SUATU malam, Aisyah terus memperhatikan suami tercinta sekaligus teladan umat itu dengan kekaguman yang mulai dicampuri perasaan khawatir. Aisyah melihat telapak kaki dan kedua betis sosok yang sudah dijamin masuk surga ini terlihat bengkak.
Selepas shalat, dengan penuh cinta dan penghormatan, Aisyah beranikan diri bertanya pada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, bukankah Allah mengampuni dosa-dosa engkau yang terdahulu dan yang kemudian, mengapa engkau masih shalat seperti itu?”
Senyum manis penuh cinta menghiasi wajah Rasulullah mendengar pertanyaan istri tercinta beliau. Dengan bijak penuh kasih sayang dan keimanan, beliau menjawab, “Apakah tidak sepantasnya bagiku menjadi hamba yang bersyukur?”
Betapa bahagianya Rasulullah saw, bahagia itu beliau rasakan saat beribadah, melakukan amal ketaatan kepada Allah. Manusia terbaik, paling mulia, paling dicintai Allah. Tidak ada yang lebih Allah cintai melebihi Rasulullah.
Tentu beliau pasti masuk surga, bahkan beliau lah yang pertama dan utama memasukinya. Tapi, meski demikian beliau sosok yang paling shaleh, paling taat, paling baik, paling rajin beribadah. Lihatlah seperti disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari di atas, betapa beliau hingga shalat Tahajud, bahkan hingga kaki mulia beliau bengkak.
Lihatlah Rasulullah, manusia terbaik sepanjang masa itu, justru tegas mengatakan tentang shalat, “Kesejukan hatiku berada dalam shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Karena kebahagiaanya tersandar pada keimanan. Beliau begitu menikmati shalat. Shalatnya bahagia. Bahagianya dalam shalat.
Ada Utsman bin Affan ra, ia begitu senang dan bahagia apresiasikan keimanan. Allah swt berfirman, “Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar [39] : 9)
Abdullah bin Umar ra meriwayatkan, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, Al-Qur’an Al-Azhim, bahwa orang yang dimaksud ayat ini, adalah tentang sosok Utsman bin Affan ra. Ia di antara sahabat yang paling banyak bacaan Al-Qur’an dan shalat malamnya. Sampai Abu Ubaidah meriwayatkan bahwa Utsman terkadang mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dalam satu rakaat pada shalat tahajudnya. Subhanallah, betapa bahagianya Utsman bin Affan, satu rakaat dalam tahajud hingga khatam Al-Qur’an. Bahagia bersama iman.
Bagaimana dengan diri kita, apa yang Anda siapkan jika ada yang bertanya kepada Anda; apa yang paling membuatmu bahagia, dan kebahagiaan apa yang paling Anda idamkan, paling Anda cita-citakan, hingga saat ia hadir dalam hidup Anda Anda menjadi manusia paling bahagia? Apa jawaban Anda?
Silahkan Anda menjawab harta, jabatan, ketenaran, banyak anak, rumah yang mewah, kendaraan yang nyaman. Tidak masalah jika Anda menyatakan bahagia karena harta yang didapat, karena gelar dan jabatan diraih, karena pernikahan, karena memiliki keturunan, karena makan dengan yang favorit, karena benda spesial yang dimiliki.
Demikian manyoritas orang ketika ditanya apa yang membuatnya bahagia, begitu pula Anda, bukan?
Sekarang pertanyaannya adalah; apakah Anda bahagia dengan iman dan Islam Anda? Apakah Anda sebagai seorang muslim dan Anda orang yang bahagia? Apakah Anda sebagai seorang mukmin dan menjalankan rutinitas iman Anda, lalu membuat Anda bahagia? Atau justru sebaliknya?
Bisa jadi Anda belum pernah pertanyakan itu. Bisa jadi Anda sejujurnya tidak gembira dengan aktifitas ibadah yang mengurangi waktu dunia Anda. Bisa jadi Anda terkadang melihat orang bukan muslim yang minim rangkaian ibadah dan tanpa ada larangan ini dan itu, lalu Anda bergumam, “Senangnya seperti mereka?” Semoga tidak saudaraku.
Sudah saatnya kita menenggelamkan pemahaman, bahwa bahagia sejati adalah yang teraih oleh jiwa dan dirasakan oleh kedalaman hati. Karena itu alangkah baiknya bila kita menjadikan standar utama bahagia adalah pada sosok paling bahagia dan sukses di dunia dan akhirat, yaitu tiada lain baginda Rasulullah. Tentu sangat utama belajar hidup bahagia dari beliau. Karena ternyata bahagia yang sejati adalah hadir bila kenikmatan iman, kenikmatan rohani bertemu dan bersanding dengan kabahagiaan menjalani kehidupan dunia.
Oleh karena itu mukmin yang cerdas adalah siapa yang merancang dan merencanakan kebahagiaan dunia dan akhirat. Yakinlah tidak akan meraih bahagia sejati jika hanya salah satu yang difokuskan. Demikian Allah swt mengajarkan kita untuk bahagia lahir dan batin. Seperti yang selalu menghiasi akhir dari doa-doa kita, yang terambil dari surah al-Baqarah ayat 102, “Wahai Tuhan kami karuniakanlah kebahagiaan di dunia dan akhirat serta bebeskanlah kami dari api neraka.”
Hamba mukmin yang sejati bukan hanya memikirkan bagaimana bahagia itu diraih di dunia atau hanya faktor keduniaan yang menjadi standar kamus bahagianya. Tapi ia yang juga memikirkan bahwa dengan iman yang melingkar pada jiwanya ia harus bahagia, bahwa dengan kehebatan cinta pada Ilahi niscaya menghantar pada bahagia. Ia ingin shalat dengan perasaan bahagia, ia ingin bersama cita-cita dengan iman kuasakan bahagia, saat hadapi masalah dengan iman ia genggam bahagia.
Pasalnya, bila Anda seorang yang selalu menghitung matematis tentang kebahagiaan dan standarisasi bahagia pada dunia, maka berhentilah. Tidak selalu kaya raya bersamanya kebahagiaan. Jika Anda senantiasa berpikir tentang bahagia dengan meninggalkan iman, maka bergantilah, justru dengan iman akrablah kebahagiaan.
Yakinlah, jika Anda menyakini dengan melepaskan nilai-nilai keimanan arahkan Anda pada keberuntungan, maka berubahlah. Jika Anda percaya dengan cara non imani bisa buatmu makin sukses dan kaya, maka waspadalah. Karena logika dari iman sejati adalah kebaikan. Sementara konsekuensi tanpa iman adalah hampa, tidak hidup.
Dalam keimanan yang terus Anda jaga dan aplikasikan selalu ada rahasia menakjubkan darinya. Bila telah kuasa semaikan bahagia bersama iman dan aktifitasnya, bersyukurlah dan jagalah ia. Untuk itu, mari belajar hidup dari hidup Rasulullah saw, dan orang-orang shaleh, bahwa iman garansikan kebahagiaan. []