SURIAH–Pria itu melungguh. Di tepian pusara yang baru digali. Kakinya menjuntai ke liang lahat. Tatapannya kosong. Larut dalam kesedihan. Air mata terus deras mengucur.
Sepasang bayi kembar menempel di dada. Aya dan Ahmed. Sekujur tubuhnya terbalut kain putih. Hanya kepala mengelayut. Ditopang tangan kanan dan kiri. Tubuh bocah berumur 9 tahun terbujur kaku. Tak lagi bernyawa.
Sesekali si pria membelai rambut si kembar. Tak lagi bisa tertahan air mata yang mengucur. “Katakan selamat tinggat anakku, katakan selamat tinggal,” kata lirih kepada buah hati yang tak lagi bernyawa itu.
Ayah yang berduka itu Abdel Hameed Alyousef. Dia baru kehilangan dua buah hati, istri, dan puluhan kerabat lainnya.
Di pagi hari Kamis, (4/4/2017), jadi babak kelam kehidupannya. Sebuah bom meledak di dekat rumahnya di kota Khan Sheikhoun, provinsi Idlib, Suriah. Membangunkan Abdel Hameed dan istrinya.
Ledakan itu tak sampai merenggut nyawa keluarga kecil itu. Abdel Hameed lega. Namun ada bau yang tak biasa. Anak kembarnya merasa sakit. Digendong mereka dan dipapahnya sang istri ke mobil paramedis. Yakin kondisi mereka baik-baik saja.
Kepada anak dan istrinya, Abdel Hameed pamit. Pria itu ingin memeriksa kondisi orangtua dan keluarga besarnya. Rumah mereka tak jauh dari kediamannya. Di perjalanan, orang-orang berjalan sempoyongan. Sebagian tergeletak di jalanan. Tanda ajal sudah menjemput.
Belum hilang pemandangan mengerikan itu, Abdel Hameed kembali dibuat terkejut. Tiba di rumah kerabat yang dituju, orangtua dan dua saudaranya tergeletak di lantai. Tidak ada penghuni rumah itu yang masih bernafas. Semuanya meninggal di pagi kelam itu.
Secepat kilat dia memutuskan kembali ke rumahnya. Berharap membawa istri dan anak-anaknya berlindung ke tempat aman. Tapi dia terlambat. Istri dan buah hatinya sudah terkapar.
“Ada busa di mulut mereka, mereka kejang, semuanya tergeletak di lantai,” kata Youssef sembari menahan tangis kepada CNN.
Ledakan di pagi kelam itu ternyata bukan bom biasa. Ada gas sarin. Gas mematikan tanpa aroma dan warna. Seseorang yang menghirupnya akan mengalami kejang dan mati. Hanya hitungan menit.
“Anak-anakku, Ahmed dan Aya, serta istriku. Mereka menjadi martir. Mereka telah pergi,” kata Youssef yang diselamatkan para relawan yang membawanya ke rumah sakit.
Foto Youssef mendekap kedua anaknya mendadak viral. Mengguncang rasa iba. Dunia kaget semakin kaget karena ada senjata kimia yang digunakan. Suriah kembali jadi perhatian.
Selama tujuh tahun konflik berkecemuk di Suriah. Semua berawal di tahun 2011. Di kala gelombang gerakan Kebangkitan Arab (Arab Spring) dari Irak bertiup ke Suriah. Rakyat Suriah berbondong-bondong turun ke jalan. Menggelar demonstrasi damai. Tuntutannya satu. Presiden Bashar Al Assad harus turun dari tahtanya.
Aksi demonstrasi damai itu menjadi petaka. 15 pemuda ditangkap dan disiksa karena grafiti mendukung gerakan Kebangkitan Arab. Puncaknya, bocah 13 tahun, Hamza al-Khateeb, tewas karena siksaan.
