ISLAM hadir sebagai agama yang dapat menjawab pertanyaan, dari mana kita berasal, untuk apa kita ada, dan kemana kita kelak nanti. Itu juga yang semestinya telah dapat terjawab dalam harian kita. Ajaran yang lain tak mampu menjawab tentang jati diri manusia; dari mana, untuk apa, dan mau kemana.
Tentu kalau ada pertanyaan dari orang lain atau melekat pada diri Anda, “Man Ana atau Siapa Aku”? Dengan mudah Anda menjawab dengan nama atau identitas sesuai dengan kartu identitas Anda atau dengan nama poluler Anda, bukan?
Demikian jika ada yang bertanya kepada Anda tentang siapa nama Anda, maka dengan mudah Anda pun menjawab nama yang sejak kecil Anda miliki, pemberian orangtua Anda. Atau Anda pun dengan lugas dapat menyebut nama panggilan Anda sekarang. Atau bisa jadi Anda sebut juga dengan tambahan nama gelar, julukan, pangkat, atau yang lainnya. Siapa nama Anda? Gampang kan jawabnya.
Namun menarik, dalam sebuah karyanya, al-Maziyyah fi al-Iltizam, seorang dai kondang Mesir, Muhammad Husain Ya’qub mengusik kita dengan sebuah pertanyaan singkatnya, “Man Anta?” atau “Siapakah Anda?”
Syaikh terus melanjutkan, saya tidak ingin jawaban Anda; “Aku adalah Ahmad, Aku Muhammad, Aku Mahmud, Aku Umar.” Bukan nama itu yang saya tanyakan. Bukan itu yang saya harapakan jawaban dari Anda.
Tidak juga jawaban Anda, “Aku adalah seorang dokter, aku seorang pejabat, aku pengusaha, aku orang kaya, aku pekerja seni, aku pelajar, aku mahasiswa. Bukan itu semua yang ingin saya dapatkan dari Anda.
Tidak juga saya mau jawaban dari Anda, “Aku anak bangsawan, aku anak ningrat, aku anak gubernur, presiden, atau anak Bapak A dan b.” Juga tidak.
Tapi yang saya ingin jawaban Anda dari pertanyaan, “Man Anta”, adalah siapa namamu di sisi Allah?Apakah namamu “Fulan pendosa, Fulan, ahli maksiat, Fulan malas beribadah, Fulan tukang gosip, Fulan pembohong, Fulan pemakan riba, Fulan pendurhaka orangtua, Fulan pelit zakat dan sedekah, atau siapa namamu? Atau namamu adalah pejabat koruptor, pengusaha penipu, guru yang zalim, atau siapa namamu?
Ingat saudaraku, tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini kecuali Anda. Iya Anda. Anda yang paling tahu siapa diri Anda. Anda yang paling mengerti siapa sejatinya Anda. Anda yang paling tahu siapa nama Anda di sisi Allah?
Iya, siapa nama Anda di sisi Allah?
Barangkali sulit atau tidak mudah seperti pertanyaan siapa nama Anda di atas, sebelumnya. Siapa nama Anda seperti yang biasa orang yang baru bertemu Anda atau ketika diminta memperkenalkan diri pada sebuah acara atau pertemuan.
Benar, tentu sepatutnya memang tidak masalah dan tidak patut dipermasalahkan bagi siapa pun mengejar identitas dirinya di muka bumi ini. Tidak apa dan tidak patut dipertentangkan bagi siapa yang terus mengejar agar eksistensinya terpasang indah di sanubari dan jiwanya. Bukan masalah jika seorang terus berpartisipasi aktif agar namanya merengsak naik di depan khalayak.
Tapi sepatutnya dan seharusnya yang juga dicamkan adalah memikirkan nama Anda di sisi Allah. Siapa nama Anda dalam pandanganya. Namanya Anda yang bersanding padanya keimanan, keislaman yang kokoh. Nama sebagai sosok yang ikhlas penabur kebaikan. Nama yang tersandingkan pada aktifitas, pada keturunan, pada kekayaan sebagai ahli ketaatan.
Nama yang dulu terdekap suara adzan, menggeliat padanya doa dari orang-orang sekitar, terhantar padanya rasa syukur dan doa tulus saat aqiqah, menggema padanya bahagia dan doa saat khitan, mengalir padanya lantunan ayat-ayat suci Allah, gerak syahdu dalam rutinitas aktifitas keislaman.
