SARAH Al Amiri (33), jadi wanita yang mendapatkan perhatian media pada peluncuran misi antariksa pertama Uni Emirat Arab. Hijaber yang merupakan Menteri Negara Ilmu Pengetahuan Tingkat Lanjut di Kabinet UEA itu menjadi penangung jawab utama misi ke Mars tersebut.
Di tengah pandemi global, Uni Emirat Arab akan mengirim sebuah pengorbit bernama “Hope” ke Mars. Misi ini menandai awal penjelajahan antariksa oleh negara Arab. Sebelum UEA, belum pernah ada negara di jazirah Arab yang melakukannya. Selain UEA, Amiri pun akan mencetak sejarah.
Bagaimana kisahnya?
Tepat pada usia 33 tahun, Amiri—ahli komputer yang tak pernah belajar ilmu antariksa secara formal—menjabat sebagai Kepala Operasi Sains dan Wakil Manajer Misi UEA ke Mars. Amiri juga menduduki kursi Menteri Negara untuk Sains Lanjutan. Ia pun menjadi Ketua Dewan Penasihat Ilmuwan UEA.
Bagaimana seorang perempuan muda seperti dirinya bisa memegang setumpuk posisi penting itu?
“Saya menyadari objek yang tercetak pada halaman itu lebih besar dari segala sesuatu yang pernah saya lihat, dan membuat planet yang saya tinggali terlihat kecil,” kata Amiri, menceritakan momen masa kecilnya ketika ia membuka buku astronomi dan melihat gambar Andromeda—galaksi raksasa yang bertetangga dengan Bima Sakti, tempat Bumi berada.
BACA JUGA: Sultan bin Salman, Astronot Arab Saudi Pertama yang Menjejak di Luar Angkasa
Amiri selalu terpesona bila membayangkan keluasan semesta dan kompleksitas antariksa. Semua itu memicu rasa penasarannya. Namun, Amiri justru ditakdirkan menimba ilmu di jurusan komputer.
The New York Times menceritakan, ketika Amiri duduk di bangku kuliah, ada beberapa peluang di Timur Tengah untuk mengambil studi tentang alam semesta, tapi ia justru memilih jurusan ilmu komputer. Meski demikian, di tengah dorongan UEA kepada generasi mudanya untuk mengejar karier di bidang sains dan teknologi, ia berada pada jalur yang tepat.
Saat Amiri lulus kuliah dengan gelar di bidang ilmu komputer, prospek yang paling memungkinkan baginya ialah bekerja di perusahaan-perusahaan yang bersinggungan dengan sektor teknologi informasi. Namun pilihan ini tak menarik minat Amiri. Ia ingin merancang dan membangun hal-hal baru.
Amiri kemudian melihat lowongan pekerjaan di Mohammed bin Rashid Space Centre. Ia melamar, bergabung dengan pusat luar angkasa itu pada 2009, dan bekerja sebagai engineer pada program satelit. Saat tugas itu tuntas pada 2014, ia beralih ke posisinya yang sekarang—di balik kendali misi Hope ke Mars.
Amiri menyatakan kegugupannya dan mengatakan bahwa tim telah menginvestasikan lebih dari enam tahun dalam misi yang terutama bertujuan untuk mengetahui lebih banyak tentang Planet Merah. Misi ini akan mencoba dan menggali alasan di balik tandus, atmosfer berdebu, dan lingkungan Mars dengan mempelajari dengan cermat cuaca dan iklimnya. Planet Merah pernah berisi lautan seperti halnya Bumi, yang mengubahnya menjadi planet yang kering dan berdebu tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan.
“Dalam hati saya, saya menantikan awal 24 jam setelah perpisahan, dan di situlah kami melihat hasil pekerjaan kami,” kata Amiri seperti dilansir kantor berita AFP.
UEA menggunakan cara cepat untuk menggapai megaproyeknya ke Mars. Alih-alih melatih para ilmuwan antariksanya dari nol untuk menggarap misi Hope, mereka mengalihkan beberapa insinyur di pusat luar angkasanya menjadi ilmuwan. Caranya: dengan mengirim mereka ke Amerika Serikat guna dilatih oleh para ahli di negara itu.
“Saya mendapat tugas untuk mengembangkan orang-orang dengan bakat keilmuan, dan untuk mentransfer pengetahuan dengan cara non-tradisional,” kata Amiri.
Ia lantas menyusun tim berisi para ilmuwan antariksa hasil program ulang sejumlah insinyur itu. Anggota tim tersebut rata-rata berusia 27 tahun dan 34 persennya adalah perempuan.
