puasa. Mereka berdalil dengan hadits:
عفي لأمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم به
Artinya: “Dimaafkan atas umatku apa yang ia ucapkan (pikirkan) dalam dirinya, selama ia tidak melakukan atau berkata-kata dengannya.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibn Majah, dengan redaksi berbeda, tapi maknanya sama)
Akhirul kalam, walaupun ulama berselisih tentang hukum onani, apakah ia membatalkan puasa atau tidak, tapi mereka bersepakat onani hukumnya haram. Dan orang yang berpuasa dilatih untuk memperbanyak amalan sunnah dan mengurangi hal-hal yang mubah, mana mungkin ia malah menghiasi puasanya dengan aktivitas haram, wal ‘iyaadzu billah.
Sumber: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
Web: Abufurqan.net
Facebook: Muhammad Abduh Negara