HARI Sabat, atau hari sabtu saat ini, adalah hari besar di mana para pengikuti ajaran Nabi Musa AS (pada masa Nabi SAW dikenal sebagai kaum Yahudi) dilarang melakukan aktivitas apapun kecuali untuk beribadah, berdzikir atau mempelajari kitab Taurat.
Suatu ketika, seorang lelaki Yahudi yang tinggal di Syam mengisi hari sabatnya untuk mempelajari kitab Taurat. Ia menemukan dalam Taurat tersebut ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat dan keadaan Nabi Muhammad SAW, nabi yang diramalkan akan turun sebagai penutup para Nabi-nabi, sebanyak empat halaman. Ia segera memotong empat halaman Taurat tersebut dan membakarnya.
Saat itu memang Nabi SAW telah diutus dan telah tinggal di Madinah. Sementara itu, beberapa orang pemuka dan pendeta Yahudi melakukan “indoktrinasi” kepada jamaahnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendusta. Jika ditemukan sifat dan cerita tentang dirinya dalam Taurat, mereka harus memotong dan membakarnya karena itu merupakan ayat-ayat tambahan dalam Taurat yang tidak benar. Lelaki Yahudi dari Syam tersebut adalah satu anggota jamaah sekte ini.
Pada hari sabtu berikutnya, ia juga mengisi harinya dengan melakukan kajian terhadap Taurat, dan ia menemukan delapan halaman yang menyebutkan tentang keadaan dan sifat-sifat Nabi SAW. Seperti kejadian sebelumnya, ia memotong delapan halaman tersebut dan membakarnya.
Pada hari sabtu berikutnya lagi, ia masih melakukan kajian terhadap Taurat, dan kali ini ia menemukan hal yang sama, bahkan ditambah dengan cerita tentang beberapa orang sahabat di sekitar beliau, dan ia menemukannya dalam 12 halaman. Kali ini ia tidak langsung memotongnya, tetapi ia berpikir dan berkata dalam hatinya, “Jika aku selalu memotong bagian seperti ini, bisa-bisa Taurat ini seluruhnya akan menyebutkan tentang sifat sifat dan keadaan Muhammad.”
Tentunya kita tidak tahu pasti, apakah memang kandungan Taurat seperti itu? Atau memang Allah SWT telah menggiring lelaki Yahudi kepada hidayah-Nya, sehingga setiap kali dipotong, akan muncul secara ajaib (mu’jizat) pada halaman lainnya, lebih banyak dan lebih lengkap tentang keadaan Nabi Muhammad SAW.
Tetapi, tiga kali pengalaman kajiannya tersebut telah memunculkan rasa penasaran dan keingin-tahuannya yang besar kepada Nabi SAW. Bahkan dengan tiga kali kajiannya tersebut, seakan-akan sifat-sifat dan keadaan beliau telah lekat di kepalanya, dan seperti mengenal beliau sangat akrab.
Ia datang kepada kawan-kawan Yahudinya dan berkata, “Siapakah Muhammad ini?”
“Ia seorang pembohong besar (yang tinggal di Madinah),” Kata salah seorang temannya, “Lebih baik engkau tidak melihatnya, dan dia tidak perlu melihat engkau!”
Tetapi lelaki Yahudi yang telah “melihat” dengan “ilmul yakin” tentang keadaan Nabi SAW ini, tampaknya tidak mudah begitu saja dipengaruhi teman-temannya. Seakan ada kerinduan menggumpal kepada sosok Muhammad yang belum pernah dikenal dan ditemuinya itu. Kerinduan yang memunculkan kegelisahan, yang tidak akan bisa hilang kecuali bertemu langsung dengan sosok imajinasi dalam pikirannya tersebut. Ia berkata dengan tegas, “Demi kebenaran Taurat Musa, janganlah kalian menghalangi aku untuk mengunjungi Muhammad.”
Dengan tekad yang begitu kuatnya, teman-temannya itu tak mampu lagi menghalangi langkahnya untuk bertemu dengan Nabi SAW di Madinah. Lelaki Yahudi ini mempersiapkan kendaraan dan perbekalannya dan langsung memacunya mengarungi padang pasir tanpa menunda-nundanya lagi. Beberapa hari berjalan, siang dan malam terus saja berjalan, hingga akhirnya ia memasukikota Madinah.
Orang pertama yang bertemu dengannya adalah Sahabat Salman al Farisi. Karena Salman berwajah tampan, dan mirip gambaran yang diperolehnya dalam Taurat, ia berkata, “Apakah engkau Muhammad?”
Salman tidak segera menjawab, bahkan segera saja ia menangis mendapat pertanyaan tersebut, sehingga membuat lelaki Yahudi ini terheran-heran. Kemudian Salman berkata, “Saya adalah pesuruhnya!”
Memang, hari itu telah tiga hari Nabi SAW wafat dan jenazah beliau baru dimakamkan kemarin malamnya, sehingga pertanyaan seperti itu mengingatkannya kepada beliau dan membuat Salman menangis. Kemudian lelaki Yahudi itu berkata, “Dimanakah Muhammad?”
Salman berpikir cepat, kalau ia berkata jujur bahwa Nabi SAW telah wafat, mungkin lelaki ini akan pulang, tetapi kalau ia berkata masih hidup, maka ia berbohong. Salman-pun berkata, “Marilah aku antar engkau kepada sahabat-sahabat beliau!”
