Oleh: Dr Syamsul Yakin MA
PAHALA berobat tentu adalah akan disembuhkan oleh Allah SWT, seperti firman-Nya, “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (QS. al-Syu’ara/26: 80). Berobat sejatinya hanyalah ikhtiar. Yang menyembuhkan bukanlah obat, namun Allah SWT. Penyakit itu sendiri hanyalah makhluk yang tidak lebih digdaya ketimbang kita.
Oleh karena itu, Nabi SAW berseru, “Maka berobatlah kalian, dan jangan kalian berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud). Di antara yang haram misalnya khamar. Nabi SAW memberi informasi, “Khamar itu bukanlah obat, namun ia adalah penyakit.” (HR. Muslim). Berobat bisa dengan madu yang rasanya manis, lezat, dan halal.
BACA JUGA: Hukum Berobat dengan Benda Najis Menurut Madzhab Syafi’i
Nabi SAW bersabda, “Hendaklah kalian menggunakan dua obat, yaitu madu dan Alquran,” (HR. Ibnu Majah). Madu adalah obat untuk fisik, sedangkan Alquran adalah obat bagi yang sakit fisik dan juga psikis. Allah SWT berfirman, “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar.” (QS. al-Isra’/17: 82).
Terkait berobat dengan madu, Abu Said al-Khudri bercerita, bahwa ada seseorang mengadu kepada Nabi SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saudaraku terkena diare”. Rasulullah SAW memberi solusi, “Minumkanlah madu kepadanya.” Orang itupun kemudian meminumkan madu kepada saudaranya.
Akan tetapi, ia kemudian datang lagi kepada Nabi dan mengadu untuk kedua kalinya, “Wahai Rasulullah, aku sudah meminumkan madu kepadanya, tetapi diarenya malah semakin parah”. Nabi SAW kembali memberi saran, “Pergilah dan minumkanlah madu kepadanya”. Orang tersebut kemudian meminumkan madu lagi kepada saudaranya itu.
Namun orang itu datang lagi, “Wahai Rasulullah, minum madu malah membuat diarenya kian parah.” Rasulullah SAW menimpali, “Mahabenar Allah dan telah berdusta perut saudaramu. Pergilah dan minumkanlah madu kepadanya.” Orang itu lalu pergi. Ia meminumkan madu kepada saudaranya. Tak lama saudaranya itu akhirnya sembuh” (HR. Bukhari).
Berobat selain sebagai ikhtiar, termasuk juga bagian dari tawakal. Bagi orang sakit, ikhtiar adalah berobat dengan sungguh-sungguh agar bisa sembuh. Sedangkan tawakal adalah menyerahkan kesembuhannya kepada Allah SWT setelah berobat secara tepat kepada ahlinya. Gampangnya, tawakal adalah kelanjutan dari ikhtiar.
Allah SWT berfirman, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran/3: 159). Insya Allah orang yang berobat adalah orang yang bertawakal kepada Allah SWT sehingga beroleh pahala disukai oleh-Nya.
Namun tampaknya orang yang sakit tidak cukup berobat sebagai bentuk ikhtiar dan tawakal kepada Allah SWT, namun juga harus bersabar. Bersabar ketika sakit merupakan sikap moral yang menghantarkan seseorang kepada surga. Bersabar dalam konteks ini adalah bersabar dalam merasakan rasa sakit yang diujikan oleh SWT.
BACA JUGA: ‘Berobat’ dengan Al-Quran, Bagaimana Hukumnya?
Atha bin Rabah berkata, “Ibnu Abbas bertanya kepadaku”, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”. Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Aku menderita penyakit epilepsi dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah menyembuhkannya.”
Nabi SAW bersabda, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan bagimu surga, dan jika kamu mau, aku akan mendoakanmu agar Allah menyembuhkanmu”. Namun wanita itu menjawab, “Aku pilih bersabar”. Wanita itu berkata lagi, “Tatkala penyakit itu menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.” Lalu Nabi mendoakannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain berobat agar sembuh, Nabi SAW juga mengajarkan doa ini, “Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Engkaulah al-Syaafi (Dzat Yang Maha Menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” (HR. Bukhari dan Muslim). []
SUMBER: REPUBLIKA