DUNIA itu ibarat gula; manis. Ia akan mengundang siapa saja yang ingin mereguknya. Hanya dengan jalan kesabaran, keindahan dunia terasa indah. Seperti dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah ia dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar yang mempunyai keberuntungan besar,” (QS. Fushshilat [41] : 35).
Berbicara tentang gula, gula itu selalu manis. Pasti manisnya gula selalu mengundang semut untuk mendekat dan menjamahnya sehingga ada pepatah yang mengatakan, ada gula ada semut.
Keberadaan gula dengan semut menjadi identik. Gula yang manis, apabila tidak terbungkus rapi, mudah dijamah semut. Wajar kiranya jika ada yang berpesan kepada ‘orang manis’ untuk berhati-hati agar tidak kehilangan manisnya.
Layaknya garam, gula juga menjadi teman sehari-hari manusia. Seakan tiada hari tanpa gula dan garam. Begitulah gula, ia hanyalah satu dari sekian ayat keberadaan Allah, Tuhan Yang Agung. Lihatlah, bagaimana gula bisa saling melengkapi keindahan rasa, berpacu dengan garam dan bumbu-bumbu dapur lainnya,’berkorban’ demi apa yang dinamakan kepuasan rasa manusia.
Luqman suka sekali minum teh manis. Menurut penelitian yang pernah didengar Luqman, satu sendok kecil gula yang dicampur dengan teh panas akan mampu merangsang badan hingga mencapai kesegaran. Apabila diminum pada pagi hari, teh akan mengawali kecerahan, dan apabila diminum pada sore hari, teh manis akan mengembalikan kesegraan setelah kepenatan bekerja.
“De…de… teh manisnya mana?”, tanya Luqman kepada istrinya, Maemunah.
“Tehnya sudah dari tadi saya taruh di meja,” ujar Maemunah.
“Wah…., kok nggak bilang dari tadi?”
“Saya tadi udah bilang. Masnya aja yang terlalu asyik baca Koran!” sahut Maemunah.
Luqman beringsut, melangkah ke meja.
“Waduuh…!” tiba-tiba Luqman berteriak kecil. Ia tertegun.
“Ada apa mas?”, Tanya Maemunah kaget, sambil melangkah mendekat.
“Disemutin!,” ujar Luqman.
Ternyata teh tersebut dikerebungi semut. Hal biasa, seolah merefleksikan ungkapan ‘di mana ada gula di situ ada semut’. Rupanya, semut-semut itu ‘mendahului’ Luqman menyeruput teh manis yang ada di atas meja itu. Ya sudah, Luqman mengalah. Ia meminta sang istri membuatkan teh manis yang baru.
Satu hal yang membuat Luqman tertegun adalah ketika ia pandangi kerumunan semut itu. Semut yang ‘mendahului’ Luqman mencicipi teh manis semuanya mati. Tidak ada yang tersisa. Benar-benar tidak ada yang tersisa!.
Semut-semut itu ada yang mati di pinggir cangkir, ada yang mati di pinggir tatakan cangkir, dan yang terbanyak mati di tengah cangkir. Mengembang di atas air teh manis tersebut.
Tiba-tiba ia merasa ada getaran hikmah yang hadir di hatinya. Kesia-siaan. Itulah hikmah yang tersembunyi dari pemandangan pagi itu. Bagi para semut itu, alih-alih mendapatkan makanan, alih-alih merasakan nikmatnya gula, malah kematian yang didapat.
Semut mau mendatangi teh manis karena ‘undangan tidak tertulis’ dari manisnya gula. Mereka memandangnya sebagai sebuah kenikmatan dan makanan bagi kehidupan mereka; mengabaikan pertimbangan akal, lagipula memang semut tidak mempunyai akal.
Luqman pun merasakan adanya petikan hikmah yang mampu menghujam relung-relung hatinya. Ia sampai pada suatu simpulan bahwa demikian pulalah nasib yang akan dialami oleh orang-orang yang mengejar keindahan dunia tanpa mempertimbnagkan kehadiran akan keberadaan Allah sebagai pengawasnya. Apabila kalau mengejarnya dilakukan secara instan dengan cara memotong kompas. Semakin di kayuh lekas pula terempas.[]
Sumber: Kaya Lewat Jalan Tol (Kaya Hati, Kaya Rasa, kaya Raya). Ustadz Yusuf Mansur. Bandung: PT. Salamadani Pustaka Semesta