Oleh: Herri Mulyono
HEMBUSAN dingin malam ini mengingatkanku tentang satu waktu di bulan Desember dua tahun lalu. Siang itu aku memutuskan untuk mengajak Azra dan Fariz berjalan menuju masjid terdekat, Leeds Grand Mosque, sekitar 2,4 km berjalan kaki.
Siang itu bukan biasa, terlebih Azra dan Fariz baru saja menginjakan kaki mereka di bukit Kirkstall setelah hampir 12 jam perjalanan dari Jakarta. Serta, awal musim dingin merupakan tantangan pertama yang harus dilalui oleh kakak beradik berumur 4 dan 5 tahun.
Aku sudah beritahu Azra dan Fariz, bahwa perjalanan kami akan melelahkan. Mereka hanya menganggukkan kepala, tanpa mengerti seberapa jauh 2,4 km itu. Yang mereka tahu, kami membawa bekal biskuit serta air minum bila mereka kehausan.
Di penghujung Argie Avenue, aku tahu Azra dan Fariz sudah kelelahan. Walau, udara dingin awal musim Winter ini tidak sedikitpun memberi ruang untuk kami berkeringat. Berjalan bukan hal biasa bagi anak-anak seperti mereka yang menghabiskan hidup di kota besar seperti Jakarta. Bahkan untuk jarak 200 meter saja, mereka lebih memilih untuk diantar naik motor.
Untuk menghibur, aku mulai bertanya-tanya kepada kakak beradik itu: kalau sudah besar ingin jadi apa?
Dari rangkaian ocehannya yang panjang itu Azra akhirnya memberi statement kunci:
“Pingin jadi tukang kue”.
Sontak saja aku terkejut, … padahal sebelumnya aku baru saja bercerita tentang arti nama yang ia sandang itu, Avicenna, seorang dokter. Harapanku, Azra mengikuti alur cerita yang aku mulai, dan menjawab bahwa ia ingin menjadi seorang dokter.
Tapi ternyata tidak! Azra berteguh pendirian bahwa ia ingin menjadi tukang kue.
“Enaklah,.. jadi tukang kue!” Begitu celotehnya sambil ketawa ketiwi ketika kutanya mengapa.
“Kalau Fariz ingin jadi Supir Taksi,” jawab Fariz dengan percaya dirinya.
“Maksud Fariz, Polisi?” sambil kutunjukkan sebuah mobil patroli yang baru saja melintas.
“Gak, supir taksi aja!” jawabnya kekeuh.
Rupanya penjelasanku tentang siapa itu Alhaitham, sang ahli matematika, tidak sedikitpun membekas.
“Enak jadi supir taksi, punya mobil, brem brem..,” tambah Fariz.
Pikiranku melayang jauh, mengambarkan seorang lelaki yang mendorong gerobak menjajakan kue dagangannya. Atau setidaknya, pria yang berdiri dibalik etalase beragam jenis jajanan.
Lalu, bergantilah khayalanku tentang seseorang yang tersenyum dibalik mobil biru dengan lampu di atapnya, yang kadang menyala, dan kadang pula mati.. “Mau kemana pak?”
Ku geleng-gelengkan kepala, mengusir lamunan tentang tukang kue dan supir taksi. “Ah pikiran anak-anak!”, aku mencoba menghibur diri.
Kami berhenti sejenak. Lampu lalu lintas di persimpangan Cardigan Road menyala warna merah. Siang itu jalan tidak terlalu ramai, hanya beberapa mobil saja yang lalu lalang.
“Memang ada yang salah dengan tukang kue dan supir taksi?” hati ku bertanya.
Oh tentu tidak, tidak ada yang salah dengan tukang kue dan supir taksi. Yang salah adalah diriku yang menganggap pekerjaanku lebih baik dari tukang kue dan supir taksi, atau setidaknya ada yang lebih baik dari sekedar menjadi tukang kue atau supir taksi.
Yang salah adalah diriku yang hatinya masih tertimbun materialisme. Dan, yang salah adalah diriku yang lupa, bahwa kemuliaan bukan tentang dimana kita bekerja, tetapi ridho Allah atas keringat dan kerja keras kita.
Semoga tuhan mengampuni dan membimbingku kembali pada cintaNya,.. aamiin []