Ahmad Belhoul, Menteri Pendidikan Tinggi dan Kepala Badan Antariksa UEA, menyatakan misi ke Mars jauh lebih kompleks dari sekadar memarkir satelit ke orbit rendah Bumi.
“Anda tak bisa tiba-tiba bilang ‘Saya ingin pergi ke Mars’ atau ‘Saya akan membikin pesawat luar angkasa’. Anda harus benar-benar mempelajari caranya,” kata dia.
Untuk dapat melakukannya, UEA meminta bantuan pakar asing dan menggunakan model yang pernah sukses sebelumnya. Negara itu merekrut orang-orang lama yang pernah terlibat misi NASA. Mereka inilah yang melatih insinyur-insinyur UEA.
Akhirnya ahli-ahli UEA dan AS bekerja sama pada setiap tahap pengembangan misi, mulai dari soal desain hingga manufaktur yang pengerjaannya dilakukan di Colorado dan Dubai.
BACA JUGA: Jadi Orang Arab Pertama yang Mengangkasa di ISS, Siapa Hazza Al Mansouri?
Namun kemudian virus corona mewabah akhir Februari, membuat tingkat kesulitan berganda. Seharusnya, sesudah konstruksi pesawat luar angkasa dirampungkan di Colorado AS, ia diangkut oleh pesawat kargo besar milik Ukraina ke Dubai untuk menjalani serangkaian pengujian sebelum menuju lokasi peluncuran di Pusat Antariksa Tanegashima Jepang.
Masalahnya, semua rencana yang telah disusun cermat bisa terganggu kalau bandara-bandara di berbagai negara yang menjadi titik transfer pesawat antariksa itu ditutup karena pandemi. Selain itu, pembatasan perjalanan di masa pandemi juga membuat para personel Misi Hope tak bisa bebas terbang bolak-balik UEA-Jepang.
“Jadi kami mengubah rencana dan menerbangkan tim kami ke Jepang secepat mungkin,” kata Amiri.
Ia dan timnya juga mengacak sejumlah pengujian untuk mempercepat pengiriman pesawat luar angkasa ke Jepang—tiga minggu lebih awal dari jadwal semula.
Awal April, tim kecil dari Dubai terbang ke Jepang dan menjalani karantina sesampainya di sana. Dua minggu kemudian, tepat ketika masa karantina usai, pesawat kargo yang membawa Hope terbang ke Jepang bersama tim kecil lain dari Dubai.
Setibanya di Jepang, tim kedua yang datang bersama Hope itu kemudian menjalani karantina. Sementara tim pertama yang telah menyelesaikan masa karantina berangkat ke Pulau Tanegashima yang menjadi lokasi peluncuran roket. Untuk menuju Tanegashima, mereka tak terbang, tapi berlayar dengan tongkang yang mengangkut pesawat luar angkasa Hope.
Kini, Misi Hope ke Mars siap diluncurkan. Pada 17 Juli 2020—mundur dua hari dari jadwal awal karena cuaca buruk di Tanegashima—UEA akan bergabung dalam daftar negara-negara penjelajah antariksa.
BACA JUGA: UEA Segera Luncurkan Wahana Antariksa Pertama di Dunia Arab Menuju Planet Mars
Omran Sharaf, Manajer Misi Hope ke Mars, mengatakan negaranya dan timnya memahami sepenuhnya risiko yang mereka hadapi: kegagalan.
“Mari kita jujur, 50 persen misi ke Mars mengalami kegagalan,” ujarnya, “Keberhasilan kami di sini adalah adanya pelatihan bagi orang-orang kami.”
“Ini tentang sebuah perjalanan, proses, dan dampaknya bagi Emirat,” lanjut Sharaf.
Hasan Al Matroushi, Kepala Analisis dan Data Sains di Mohammed bin Rashid Space Centre, kepada Space.com mengatakan bahwa misi UEA ke Mars adalah tentang harapan, sesuai dengan nama pengorbit itu sendiri.
Jika sebuah negara kecil seperti kami mampu melakukan misi semacam ini dan membawa kami ke Mars, maka segalanya adalah mungkin.
Amiri sepenuhnya sepakat.
“Pergi ke Mars itu penting, tapi bagaimana kami bisa sampai ke sana lebih penting lagi,” kata Amiri, “Kami negara baru yang terlambat masuk kompetisi (antariksa) global ini. Wajar kalau orang berpikir kami gila.”
Ia menegaskan, “Bagi kami, misi ini bukan untuk bermewah-mewah, bukan pula gimmick. Ini kebutuhan mutlak untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan kami sebagai sebuah bangsa.” []