DI bawah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, wilayah kerajaan kian meluas dan kehidupan rakyat kian terjamin. Ini tidak lepas dari kepiawaian Umar dalam menjalankan kebijakan politik. Istananya tidak kalah megah dibandingkan dengan istana para kepala negara lainnya. Indah dan anggun, dihiasi taman bunga yang berwarna-warni.
Namun kehidupan pribadi Umar justru jauh dari mewah. Itu terlihat jelas dari segala tindak-tanduknya. Baik yang menyangkut kepentingan negara maupun rakyatnya. Umar hidup sederhana saja. Ia tidak mau menikmati sesuatu sebelum tahu asal-usulnya, atau haram-halalnya.
Pernah pada suatu kali, istrinya merasa sangat kasihan melihat suami tercintanya itu hanya makan roti tawar dan keras setiap hari. Maka ia menyediakan roti gandum yang lebih lezat dengan racikan daging domba di dalamnya. Ketika Umar disodori hidangan itu, ia terbelalak. Ini istimewa baginya. Ia bertanya kepada istrinya, “Dari mana kauperoleh makanan mewah ini?”
“Aku bikin sendiri, suamiku, Amirul Mukminin…” jawab istrinya tertunduk.
Umar memperhatikan muka istrinya. “Uangnya dari mana sampai kau bisa membeli semua ini?”
Istrinya menarik nafas panjang. “Aku berhemat dari uang belanja yang kauberikan. Aku kumpulkan sedikit demi sedikit selama satu bulan belakangan ini.”
Kepala Umar mangut-mangut, mengerti, “Berapa semuanya ini?”
Tanpa curiga sang istri menjawab, “Tiga setengah dirham… Amirul Mukminin.”
Umar kelihatan terkejut mendengar jawaban istrinya itu, “Tiga setengah dirham? Banyak sekali. Itu cukup untuk memberi makan dua orang selama dua hari.”
Lalu ketika itu juga Umar memanggil salah seorang pembantunya, “Muzahim, apakah engkau di sini makan kenyang?”
“Kadang-kadang malahan terlalu kenyang…” ujar Muzahim singkat.
“Apakah makanan yang kaumakan di sini lezat?”
Muzahim mendehem, “Jauh lebih lezat daripada makanan yang ada di rumah saya, Amirul Mukiminin.”
“Kalau begitu,” Umar berkata tegas, “kurangi biaya keluargaku dengan tiga setengah dirham sejak bulan ini. Karena belanja yang biasa kuberikan kepada istriku, bisa disimpan tiga setengah dirham tiap bulannya.”
Umar lantas memotong roti di meja, dan dimakannya sebagian guna menyenangkan hati istrinya. Selebihnya diberikan kepada beberapa anak yatim.
Hari berikutnya, seorang perempuan datang untuk mengadu kepada Umar. Ia ditemui istrinya, menunggu Umar yang masih berada di dalam. Tidak berapa lama kemudian Umar muncul seraya menenteng dulang berisi buah anggur. Umar menyuguhkannya kepada perempuan itu beberapa buah yang masih segar dan manis. Tiap kali ia menerimanya, perempuan itu selalu mengucap “alhamdulillah,” sehingga Umar sangat gembira. Sisanya yang hampir busuk dipisahkannya untuk dimakan sendiri bersama keluarganya. Setelah itu, barulah ia menanyakan kebutuhan maksud kedatangan perempuan yang berbudi itu.
Dengan hati-hati. Perempuan itu mengatakan terus-terang perihal lima orang anaknya yang tidak mempunyai pekerjaan. “Bantulah kami, wahai Amirul Mukminim.”
Seketika Umar berlinang-linang air matanya. Ia menyesali dirinya karena sebagai pemimpin ia tidak tahu bawah di antara rakyatnya masih ada yang tidak punya pekerjaan. Sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.
“Coba sebutkan nama anak Ibu yang pertama,” ujar Umar kepada wanita itu.
Wanitu itu menurut. Disebutkannya nama sang anak. Umar menuliskannya pada selembar kertas disertai jumlah bantuan yang akan diberikan. Keputusan itu disambut dengan suka cita dan wanita itu berucap “alhamdulillah”. Ketika disebutkannya anak nomor dua, nomor tiga dan nomor empat, Umar juga melakukan hal yang sama yaitu menuliskan nama-nama mereka dan menuliskan sejumlah bantuan kepada mereka. Si ibu juga menjawab “alhamdulillah.”
Namun, ketika tiba giliran anak nomor lima, saking girangnya karena jumlah yang diberikan oleh Umar begitu besarnya, ibu itu buru-buru membungkukkan badannya seraya berkata, “Terima kasih, terima kasih, Tuan….”
Mendadak wajah Umar merah padam. Ia memberengut dan terlihat marah. Serentak ia menyobekkan kertas yang kelima yang tengah digenggamnya itu. Si perempuan jelas keheranan. Umar berkata tegas, “Sampai anak keempat, Ibu selalu mengucap alhamdulillah, suatu pernyataan syukur kepada Zat yang berhak menerimanya, karena Dialah pada dasarnya yang mempunyai kuasa memberi dan mengambil. Tetapi giliran anak kelima, Ibu malahan berterima kasih kepada saya. Apa sebabnya?”
Si ibu tampak pucat mukanya. Dengan terbata-bata ia menyahut, “Tuan amat dermawan dan berhati mulia.”
“Maaf, ucapan itu tidak layak Ibu limpahkan kepada saya,” Umar menjawab sambil terus memandangi wajah si ibu yang masih pucat dan tertunduk. “Apalah daya saya ini sampai Ibu memuji-muji saya? Bukankah segala puji itu hanya milik Allah? Saya ini tidak berdaya dan tidak berbeda dengan Ibu. Bahkan di depan Allah, mungkin saya lebih hina karena hisab Ibu sangat ringan, sedangkan hisab saya berat sekali. Untuk itu saya hanya berkewajiban memberikan bantuan kepada empat anak Ibu saja. Sebab hanya untuk mereka Ibu telah berterima kasih kepada Zat yang layak dipuja-puja. Tetapi hendaknya bantuan saya itu dibagi-bagikan secara adil buat seluruh keluarga.” []
Sumber: buku Peri Hidup Nabi & Para Sahabat, Karya Saad Saefullah, penerbit Pustaka SPU