HUBUNGAN sesama jenis atau homoseksual merupakan perbuatan terlaknat dan sangat dilarang dalam Islam. Namun jika kita menelisik lebih jauh, fenomena penyimpangan seksual sudah terjadi jauh sebelum masa Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada masa Nabi Lûth yang diutus untuk kaum Sodom. Dan Allah SWT tak segan-segan menurunkan azab yang amat pedih terhadap kaum Sodom yang telah berbuat zalim.
Dan pada zaman modern seperti saat ini, perilaku homoseksual kian terlihat jelas dan muncul secara terang-terangan. Contohnya pernikahan sejenis yang kini dilegalkan oleh banyak negara Barat dengan dalih kebebasan HAM. Berbagai acara atau festival yang mengangkat budaya kaum homo juga sering digelar dan diikuti banyak orang dari berbagai negara. Tak terkecuali di Indonesia yang kerap digegerkan dengan fenomena pernikahan sesama jenis.
BACA JUGA: Vladimir Putin: Pernikahan Sejenis Tidak akan Menghasilkan Anak
Islam telah memberikan peringatan yang keras bagi para pelaku homoseksual. Menurut sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Siapa saja yang kalian dapatkan melakukan perbuatan homoseksual, maka bunuhlah kedua pelakunya.” Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk hukuman yang dikenakan kepada pelakunya.
Timbulnya perbedaan ini karena perbedaan dalam menginterpretasi dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’ân, al-Hadits dan atsar (fakta sejarah sahabat). Mereka berbeda pendapat mengenai hukuman yang layak diberlakukan kepada para pelakunya. Perbedaan yang muncul hanya menyangkut dua hal.
Pertama, perbedaan sahabat dalam menentukan jenis hukuman. Kedua, perbedaan ulama dalam mengategorikan perbuatan tersebut, apakah dikategorikan zina atau bukan? Perbedaan ini berimplikasi terhadap kadar atau jenis hukuman yang dikenakan.
Berikut pendapat beberapa ulama salaf mengenai hukuman bagi pelaku hubungan sesama jenis.
Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi)
“Praktik homoseksual tidak dikategorikan zina dengan alasan: (1) karena tidak ada unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. Unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktek homoseksual, (2) berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat”. Berdasarkan kedua alasan ini, maka Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa atau pemerintah).
Muhammad ibnu al-Hasan asy-Syaibani dan Abu Yusuf (keduanya murid Abu Hanifah)
“Praktik homoseksual dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur kesamaan antara keduanya, seperti: (1) tersalurkannya syahwat pelaku, (2) tercapainya kenikmatan (karena penis dimasukkan ke lubang dubur), (3) tidak diperbolehkan dalam Islam, (4) menumpahkan (menyia-nyiakan) air mani”.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Muhammad Ibnu al-Hasan dan Abu Yusuf berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual sama seperti hukuman yang dikenakan kepada pezina, yaitu kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari dengan batu sampai mati), dan kalau ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk dan diasingkan selama satu tahun.
Imam Malik
“Praktik homoseksual dikategorikan zina, dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam (bila ia baligh, berakal, dan tidak dipaksa), baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau ghairi muhshan (perjaka)”.
Imam Syafi’i
“Praktik homoseksual tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan ; bahwa keduanya sama-sama merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya ialah: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam; kalau ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun”. Pendapat ini sama dengan pendapat Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, an-Nakha’i, al-Hasan dan Qatadah.
Imam Hambali
“Praktik homoseksual dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua pendapat: (1) dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam, dan alau pelakunya ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pendapat inilah yang paling kuat. (2) dibunuh dengan dirajam, baik pelakunya muhshan maupun ghairi muhshan“.
Terlepas dari pendapat para ulama di atas, dapatlah dikatakan jika hukuman dari perbuatan keji ini sangatlah pedih dan memalukan. Setelah mengetahui hukum perbuatan keji ini dan hukuman bagi pelakunya, maka jelaslah kekeliruan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan sejenis itu merupakan kelaziman yang dibuat oleh Allâh –dan Allâh berlepas diri dari yang mereka katakan secara dusta.
BACA JUGA: Heboh Pernikahan Sesama Jenis di Sulsel, Ini Kata Kemenag Soppeng
Adapun sikap bagi seorang Muslim, bila dibacakan kepadanya ayat Allâh Azza wa Jalla , hendaklah ia tunduk dan patuh pada perintah, dan menjauhkan diri dari larangan-larangan Allâh SWT. Hendaklah seseorang berjalan sesuai fitrahnya (naluri suci) yang selalu mengarahkan jiwa manusia ke arah kebaikan. Janganlah sesekali mencoba untuk menghindari fitrah dan mengikuti hawa nafsu yang dapat mengantarkannya pada perbuatan fasik.
Allâh SWT berfirman (yang artinya): “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. ash-Shaff/61:5). Allâh Azza wa Jalla juga melarang orang-orang yang mengada-ada tentang suatu hukum dalam syariat Islam.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh tidaklah beruntung.” (QS. an-Nahl/16:116)
[]
SUMBER: ALMANHAJ