By: Mam Fifi 🌸
“DOAKAN ya Mam Fifi.”
Aku diam saja. Bukan nggak mau mendoakan tapi takut lupa. Dan kalau diiyakan lalu lupa, kan sudah janji ya, nanti hati menjadi berat.
Ada lagi ketika mendengar aku mau ke Australia. Kebenaran anak teman juga satu pesawat sama aku. Ibunya, ”Titip ya Mam Fifi. Titip anak saya.“
Aku diam saja. Aku hanya senyum dan membicarakan yang lainnya. Aku khawatir kalau bilang iya, lalu aku jadi ‘terbebani secara moral‘ karena dititipkan itu berat. Amanah. Apalagi di negeri orang. Walau aku sempat kepikiran sih itu basa-basi lah tapi tetap saja menjawab basa-basi kan juga akan diminta pertanggungjawaban.
Lalu, “Oh, kenal ya dengan Bu X? Anaknya di JISc juga? Salam ya Mam Fifi.“
Aku diam saja dan mengalihkan pembicaraan. Kalau aku bilang, “Iya Bu, akan saya sampaikan.“
Aku khawatir, Senin pas kerja aku sibuk mencari nomor telepon Ibu X untuk menyampaikan salam kepadanya.
Karena kalau aku sudah mengangguk apalagi bilang, “Ya, Bu. Inshaa Allah.” Maka itu adalah amanah.
Bagiku lho. Berat memang.
Lalu seorang guru yang baik dengan kinerja yang bagus dinaikkan pangkat menjadi leader. Lalu beliau mengucapkan, “Mohon bimbingannya ya, Mam.”
Aku nggak diam saja tapi bilang gini, “Nggak ah, aku khawatir lelah ngebimbing ini itu. Aku nggak mau kebebanan. Kamu belajar saja bersama leaders yang lain, harus berpikir, and tahu what to do and how to do.”
Tampak agak aneh. Tampak galak. Tampak judes. Tapi buatku, kalau kita bilang ‘Iya, inshaa Allah’ maka jatuh sudah beban amanah di pundak untuk melaksanakan amanah tersebut.
Dan aku adalah golongan yang tak kuat. Qod aflahal mu’minuun.
“Wallażīna hum li`amānātihim wa ‘ahdihim rā’ụn. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya).” (QS. 23: 8) []