DALAM kitab al-Arba’un an-Nawawiyah karya Imam an-Nawawi rahimahullah, terdapat satu hadits pendek yang memiliki makna yang sangat luas dan dalam, yaitu hadits ad-Diin an-Nashiihah (Agama adalah Nasihat). Di kitab Arba’in, hadits ini terletak di urutan ke-7. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, dan terletak di hadits nomor 55 di Shahih Muslim. Berikut redaksinya, sebagaimana di al-Arba’un an-Nawawiyah:
عن أبي رقية تميم بن أوس الداري – رضي الله تعالى عنه – أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الدين النصيحة”, قلنا: لمن؟ قال: “لله، ولكتابه، ولرسوله، ولأئمة المسلمين، وعامتهم”.
Artinya: “Dari Abi Ruqayyah, Tamim ibn Aus ad-Dari radhiyallahu ta’ala ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Agama adalah nasihat.’ Kami (para shahabat) berkata, ‘Bagi siapa?’, beliau bersabda, ‘Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.’”
Apa yang dimaksud dengan an-nashiihah? Secara bahasa, an-nashiihah berarti al-ikhlash (pemurnian), seperti ungkapan nashahta al-‘asl (engkau memurnikan madu), jika engkau memurnikannya dari lilin yang ada padanya. Jadi, nasihat atau dalam bahasa Arabnya, an-nashiihah berarti pemurnian apa-apa yang tercakup dalam pembahasannya.
BACA JUGA: Adab dan Keilmuan dalam Islam
Ungkapan ad-diin an-nashiihah, agama adalah nasihat, maksudnya adalah an-nashihah itu merupakan tiang dan pondasinya agama. Ungkapan semacam ini mirip dengan ungkapan al-Hajju ‘Arafah, karena posisi wuquf di ‘Arafah yang sangat penting dalam manasik haji. Jadi, posisi an-nashiihah (yang rinciannya akan dijelaskan setelah ini) sangat penting dalam diinul Islam, bahkan ia dianggap sebagai tiang dan pondasinya. Dan bisa kita pahami, suatu bangunan yang tidak memiliki tiang dan pondasi, tentu bangunan tersebut akan runtuh.
Nasihat Bagi Allah Ta’ala
Setelah menyatakan bahwa agama adalah nasihat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh para shahabat, ‘bagi siapa nasihat tersebut?’, Rasul kemudian menjawab, ‘Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya’.
Apa maksud dari jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut?
An-Nawawi, Ibn Daqiq al-‘Ied, dan as-Suyuthi menukil pernyataan al-Khaththabi dan ulama lainnya tentang makna jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun nasihat bagi Allah ta’ala, maksudnya adalah beriman kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya, mensifati-Nya dengan seluruh sifat kesempurnaan dan keagungan, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat kekurangan. Bagian dari nasihat bagi Allah ta’ala juga adalah melaksanakan seluruh ketaatan kepada-Nya dan menjauhi berbagai kemaksiatan. Kemudian cinta dan benci karena Allah ta’ala, berjihad terhadap orang-orang yang kafir kepada-Nya, mengakui dan bersyukur atas berbagai kenikmatan yang diberikan-Nya. Inilah beberapa bagian dari makna nasihat bagi Allah ta’ala.
Ada poin penting yang ingin saya beri penekanan lebih di sini, yaitu tentang melaksanakan seluruh ketaatan kepada Allah ta’ala dan menjauhi berbagai kemaksiatan kepada-Nya, serta cinta dan benci karena-Nya. Menaati perintah dan menjauhi larangan Allah ta’ala adalah perkara yang mudah di lisan dan tulisan, namun sulit untuk diaplikasikan. Apalagi di zaman sekarang, di mana kebaikan saat ini dianggap keburukan, dan keburukan dianggap kebaikan. Ahli maksiat disanjung-puja, sedangkan orang yang taat dicibir dan dinista.
Di zaman ini, banyak orang yang hanya menaati sebagian perintah Allah ta’ala, dan sebagian perintah lainnya diabaikan, padahal keduanya adalah wajib. Mereka shalat lima waktu dan puasa Ramadhan, namun mereka memakan riba dan membuka aurat di depan umum. Mereka mengeluarkan zakat dan berhaji, namun mereka diam terhadap kemungkaran yang merajalela. Dalam aspek ibadah mahdhah mereka mengikuti tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah, namun dalam aspek muamalah mereka mengikuti tuntunan Adam Smith. Dalam pengaturan pernikahan mereka mengikuti ajaran Islam, namun dalam pengaturan pemerintahan mengikuti ajaran Plato.
