SAAT Nabi memasuki kota madinah, dan dengan demikian berarti ia telah mengakhiri perjalanan hijrahnya dengan gemilang, dan memulai harinya yang penuh berkah di kampung hijrah. Setiap suku atau kabilah itu mencoba mencegat jalan unta yang Nabi lewati. Bermaksud agar beliau sudi membahagiakan mereka dengan menetap di kampungnya itu. Sedang Nabi menjawab tawaran mereka sambil tersenyum syukur di bibirnya, “Lapangkanlah jalannya, karena ia terperintah … !”
Nabi dengan sengaja membiarkan tali kekang untanya terlepas bebas. Tidak ia tepuk dan tidak pula ia hentikan langkahnya. Nyatanya ia telah menyerahkan sepenuhnya kepada qadar Ilahi yang akan memimpin langkah juangnya kelak, serta diserahkan dirinya kepadanya dengan berdo’a, “Ya Allah, tunjukan tempat tinggalku, pilihkan untukku…“
BACA JUGA: Katanya Sudah Hijrah?
Di muka rumah milik Bani Malik bin Najjar, unta itu bersimpuh kemudian ia bangkit dan bekeliling di tempat itu, lalu kembali bersimpuh di tempat tadi dan tidak beranjak kembali. Lalu, keluarlah seorang Muslimin yang tampil dengan wajah berseri-seri karena sukacitanya. Ia lalu memasukan barang muatan Nabi ke dalam rumahnya itu. Nabi pun mengikutinya dengan penuh hikmah dan berkah. Siapakah pemilik rumah itu? Ialah Abu Aiyub Al-Anshori.
Nabi telah memilih kamarnya di tingkat pertama, namun saat pemilik rumah itu ke tingkat dua ia pun menggigil karna ia berfikir akan tidur atau berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat Nabi. Lalu ia mendesak Nabi agar beliau pindah ke tingkat atas, hingga Nabi memperkenankannya. Nabi diam disana hingga selesai pembangunan masjid dan biliknya.
Pertemuan dengan Nabi bukanlah pertama kali bagi Abu Aiyub, karena sebelumnya ia telah berbai’at kepadanya. Dan saat itulah ia mengalihkan aktivitasnya dengan berjihad di jalan Allah. Bahkan setelah Nabi wafat pun, ia tak pernah ketinggalan menyertai pertempuran yang di wajibkan atas Muslimin. Sebab semboyan yang selalu ia ucapkan secara perlahan ataupun keras , hingga berulang-ulang, ”Berjuanglah kalian, baik di waktu lapang, maupun di waktu sempit.” (Q.S. At-Taubat: 41)
BACA JUGA: Aisyah, Musik, dan Hijrah Casing
“Tak jadi soal bagiku, siapa yang menjadi atasanku!”
Keinginan prajurit yang pemberani ini hanyalah berperang di bawah benderanya dan membela kehormatannya. Meskipun begitu corak kehidupannya adalah tenang tenteram laksana desiran angin di kala fajar datang menjelma. Sebab ia pernah mendengar Nabi mengatakan, “Bila engkau shalat, maka shalatlah seolah-olah yang terakhir atau hendak berpisah. . jangan engkau sekali-kali mengucapkan kata-kata yang menyebabkan engkau harus meminta ma’af…! Lenyaplah harapan terhadap apa yang berada di tangan orang lain… []
Sumber: Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah/Penulis: Khalid Muhammad Khalid/Penerbit: Diponegoro,2006