Bagaimanakah sekarang posisinya, setelah waktu berganti waktu, hendak bagaimanakah namanya dipertahankan agar mulia di sisi-Nya atau dibiarkan jadi nama yang durhaka pada keagungan-Nya?
Maka terpujilah orang yang gemar berusaha mengetahui, berupaya mengenal siapa hakikat dirinya. Indah bila di antara obsesi diri adalah pada usaha mengenal diri pribadi secara baik terkuasai. Selain dengannya akan terbuka potensi diri dan keistimewaan sebagai anugerah Ilahi, juga dapat membantu secara paripurna untuk lebih mengenal Allah. Demikian disebutkan dalam sebuah riwayat, “Siapa mengenal dirinya, maka dia niscaya mengenal Tuhannya.”
Prinsipnya, laksana realita bahwa siapa yang dapat mengenal dengan baik seseorang atau sebuah benda, maka ia akan baik pula menyikapi dan mempersembahkan penjagaan terbaik untuknya. Ketahuilah, bahwa diri manusia yang terdiri dari lahir, batin, dan otak adalah anugerah yang terbesar sehingga manusia disebut dalam Al-Qur’an sebagai fi ahsani taqwim, “Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (at-Tin [95] : 4).
Ingatlah, sejatinya pada diri manusia tersandar agung kesempurnaan ciptaan Allah. Ia jauh lebih sempurna dari makhluk-makhluk-Nya yang lain. Karena itu ia dimuliakan-Nya. Di antaranya dengan dua tugas yang harus dipikulnya; yaitu, sebagai hamba Allah (al-‘abid) dan pengelola bumi beserta isinya (khalifah fil ardhi). Dua tugas ini yang niscaya menghantarkan manusia pada bahagia dan mulia lahir dan batin, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Untuk menjaga kemuliaan yang Allah berikan, memanfaatkan anugerah dan potensi yang dikaruniakan-Nya, manusia harus mampu membaca (iqra`) dalam melaksanakan dua tugas tersebut. Membaca dengan Iqra bismi Rabbika, memandang anugerah dan potensi dengan semangat “atas nama Allah”, yaitu bersama keimanan dan ketaatan. Menjalani kehidupan untuk meraih sukses dan bahagia dalam balutan keimanan dan ketaatan.
Mengingat, potensi dan anugerah yang berbalut keimanan niscaya dapat menghadirkan kemuliaan. Segala yang dimiliki diri jika diselimuti ketaatan niscaya akan menghadirkan kebahagiaan yang menakjubkan.
Karena itu, janji Allah menegaskan, bahwa di antara tujuan utama ajaran Islam, yaitu untuk menjadikan kita mulia dan memuliakan, agar kita bahagia dan membahagiakan. Bersama iman dan Islam yang ada dalam dekapan, ketika ketentuannya mengarahkan, maka tak pantas membuat jati diri kita rendah dan hina. Tapi harus merasa mulia bila nama kita terhampar dapat membumikan nilai-nilai luhur dalam kebaikan dan ketaatan.
Allah berfirman, “Janganlah kalian merasa hina dan bersedih hati, padahal kalian adalah orang-orang yang mulia (tinggi derajatnya) jika kalian beriman.” (Ali Imran [3] : 139). Umar bin Khathab ra pun pernah berkata, “Kita adalah umat yang Allah jadikan kemuliaan kita di dalam agama Islam. Bagaimana pun ketika kita mencari kemuliaan selain darinya maka Allah akan menghinakan kita.”
Dengan kita mengenal hakikat sejati diri kita, mengetahui siapa diri kita sebenarnya, sebagai hamba Allah, dengan pemahaman iman dan Islam kita, maka jalan menjuju pribadi yang unggul, berprestasi, bahagia dan mulia justru dengan kita menjadi diri kita sendiri. Tanpa harus minder atau tidak percaya apa yang telah Allah berikan, serta tanpa melihat “beda” dengan yang lain. Karena setiap orang telah Allah semaikan keistimewaan, likulli sya’in maziyyah, ‘setiap orang memiliki keistimewaan’ untuk menjadikan dirinya bahagia dan sukses. []