Inilah realita banyak umat Islam di zaman sekarang. Inilah realita yang wajib kita ubah. Umat Islam harus kembali ke keadaan mereka semula, sebagaimana mereka di masa terbaik mereka, yaitu di masa para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, para tabi’in, dan atbaa’ at-tabi’in. Umat Islam di generasi tersebut taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak memilih-memilih ketaatan. Semua yang wajib mereka laksanakan, dan semua yang haram mereka tinggalkan.
Adapun tentang cinta dan benci karena Allah ta’ala, ini juga patut kita perhatikan. Di masa sekarang, banyak umat Islam yang masih meletakkan cinta dan bencinya terhadap sesuatu dengan landasan perasaan dan akal pikiran yang tak terbimbing wahyu. Misalnya, sebagian mereka membenci para wanita yang menutup auratnya secara sempurna, dengan jilbab dan kerudung yang lebar, padahal apa yang dilakukan oleh para wanita tersebut sudah tepat sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Mereka mencintai negeri yang bernama Indonesia ini secara kebablasan, sampai-sampai bagi mereka sistem negeri ini adalah harga mati, dan sekaligus membenci orang-orang yang ingin mengubah sistem negeri ini menjadi sistem Islam. Mereka membenci gerakan Islam yang melakukan aktivitas nahi munkar atas berbagai kemaksiatan yang tampak jelas, namun mereka tak menampakkan kebencian yang sama terhadap pelaku kemaksiatan yang tampak jelas tersebut.
Padahal seharusnya, umat Islam mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah ta’ala, dan membenci orang-orang yang dibenci oleh-Nya. Pedomannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika suatu aktivitas dan pelakunya dicintai oleh Allah ta’ala, misalnya para mujahidin yang berjihad fi sabilillah, maka kita juga harus mencintainya, walaupun opini umum dunia menyatakan mereka adalah para teroris. Jika ada muslim atau muslimah yang komitmen menjalankan Islam secara kaffah, kita harus mencintainya karena Allah, walaupun pandangan masyarakat sinis terhadapnya.
Nasihat Bagi Kitab Allah
Kemudian bagian kedua, nasihat bagi kitab-Nya. Maksudnya adalah kita wajib beriman bahwa ia adalah kalamullah dan yang diturunkan oleh-Nya. Tidak ada perkataan manusia yang menyerupainya, dan tidak ada seorang pun yang bisa membuat semisalnya. Mengagungkannya, dan membacanya dengan sebenar-benarnya bacaan, membaguskan bacaannya dan khusyu’ saat melantunkannya, dan seterusnya.
Terkait nasihat bagi kitab-Nya ini, al-‘Utsaimin memberikan penjelasan yang cukup gamblang. Beliau menyatakan bahwa nasihat bagi kitab-Nya ini mengandung beberapa hal yaitu: (1) membelanya dari penyimpangan (tahrif) yang dilakukan oleh orang-orang yang berusaha merusaknya, dan menjelaskan kebatilan tahrif yang dilakukan oleh mereka, (2) membenarkan semua informasi yang disampaikannya dengan pembenaran yang bersifat pasti (tashdiqan jaziman), (3) melaksanakan semua perintah yang termaktub di dalamnya, (4) menjauhi semua larangan yang termaktub di dalamnya, (5) meyakini bahwa hukum yang terdapat di dalamnya merupakan sebaik-baiknya hukum, dan tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum al-Qur’an al-Karim, (6) meyakini bahwa ia adalah kalamullah ‘azza wa jalla, baik huruf dan maknanya, Allah berbicara dengannya secara hakikat, dan Jibril menerimanya langsung dari Allah ‘azza wa jalla, kemudian menurunkannya pada qalbu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar beliau menjadi pemberi peringatan dengan menggunakan lisan ‘Arab yang jelas.
Bagaimana adab umat Islam saat ini terhadap al-Qur’an? Bagaimana mereka memposisikan al-Qur’an? Apakah mereka menganggap hukum al-Qur’an sebagai hukum yang terbaik? Jika mereka menganggap hukum al-Qur’an sebagai hukum yang terbaik, mengapa mereka menerapkan hukum selain hukum al-Qur’an?
Penerapan hukum selain hukum al-Qur’an merupakan perkara yang besar, masuk pembahasan aqidah dan ushuluddin. Namun begitu banyak umat Islam saat ini yang tak begitu memedulikannya. Seakan ini hal yang remeh, tak penting. Bahkan sebagian mereka membebek pada orang-orang kafir dan liberal yang menyatakan bahwa hukum al-Qur’an tak relevan di masa sekarang, hukum al-Qur’an tidak cocok diterapkan di negeri ini. Inilah cara pandang sebagian umat Islam di masa sekarang. Inilah cara pandang mereka yang kacau terhadap al-Qur’an. Di lisan mereka menyatakan mengagungkan al-Qur’an, tapi perbuatan mereka menunjukkan mereka sedang menistakannya. Na’udzubillahi min dzalik.
BACA JUGA: Umat Islam Adalah Umat yang Terbaik
Nasihat Bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Untuk bagian ketiga, nasihat bagi Rasul-Nya, maknanya adalah membenarkan risalah yang dibawa beliau, mengimani seluruh apa yang dibawa oleh beliau, menaati perintah dan larangannya, menolong beliau saat beliau masih hidup maupun setelah meninggal, serta memusuhi orang yang memusuhi beliau dan membela orang yang membela beliau. Termasuk juga maknanya adalah menghidupkan thariqah dan sunnahnya, menyambut seruannya dan menyebarkan sunnahnya, tidak berbicara tentang beliau tanpa ilmu, berakhlak dengan akhlaknya, beradab dengan adabnya, mencintai ahli bait dan shahabatnya, dan lainnya yang memang menjadi hak Rasul atas kita.
Bagian ketiga ini senada dengan bagian kedua, dan sudah kita pahami bersama bahwa kitabullah dan sunnah Rasulullah adalah dua sumber Islam yang tak terpisahkan, sehingga nasihat bagi kitab Allah dan bagi Rasulullah seiring sejalan.
Lalu apa yang terjadi di zaman ini? Banyak orang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dengan sadar mengamalkan bahkan menyebarkan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah beliau. Demikian juga, sudah kita pahami bahwa kalangan Yahudi dan Nasrani adalah dua kelompok yang memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau masih hidup, dan memusuhi ajaran beliau setelah beliau wafat, namun banyak sekali umat Islam saat ini yang bermesraan dengan Yahudi dan Nasrani, mengikuti gaya hidup mereka, bersikap dan berpikir seperti mereka, bahkan mengikuti jalan mereka dalam memusuhi perjuangan para da’i yang ingin menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wal ‘iyadzu billah.
Nasihat Bagi Para Pemimpin Kaum Muslimin
Kita masuk ke bagian keempat, yaitu nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin (aimmatul muslimin). Ada dua makna aimmatul muslimin ini, yaitu para penguasa dan para ulama. Kebanyakan ulama lebih condong memaknainya sebagai para penguasa, dan bukan para ulama. Nasihat bagi para ulama maknanya adalah menerima riwayat mereka, bertaqlid kepada mereka dalam hukum, dan berbaik sangka pada mereka.
Adapun makna nasihat bagi para penguasa adalah tolong-menolong dengan mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam perkara-perkara yang haq tersebut, menganjurkan mereka untuk menetapi kebenaran, menasihati dan mengingatkan mereka dengan lemah-lembut, memberitahu mereka jika mereka lalai dan mengabaikan hak-hak kaum muslimin, tidak memberontak terhadap mereka, dan menyatukan hati manusia untuk menaati mereka.
Pertanyaannya adalah, apakah para penguasa kaum muslimin saat ini merupakan bagian dari aimmatul muslimin yang dijelaskan di atas? Apakah para penguasa sekarang merupakan ulil amri yang wajib ditaati? Pertanyaan yang saya ajukan ini merupakan perkara besar dan perlu penelaahan yang mendalam. Dan tulisan kali ini tidak akan membahas terlalu rinci tentang hal ini. Namun, untuk menjadi bahan renungan, mari kita perhatikan pernyataan Imam asy-Syaukani dalam Fath al-Qadir (1/556) berikut ini:
وأولي الأمر: هم الأئمة، والسلاطين، والقضاة، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
Artinya: “Dan ulil amri, mereka adalah para imam, sultan, qadhi, dan semua yang memiliki wilayah syar’iyyah, bukan wilayah thaghutiyyah.”
Dari penjelasan asy-Syaukani di atas, ada syarat seseorang dikatakan ulil amri, yaitu jika ia memiliki wilayah syar’iyyah, bukan wilayah thaghutiyyah. Apa yang dimaksud dengan thaghut? Menurut Syaikh Muhammad ibn ‘Abdil Wahhab dalam Majmu’ah Rasail (1/377), thaghut adalah semua yang disembah atau yang ridha diibadahi selain Allah. Semua yang diibadahi, diikuti dan ditaati di luar ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah thaghut. Syaikh Muhammad ibn ‘Abdil Wahhab dalam Tsalatsah al-Ushul (1/24-25) menukil pernyataan Ibnul Qayyim yang menyatakan bahwa penghulu thaghut ada lima, yaitu: (1) Iblis la’natullah, (2) yang ridha disembah oleh manusia, (3) yang menyeru manusia untuk menyembah dirinya, (4) yang mengklaim dirinya mengetahui sesuatu yang ghaib, dan (5) yang memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah.
Jadi, salah satu thaghut adalah yang memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah. Dan kekuasaan yang diterapkan di atas pondasi hukum selain hukum Allah ta’ala, berarti kekuasaannya adalah kekuasaan thaghutiyyah, bukan kekuasaan syar’iyyah. Dan penguasa yang menerapkan hukum selain hukum Allah bukanlah penguasa syar’i, melainkan penguasa thaghut, mereka bukanlah ulil amri. Wallahu a’lam bish shawwab.
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (9/46-47) menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menaati ulil amri, walaupun ia memiliki kehinaan, selama ia masih memimpin dengan kitabullah. Yang maksudnya adalah selama mereka masih berpegang teguh pada Islam.
Terakhir tentang hal ini, di masa sekarang cukup banyak kalangan yang menyepakati bahwa penguasa kaum muslimin saat ini bukanlah ulil amri yang wajib ditaati, karena mereka tidak menerapkan hukum Allah, melainkan menerapkan hukum thaghut dengan berbagai istilahnya. Hanya sebagian orang yang masih berkeras menyatakan bahwa penguasa kaum muslimin saat ini adalah ulil amri dan wajib taat kepadanya, setiap orang yang mengkritik penguasa saat ini secara terang-terangan adalah khawarij atau terpengaruh paham khawarij. Inilah mereka, menuduh para da’i yang menuntut penguasa menerapkan hukum Islam, menyeru umat untuk menegakkan daulah Islamiyah yang menerapkan hukum-hukum al-Qur’an dan mencampakkan hukum thaghut, sebagai khawarij, sedangkan mereka sendiri diam terhadap kemungkaran besar yang dilakukan penguasa, dengan alasan para penguasa tersebut adalah ulil amri mereka. Semoga kita terhindar dari mengikuti syubhat pemikiran mereka ini.
Nasihat Bagi Kaum Muslimin Secara Umum
Bagian kelima, yaitu bagian yang terakhir, adalah nasihat bagi kaum muslimin secara umum. Maknanya adalah memberi petunjuk mereka pada hal-hal yang akan memberikan maslahat bagi akhirat dan dunia mereka, mencegah dari hal-hal yang membahayakan mereka, mengajari mereka apa-apa yang tidak mereka ketahui dalam urusan agama mereka, melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka secara lemah-lembut dan ikhlas, mencintai sesuatu bagi mereka sebagaimana kita mencintainya bagi diri kita sendiri, membenci sesuatu bagi mereka sebagaimana kitab membencinya bagi diri kita sendiri, dan seterusnya yang terkait hak-hak umat Islam pada umumnya.
BACA JUGA: Peradaban Islam, dari Umar bin Khattab sampai Thariq bin Ziyad
Inilah nasihat bagi kaum muslimin yang harus kita wujudkan. Kita mencintai mereka sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, kita menginginkan kebaikan atas mereka sebagaimana kebaikan itu kita inginkan untuk diri kita sendiri. Jika kita telah berada di jalan yang lurus, maka kita ingin agar umat Islam secara keseluruhan juga berada di jalan yang lurus. Jika mereka menyimpang dari ajaran Islam, kita luruskan mereka secara baik-baik, sebagai bentuk kecintaan kita pada mereka. Kita tidak boleh tinggal diam terhadap penyimpangan yang terjadi di tubuh umat Islam, apalagi jika penyimpangan tersebut menggurita, menjadi opini umum di tengah masyarakat. Kita wajib mengingatkan umat Islam akan penyimpangan ini, menunjukkan mereka manhaj Islam yang lurus, mengarahkan mereka pada thariqah Islam yang benar, sebagaimana yang telah dijalani oleh Rasulullah dan para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Penutup
Selesai penjabaran lima nasihat dalam hadits ini bi-‘aunillah. Dan nasihat dalam hadits ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Daqiq al-‘Ied, hukumnya adalah fardhu kifayah. Dan makna fardhu kifayah adalah, jika sudah ada sekelompok orang yang menegakkannya, maka yang lain terbebas dari dosa, tapi jika tidak ada yang menegakkannya, atau sudah ada yang berusaha menegakkannya namun belum sampai tegak perkara tersebut, maka semua orang tetap terbebani kewajiban ini.
Wallahul musta’an.
Referensi:
1. Syarh Shahih Muslim karya an-Nawawi
2. Syarh Shahih Muslim karya as-Suyuthi
3. Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah karya Ibn Daqiq al-‘Ied
4. Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah karya al-‘Utsaimin
5. Fath al-Qadir karya asy-Syaukani
6. Tsalatash al-Ushul karya Muhamad ibn ‘Abdil Wahhab
7. Majmu’ah Rasail fi at-Tauhid wa al-Iman karya Muhammad ibn ‘Abdil Wahhab
8. Min Muqawwimat an-Nafsiyyah al-Islamiyyah terbitan Hizbut Tahrir
Facebook: Muhammad Abduh Negara