Pemerintah Suriah tak berhenti. Aksi demonstrasi dibalas dengan penangkapan. Ratusan orang diciduk. Memicu lahirnya milisi Free Syriah Army. Tentara Pembebasan Suriah. Konflik yang tadinya berawal dari aksi demonstrasi berubah menjadi perang saudara.
Konflik di Suriah kian pelik. Di negara itu muncul aksi pemberontakan oleh kelompok ISIS, Al Nusra. Dua kelompok ekstrimis di luar perseteruan Pemerintah dan kelompok Tentara Pembebasan Suriah dan kelompok militer Kurdi.
Tak cuma dari dalam negeri. Sejumlah negara, terutama Amerika, Arab Saudi, Rusia, dan Iran turut campur. Sasaran menjadi kabur. Konflik makin . Hanya warga tak berdosa yang jadi korban.
Hampir enam tahun berlangsung, telah jutaan orang jadi korban. Lihat saja data Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Konflik telah merenggut nyawa 470.000 orang. Lebih dari satu juta orang terluka. Sementara 12 juta lainnya memilih pergi dari kampung halaman.
Kondisi pengungsi pun tak sepenuhnya hidup nyaman. Apalagi anak-anak. Data Al-Jazeera menyebut ada 2,4 juta pengungsi yang masih berusia anak-anak. Sebanyak 306 ribu bayi sudah menyandang status pengungsi sejak keluar dari rahim ibunya.
Yang menyedihkan lebih dari 200 rbu anak-anak hidup dalam area konflik. Sebanyak 2 juta anak-anak tak memperoleh akses bantuan kemanusiaan.
Tapi tak semua mengungsi. Ada yang memilih bertahan. Persis seperti Abdel Hamed. Bertahan di rumah meski desing peluru dan bom bisa merenggut nyawa setiap saat.
Kisah Youssef hanya sepenggal kisah kelam perang yang hanya berakhir jadi bencana kemanusiaan. Di bagian lain Suriah, tragedi yang sama pernah terjadi. Tengok saja di Madaya.
Setahun lalu kehidupan mencekam warga Madaya bocor ke dunia internasional. Lewat media sosial, dunia melihat penderitaan mereka. Sejumlah aktivis yang berhasil menyusuf ke Madaya. Memotret kehidupan warga di sana dan menyebarkannya ke dunia. Banyak warga Madaya meregang nyawa. Yang masih hidup harus siap menderita.
Semua berawal dari keputusan pemerintah Suriah. Daerah ini dituding jadi basis pemberontak. Pemberlakukan blokade diputuskan serba mendadak. Warga tak ada waktu mengungsi. Mereka bertahan dengan cadangan makanan tersisa. Ketika menipis, saat itulah momen mencekam dimulai.
Mereka tidak bisa keluar mencari bahan pangan. Apalagi berharap bantuan makanan dari aksi kemanusiaan dunia. Semua akses ditutup.
Situasi bertambah mencekam kala rezim militer pemerintah memutus aliran listrik. Pasokan air pun ditutup. Saat itu 40.000 warga Madaya bertahan dengan sumber seadanya. Sebagian bahkan memakan rumput karena sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan. Tubuh mereka kurus kering, tinggal tulang.
Dunia marah atas kejadian itu dan mengecam Pemerintah Suriah. Setelah mendapat kecaman bertubi-tubi, akhirnya blokade itu dicabut. Bantuan diperkenankan masuk ke Madaya.
Kisah Madaya dan Youssef seolah membuka mata dunia. Ada yang hidup mengenaskan disamping jutaan pengungsi. Mereka yang tertinggal di Suriah. Warga tak berdosa yang bertaruh nyawa setiap hari di setiap hari.
Melansir data Badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR, saat ini ada 13,5 juta orang yang membutuhkan bantuan di Suriah. 6,3 juta diantaranya hidup terlantar. Sedangkan 4,7 juta orang Suriah tinggal di kawasan yang tak bisa digapai dan area konflik.
