BULAN Dzulhijah identik dengan ibadah haji dan hari raya kurban. Baik haji maupun kurban, keduanya hanya dianjurkan bagi muslim yang mampu.
Menurut buku Antara Pekurban, Panitia & Tukang Jagal karya Ustaz Ahmad Zarkasih Lc, disebutkan bahwa dalam beberapa literasi Mazhab Maliki, disebutkan bahwa standar mampu berqurban dia yang punya kelebihan harta 30 Dinar, atau setara Rp2 juta.
Sementara, standar mampu dalam Mazhab Syafii bukan dihitung dengan nominal tertentu, akan tetapi bagi dikategorikan mampu ialah yang mempunyai uang cukup untuk beli hewan qurban. Dia juga memiliki uang untuk menafkahi keluarga beserta orang-orang yang ditanggungnya selama hari-hari penyembelihan; 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah.
BACA JUGA: Mana yang harus Didahulukan, Berkurban atau Bayar Utang?
Standar ini, berangkat dari hadits Nabi SAW bahwa memang orang yang mampu itu bukan orang yang kaya, akan tetapi orang mampu itu adalah orang yang cukup.
Dari Suhail bin al-Handzalah, Nabi SAW bersabda:
مَن سَألَ وَعِندَه مَا يُغنِيه فإنَّما يَستَكثِرُ مِنَ النَّار- أو: مِن جَمرِ جَهَنَّمَ» فقالوا: يا رسول الله وما يُغنِيهِ؟ قال: «قَدرُ مَا يُغَدِّيه ويُعَشِّيهِ- أو: أن يكونَ له شِبعُ يَومٍ وليلةٍ أو ليلةٍ ويوم
“Siapa yang meminta-minta padahal dia punya sesuatu yang mencukupkannya, sesungguhnya dia sedang mengumpulkan api neraka.” Para sahabat bertanya, “wahai rasul, siapa yang mampu/cukup itu?” beliau menjawab, “Yang punya kecukupan untuk sehari dan semalam.” (HR Abu Daud)
Jadi, jika dia punya harta yang cukup untuk menafkahi dirinya dan orang yang ditanggungnya, maka dia orang yang mampu. Dan karena ini berkaitan dengan pembelian hewan qurban, standarnya ditambahkan sekadar bisa dan cukup untuk beli hewan qurban.
Mengapa empat hari itu? Jawabannya sederhana; karena empat hari itlah hari raya berqurban, yakni di empat hari itulah penyembelihan terjadi. Maka jika untuk empat hari itu dia sudah bisa mencukupi dirinya dan orang yang ditanggungnya, maka ialah orang yang mampu.
Untuk menggambarkan bagaimana standar mampu dalam Mazhab Syafii ini, Ustadz Ahmad dalam bukunya, memberikan contoh. Dia menjelaskan, katakanlah ada seseorang yang punya uang Rp 6 juta. Untuk seekor qurban dari jenis kambing, yang sudah memenuhi syarat qurban seharga Rp 3 juta. Kalau dia beli kambing tersebut, maka sisa uangnya Rp 3 juta. Nah Rp 3 juta sisa tersebut apakah cukup untuk menafkahi keluarga dan orang yang ditanggungnya?
Kebetulan istrinya hanya satu, dan anak kandung dua orang. Jadi hanya tiga orang beserta dirinya yang dia tanggung. Dalam sehari, dari mulai makan, kebersihan dan kebutuhan lainnya untuk satu keluarga ini hanya menelan biaya Rp 500 ribu.
Kalau dikalikan empat hari, menjadi Rp 2 juta. Artinya uangnya masih berlebih, Berarti dia adalah orang yang mampu berqurban. Maka, baginya sunnah berqurban dan sangat dianjurkan sekali, tidak sampai wajib memang karena dalam mazhab ini qurban hukumnya sunnah muakkadah.
BACA JUGA: Kurban Sapi atau Kambing, Mana yang Lebih Baik?
Kalaupun tidak berqurban, tidak mengapa akan tetapi jelas ini tercela dan tertimpa kemakruhan kepadanya dan keluarganya. Jika ada orang dengan uang Rp 10 juta, dia bisa beli kambing Rp 3 juta, sisa uangnya Rp 7 juta rupiah. Akan tetapi orang yang ditanggungnya banyak; Istri 4, anak dari tiga istri ada 12 orang; masing-masing istri punya empat anak. Istri keempat tidak beranak karena memang baru dinikahinya.
Dia juga harus menafkahi orang tuanya yang keduanya sudah uzur, bahkan mertua dari istri pertama pun ikut dengannya. Jumlah semua yang dia nafkahi 21 orang termasuk dirinya. Cukupkah Rp 7 juta untuk 21 orang tersebut dalam empat hari?
Dan, standar nilai ini terhitung sejak malam Idul Adha atau terbenam matahari di hari 9 Dzulhijjah. Atau bisa juga di hari 10 Dzulhijjah sejak terbit matahari. Maksudnya, dikatakan mampu atau tidak menurut Mazhab Syafii dihitung sejak waktu menyembelih itu datang, bukan sejak awal masuk Dzulhijjah. []
SUMBER: