TINGKAT kelahiran di sebagian besar wilayah Uighur di Hotan dan Kashgar anjlok lebih dari 60 persen dari 2015 hingga 2018. Bahkan di seluruh wilayah Xinjiang, angka kelahiran terus anjlok. Pada 2019 anjlok hampir 24 persen. Penurunan angka kelahiran etnis Muslim Uighur ini terjadi karena pemerintah Cina dilaporkan telah menerapkan metode kontrol kelahiran yang dipaksakan termasuk wajib aborsi kepada ratusan ribu perempuan Uighur dan minoritas Muslim lainnya.
Berdasarkan laporan investigasi Associated Press (AP) yang diterbitkan pada Senin (29/6/2020) mengatakan kebijakan itu bagian dari kampanye pemerintah untuk memangkas tingkat kelahiran di kalangan warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya.
BACA JUGA: Tak Terpengaruh Pandemi Covid-19, Muslim Uighur Bisa Shalat 5 Waktu Berjemaah Tiap Hari
Beberapa perempuan secara individu telah berbicara sebelumnya tentang pengendalian kelahiran secara paksa. Menurut laporan AP, praktik ini jauh lebih luas dan sistematis daripada yang diketahui sebelumnya.
Laporan investigasi AP diperkuat dengan data statistik pemerintah, dokumen resmi negara dan wawancara dengan 30 mantan tahanan, anggota keluarga dan mantan instruktur kamp penahanan di Xinjiang.
Kampanye selama empat tahun terakhir di wilayah barat Xinjiang mengarah pada apa yang oleh beberapa ahli disebut sebagai “genosida demografis.”
Otoritas Xinjiang, menurut laporan AP, secara teratur menjadikan perempuan minoritas melakukan pemeriksaan kehamilan dan memaksakan AKDR, sterilisasi, dan bahkan aborsi. Jumlah perempuan yang jadi target kebijakan itu mencapai ratusan ribu orang.
Langkah-langkah pengendalian populasi didukung oleh penahanan massal baik sebagai ancaman maupun sebagai hukuman karena tidak mematuhi kebijakan kontrol populasi tersebut.
Menurut laporan AP, memiliki terlalu banyak anak adalah alasan utama orang-orang dikirim ke kamp-kamp penahanan, di mana orang tua tiga anak atau lebih direnggut dari keluarga mereka kecuali mereka dapat membayar denda besar. Polisi menggerebek rumah ketika mereka mencari anak-anak yang disembunyikan.
Gulnar Omirzakh, seorang warga etnik Kazakh kelahiran Cina, mengatakan pemerintah memerintahkannya untuk memasang IUD setelah dia memiliki anak ketiga pada 2016. Namun dua tahun kemudian, pada Januari 2018, Omirzakh mengklaim empat pejabat dengan seragam kamuflase militer datang mengetuk pintu rumahnya dan memberinya waktu tiga hari untuk membayar denda senilai USD2.685 karena memiliki lebih dari dua anak.
Omirzakh mengatakan para pria yang mendatanginya memperingatkannya bahwa dia akan bergabung dengan suaminya, seorang pedagang sayur yang ditahan, dan satu juta etnis minoritas lainnya dikurung di kamp-kamp pengasingan, jika dia tidak membayar denda.
“Tuhan menitipkan anak-anak kepada Anda. Untuk mencegah orang memiliki anak adalah salah,” katanya. “Mereka ingin menghancurkan kami sebagai manusia.”
Gulnar Omirzakh kini tinggal di rumah barunya di Shonzhy, Kazakhstan, bersama anak ketiganya, Alif Baqytali.
BACA JUGA: Bocor, Dokumen Cina Ungkap Catatan Penahanan Muslim Uighur di Xinjiang
Seorang sarjana studi Cina, Adrian Zenz juga telah melakukan penelitian terkait dugaan pengurangan populasi Muslim Uighur oleh pemerintah Cina.
“Penurunan semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya…ada kekejaman terhadapnya,” kata Zenz, kontraktor independen di Victims of Communism Memorial Foundation di Washington, D.C.
“Ini adalah bagian dari kampanye kontrol yang lebih luas untuk menaklukkan warga Uighur,” imbuh dia, yang dilansir Fox News, Selasa (30/6/2020).
Zenz menyebut bahwa Cina telah menggelontorkan dana ratusan juta dolar untuk pengadaan alat kontrasepsi. Kebijakan ini telah mengubah Xinjiang dari salah satu daerah dengan pertumbuhan tercepat di Cina menjadi yang paling lambat hanya dalam beberapa tahun.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Cina menyebut laporan itu palsu dan merupakan berita palsu atau hoaks. Kementerian itu mengatakan bahwa pemerintah memperlakukan semua etnik secara adil dan melindungi hak-hak hukum minoritas. []
SUMBER: SINDO | AP