Oleh: Mawar Dani
MATAKU mengembun, ada sebuah kalimat yang berhasil menusuk hatiku. Menghunjam berkali-kali dengan ganasnya. Harusnya ini sudah menjadi hal lumrah bagiku, bukankah setiap waktu Mama akan mengatakan hal yang sama.
“Dea tak pernah sayang padaku.”
Orang tua seperti apa itu? Terkadang aku ingin menyampaikan protes itu pada Tuhan. Kata ustadz tempatku mengaji, orang tua adalah perpanjangan tangan Tuhan, lalu kenapa tega mengatakan kalimat itu berkali-kali di depan orang tanpa memikirkan perasaan.
Benarkah kesibukan yang menghadirkan jarak antara orang tua dan anak? Tapi rasanya itu mustahil, kenapa temanku si Nana bisa terlihat akrab dengan ayah ibunya yang juga pekerja.
BACA JUGA: Durhaka! Seorang Anak Kubur Hidup-hidup Ibunya yang Sudah Tua
Ini kesekian kali aku mendengarnya. Barusan kalimat itu keluar lagi dari bibir Mama. Kembali mengatakan bahwa aku tak sayang karena tak membelikan tas mahal. Oh, Mama, tega nian kau berkata demikian.
Ini bermula dari keberhasilanku meraih juara menulis dari salah satu event bergengsi beberapa bulan lalu. Hadiah yang kuterima lumayan membuat rekening gendut. Aku sudah berniat akan mengajak Mama jalan ke mall untuk memilih sendiri hadiah apa yang diinginkannya namun luka sudah terlanjur ditorehkannya lagi.
Mama kenapa tak pernah memberiku kesempatan untuk bicara. Bukankah sejak pagi sudah kukatakan akan mengajaknya pergi jalan hari ini. Katanya tidak punya waktu yang banyak, ketemu selepas meeting kantor di tempat yang telah disepakati saja.
Aku tidak tahu hadiah apa yang Mama inginkan dari keberhasilan ini. Kalau boleh aku minta bertukar hadiah, ingin sekali memberikan semua yang kuperoleh lalu izinkan aku merasakan suapan yang Mama ulurkan dari tangannya langsung.
Ini impianku sejak kecil. Mama tak punya waktu yang banyak untukku hingga sekadar menyuapi makan saja tak ada kesempatan. Aku dilahirkan untuk apa?
Mama tiba di lokasi sudah malam, sedang aku sudah terlalu capek seharian mondar mandir di tempat ini dan bingung hadiah apa yang pantas kuberikan. Berkali-kali Mama me-reject telponku dan mengirimkan pesan masih rapat penting. Untung saja Tante Mirna dan Nana masih setia menemani sampai Mama muncul.
Lelah yang kurasa tak hanya pada fisik tapi juga batin. Percakapan-percakapan hati karena iri melihat quality time yang ditunjukkan temanku berhasil membuat jenuh dengan segudang alasan Mama karena kesibukan.
Aku kecewa dengan sikap Mama yang tak penah mau mengerti. Aku pamit pulang duluan. Sengaja membiarkan Mama untuk gobrol ringan dengan Tante Mirna yang memang sudah bersahabat sejak zaman kuliah. Tanpa rasa bersalah Mama membiarkan aku pergi dan mungkin tak mengerti kalau kalimat ampuhnya benar-benar membuatku lelah hidup.
Kristal di mataku berhasil pecah dan berhamburan di pipi. Rasanya jauh sekali menuju pintu kafe untuk sekedar menyetop taksi dan berlalu meninggalkan semua kenangan.
Gubrakkkkkk!
“Deaaaaaaaaaaaaaaa!”
***
“Dea tak pernah sayang padaku.”
Akhirnya kalimat itu benar-benar nyata. Benarlah jika doa seorang ibu selalu diijabah Tuhan. Kesedihan malam itu ternyata menunjukkan kebenaran ucapan yang kerap diucapkan Mama.
Taksi yang kutumpangi ternyata dikemudikan oleh sopir yang sudah setengah mabuk. Bagaimana bisa dia begitu? Itulah adanya, mungkin perusahaan sudah menegaskan sopir tidak boleh mengemudi dalam keadaan mabuk namun masalah siapa yang yang tahu. Dia butuh Tuhan, kataku. Jika saja dekat pada Tuhan mungkin masalah yang dihadapi tidak dihindari dengan minum-minuman keras.
Aku juga perlu mengatakan ini pada Mama. Mama butuh Tuhan untuk mengerti kalau ada amanah besar yang harus ditanggungjawabi, aku. Tak sekedar membayar seorang ustadz datang ke rumah untuk mengajar mengaji serta ilmu agama. Tapi rasanya itu tak perlu lagi sebab sekarang Mama sudah ada disisiku yang terbaring lemah tanpa diketahui jatah umur masih panjang atau tidak.
BACA JUGA: Kisah Ibu Masak Batu untuk Tenangkan Anak-anaknya yang Kelaparan saat Pandemi Corona
Hampir sebulan aku dirawat pasca kecelakaan. Kegilaan yang dilakukan pak sopir patutnya kuucapkan terima kasih. Belum ada sepuluh meter berlalu dari kafe mall sudah berhasil menubruk sekian banyak kendaraan yang terparkir. Sialnya, aku terpelanting lewat pintu taksi yang kacanya belum sempat tertutup. Kepala ini membentur sisi jalan dengan hebatnya.
Pengorbanan ini berhasil membuat Mama kembali pada Tuhan. Setiap waktu dengan lirih meminta dalam doa agar aku kembali padanya. Berjanji akan meluangkan waktu untuk bisa dihabiskan bersama.
Aku memang jahat. Aku memang tidak sayang karena sudah membuatnya bersusah hati dengan kondisi kritis ini. Membiarkan Mama memilih resign kerja demi menjemput kesadaranku.
Sekali lagi, aku memang jahat. Entah itu benar atau tidak, tapi kini kejahatan itu kunikmati demi belaian lembut tangan Mama yang entah kapan terakhir aku merasakannya. []