Salman membawa lelaki Yahudi tersebut ke Masjid, di sana para sahabat tengah berkumpul dalam keadaan sedih. Ketika tiba di pintu masjid, lelaki Yahudi ini berseru agak keras, “Assalamu’alaika, ya Muhammad!”
Ia mengira Nabi SAW ada di antara kumpulan para sahabat tersebut, tetapi sekali lagi ia melihat reaksi yang mengherankan. Beberapa orang pecah tangisnya, beberapa lainnya makin sesenggukan dan kesedihan makin meliputi wajah-wajah mereka. Salah seorang sahabat berkata, “Wahai orang asing, siapakah engkau ini? Sungguh engkau telah memperbaharui luka hati kami! Apakah kamu belum tahu bahwa beliau telah wafat tiga hari yang lalu?”
Seketika lelaki Yahudi tersebut berteriak penuh kesedihan, “Betapa sedih hariku, betapa sia-sia perjalananku! Aduhai, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan aku, andai saja aku tidak pernah membaca Taurat dan mengkajinya, andai saja dalam membaca dan mengkaji Taurat aku tidak pernah menemukan ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, andai saja aku bertemu dengannya setelah aku menemukan ayat-ayat Taurat tersebut.”
Lelaki Yahudi tersebut menangis tersedu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba ia berkata, “Apakah Ali berada di sini, sehingga ia bisa menyebutkan sifat-sifatnya kepadaku!”
“Ada,” Kata Ali bin Abi Thalib sambil mendekat kepada lelaki Yahudi tersebut.
“Aku menemukan namamu dalam kitab Taurat bersama Muhammad. Tolong engkau ceritakan padaku ciri- ciri beliau!”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Rasulullah SAW itu tidak tinggi dan tidak pendek, kepalanya bulat, dahinya lebar, kedua matanya tajam, kedua alisnya tebal. Bila beliau tertawa, keluar cahaya dari sela-sela giginya, dadanya berbulu, telapak tangannya berisi, telapak kakinya cekung, lebar langkahnya, dan di antara dua belikat beliau ada tanda khatamun nubuwwah!”
“Engkau benar, wahai Ali,” Kata lelaki Yahudi tersebut, “Seperti itulah ciri-ciri Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Kitab Taurat. Apakah masih ada sisa baju beliau sehingga aku bisa menciumnya?”
“Masih!” Kata Ali, kemudian ia meminta tolong kepada Salman untuk mengambil jubah Rasulullah SAW yang disimpan Fathimah az Zahrah, istrinya dan putri kesayangan Nabi SAW.
Salman segera bangkit menuju tempat kediaman Fathimah. Di depan pintu rumahnya, ia mendengar tangisan Hasan dan Husain, cucu kecintaan Rasulullah SAW. Sambil mengetuk pintu, Salman berkata, “Wahai tempat kebanggaan para nabi, wahai tempat hiasan para wali.”
“Siapakah yang mengetuk pintu orang yatim!” Fathimah menyahut dari dalam.
“Saya, Salman…” Kata Salman, kemudian ia menyebutkan maksud kedatangannya sesuai yang dipesankan oleh Ali.
“Siapakah yang akan memakai jubah ayahku?” Kata Fathimah sambil menangis.
Salman menceritakan peristiwa berkaitan dengan lelaki Yahudi tersebut, lalu Fathimah mengeluarkan jubah Rasulullah SAW, yang terdapat tujuh tambalan dengan tali serat kurma, dan menyerahkannya kepada Salman, yang langsung membawanya ke masjid. Setelah menerima jubah tersebut dari Salman, Ali menciumnya diiringi haru dan tangis, hingga sembab matanya. Jubah Rasulullah SAW tersebut beredar dari satu sahabat ke sahabat lainnya yang hadir, mereka menciumnya dan banyak yang menangis karena haru dan rindu kepada Nabi SAW, dan terakhir jatuh ke tangan lelaki Yahudi tersebut.
Lelaki Yahudi ini mencium dan mendekap erat jubah Nabi SAW dan berkata, “Betapa harumnya jubah ini.”
Dengan tetap mendekap jubah tersebut, lelaki Yahudi ini mendekat ke makam Rasulullah SAW, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata, “Wahai Tuhanku, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Dzat yang Esa, Tunggal dan tempat bergantung (Ash Shomad). Dan saya bersaksi bahwa orang yang berada di kubur ini adalah Rasul-Mu dan kekasih-Mu. Saya membenarkan segala apa yang ia ajarkan! Wahai Allah, jika Engkau menerima keislamanku, maka cabutlah nyawaku sekarang juga.”
Tak lama kemudian lelaki Yahudi tersebut terkulai jatuh dan meninggal dunia. Ali dan para sahabat lainnya ikut terharu dan sedih melihat keadaan si Yahudi tersebut. Mereka segera memandikan dan mengurus jenazah lelaki Yahudi, yang telah menjadi muslim tersebut, dan memakamkannya di Baqi’.
Lelaki Yahudi ini bukanlah termasuk sahabat Nabi SAW, bahkan dalam keislamannya tersebut belum satupun shalat atau kefardhuan lain yang dilakukannya, tetapi kecintaan dan kerinduannya kepada Nabi SAW membuatnya pantas kalau ia dimakamkan di Baqi’ disandingkan dengan para sahabat beliau lainnya.[]