Data lembaga PBB UNOHCA tahun 2015 seperti dikutip laman BBC, Maret tahun lalu melaporkan, Allepo menjadi kota yang masih banyak dihuni warga Suriah. Sekitar 4 juta orang. Diikuti kota sekitar Damaskus (2,3 juta), Damaskus dan Homs (1,5 juta), Deiz al-Zour (1 juta) dan Raqqa (800 ribu penduduk).
Kehidupan memang berjalan normal di ibukota Suriah, Damaskus. Namun di belahan kota lain, hidup ada perjuangan.
Mereka harus menjalani hidup ditengah kekerasan. Jangankan untuk makan, kebutuhan untuk menopang hidup saja sulit didapat.
Laporan worldvision.org menyebut, 95 persen warga Suriah yang memilih tinggal tak dapat mengakses fasilitas kesehatan. 70 persen tak dapat air bersih. Sementara separuh anak-anak harus meninggalkan bangku sekolah.
Ekonomi negara itu pun berantakan. Perang telah meruntuhkan sendi ekonomi Suriah yang ditaksir bernilai US$ 225 miliar. Sebanyak 4 dari 5 warga Suriah kini hidup dalam kemiskinan. Separuh penduduk Suriah jadi pengangguran.
Kondisi jadi getir karena makanan telah berubah jadi senjata. Bantuan kemanusian tak jarang masuk pasar gelap. Belum lagi jika melihat harganya. Seluruh bahan pokok seperti roti, nasi, susu, gula pasir, tepung, dan telur meroket ratusan sampai puluhan ribu persen.
Pihak yang paling menderita tentu saja anak-anak. Kehilangan orang tercinta, mengalami luka, serta tak bisa sekolah selama bertahun-tahun. Pemandangan yang terlihat dan terdengar hanya kekerasan dan aksi brutal.
Mereka yang memilih mengungsi juga tak jauh lebih baik. Ancaman kematian tak lantas menjauh. Masih ingat dengan Aylan Kurdi, balita yang tewas saat melarikan diri bersama orangtuanya. Jasadnya yang terdampar di pantai Yunani membuat dunia berkabung.
Bagi yang selamat, mereka masih harus berjuang untuk hidup. Abdul, seorang pengungsi tertangkap kamera menjual pulpen sembari menggendong anaknya di jalanan Libanon. Kisah Abdul menjadi viral, menggerakkan orang untuk memberikan donasi.
Kini Abdul bisa sedikit lega. Uang hasil donasi dipakai sebagai modal membuka usaha pabrik roti. Melalui pabrik roti itu, dia menampung para pengungsi Suriah, menghidupi mereka dengan memberikan pekerjaan.
Nasib pengungsi Suriah pun membuat dunia prihatin. Sudah menderita, hidup makin susah karena tidak ada penghasilan. Sementara, hidup harus terus berjalan. Mereka butuh makan.
PBB menyebut ada 5.029.562 orang Suriah yang membutuhkan perhatian. Tak hanya pengungsi tapi juga mereka yang tinggal di negeri yang berkecamuk itu.Biaya untuk mengurus mereka sangat raksasa. Sampai US$ 4,63 miliar sekitar Rp 61 triliun.
Dunia memang tak sepenuhnya tutup mata. Bantuan masih mengalir. Tapi jumlahnya jauh panggang dari api. Dari kebutuhan itu baru terpenuhi US$ 433 juta atau Rp 5,7 triliun.
Perusahaan multinasional memberi bantuan dengan caranya sendiri-sendiri. Tengok saja yang diperbuat IKEA.
Bantuan dunia internasional itu memang tak bisa mengembalikan si kembar malang, Aya dan Ahmed. Apalagi menghapus kesedihan Abdel Hameed Al Yousef. Tapi kematian bocah kembar malang itu membuka mata dunia makin lebar. Konflik Suriah harus segera berakhir. Tanpa harus merenggut korban jiwa lagi.
Sumber: Dream