MASJID Agung Cordoba berdiri atas inisiatif Abdurrahman ad-Dakhil atau Khalifah Abdurrahman I (756-788 M) pada 785 M. Sang Khalifah mendatangkan batu pualam dari Narbonne, Sevilla, dan Konstantinopel.
Konon, masjid ini dibangun di lokasi bekas kuil penyembahan Dewa Janus di masa Romawi dan bekas Gereja Santo Vincent ketika bangsa Jerman menguasai Hispania. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa gereja tersebut sudah runtuh saat masjid mulai dibangun. Ada pula yang menyatakan gereja tersebut memang sengaja dibongkar.
Luas masjid ini hanya 70 meter persegi di atas tanah seluas 5.000 meter pada awalnya. Proses penyempurnaan pembangunannya kemudian memakan waktu hingga dua abad. Perbaikan dan perluasan terus dilakukan oleh khalifah-khalifah setelah Abdurrahman I.
BACA JUGA: Kemajuan Peradaban Islam di Cordoba: Seni Aristektur dan Lingkungan Sosial
Bangunan utama masjid dan menara diselesaikan oleh Khalifah Hisyam I, putra Abdurrahman I, yang menduduki tahta kekhalifahan tahun 788 hingga 796 M. Kemudian, diteruskan oleh Al-Hakam I. Sesaat setelah menduduki kursi kekhalifahan, ia memerintahkan untuk membangun dua serambi besar di bagian arah kiblat, dan selesai pada 796 M. Selanjutnya, Khalifah Abdurrahman II (822-852 M) menambah sebuah ruangan besar dan tiang yang bergaya hypostyle hingga berjumlah 200 tiang.
Pelaksanaan konstruksi pada 832 hingga 848 M itu juga mengagendakan untuk menggeser arah mihrab sedikit ke arah tenggara sehingga tepat menghadap ke arah Ka’bah. Sebelumnya, mihrab Masjid Cordoba menghadap ke arah selatan. Beberapa sejarawan berusaha menjelaskan latar belakang arah mihrab yang cukup nyeleneh itu.
Ada yang berpendapat, Abdurrahman I dalam menentukan arah kiblat berpedoman pada konstruksi Visigoth, yaitu bangunan yang dibangun oleh Kerajaan Visigoth di Spanyol sebelum kedatangan Islam. Pendapat lain berpandangan bahwa ketika itu Abdurrahman I membayangkan dirinya masih berada di Damaskus. Sehingga, arah kiblat masjid disamakan dengan masjid-masjid di kota bekas pusat Dinasti Umayyah tersebut.
Beberapa tahun kemudian, Khalifah Abdullah yang naik tahta pada 888 M, membangun arcade (lori-lori) beratap lengkung yang menghubungkan istana dengan mihrab. Sejak saat itu, terdapat 32 lorong dan sebuah mihrab di bawah atap kubah berbentuk segi delapan.
Pada masa khalifah Abdurrahman III (912-961 M), menara yang dahulu dibangun oleh Khalifah Hisyam I diganti dengan menara baru berbentuk segi empat setinggi 34 meter. Pembangunan menara tersebut di bawah pengawasan al-Muntasir, seorang ahli mosaik dari Constantinopel, sekarang Istanbul Turki. Di samping itu, sang khalifah juga memperluas aula pada sektor barat daya.
BACA JUGA: Memories of the Alhambra
Khalifah al-Hakam II (961-976 M) tercatat sebagai inisiator penyempurnaan yang terakhir. Ia menyempurnakan arsitektur masjid dengan memberikan sentuhan monumental, dengan mengubah bentuk ruang shalat di depan mihrab dari ruang terbuka biasa menjadi satu lajur yang membujur. Lebarnya 70 meter dan panjangnya 115 meter dengan jumlah 320 tiang.
Setelah dua abad mengalami perbaikan dan perluasan, jadilah Masjid Cordoba salah satu masterpiece arsitektur klasik Islam terbesar di daratan Eropa. Panjang masjid dari utara sampai selatan sepanjang 175 meter dan lebarnya dari timur ke barat 134 meter. Sedangkan, tingginya mencapai 20 meter. Dahulu masjid ini mampu menampung sebanyak 80.000 jamaah.
Kini, pengunjung yang memasuki Masjid Cordoba akan menemukan sejumlah tiang berukuran besar dan kecil, berjumlah 1.293 buah terbuat dari marmer. Bak hutan, tiang-tiang itu berbaris rapi laksana pepohonan. Pesona tiang-tiang itu terpancar lewat cahaya yang menerpanya. Cahaya akan membias tiang-tiang yang berbentuk melengkung itu.
Sebanyak 20 tiang berdiri di dalam tiap-tiap ruangan yang berjumlah sebelas dengan atap berbentuk melengkung. Masing-masing ruangan itu dipisahkan dengan lengkungan-lengkungan atap. Akan tetapi, tidak seluruh bangunan masjid diberikan atap. Ada bagian-bagian tertentu yang dibiarkan terbuka agar cahaya dan udara segar bisa masuk ke dalam masjid.
Dekorasi ruangan yang paling istimewa terdapat di ruang mihrab. Lubang-lubang hiasan diletakkan pada ruangan kecil berbentuk segi delapan. Motif dekorasi pada lengkungan-lengkungan di sekitar mihrab tampak konsisten menampilkan stilisasi tanaman dan buah-buahan dalam berbagai kombinasi warna yang berbeda-beda: emas, biru, dan merah.
BACA JUGA: Mengenang Masjid Agung Cordoba yang Diubah Menjadi Gereja La Mezquita (1)
Keindahan ini digambarkan Zia Pasha, sejarawan asal Turki, sebagai mukjizat yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh akal manusia.
”Ia adalah mukjizat zaman yang belum tergambar dalam benak pembangunan mana pun sejak dunia ada. Juga, belum pernah terbetik dalam akal segala insinyur semenjak akal itu diciptakan,” katanya seperti dikutip dalam Ensiklopedi Islam.
Pada 1765, seorang utusan Sultan Maroko bernama Algazal Al-Fasi berkunjung ke Spanyol atas undangan Raja Spanyol Carlos III. Pada saat itu, al-Fasi berkesempatan mengunjungi Masjid Agung Cordoba seraya membuat catatan pribadi.
”Dahulu masjid itu adalah masjid terbesar di dunia. Panjangnya, lebarnya, dan tingginya melampaui semua bangunan di dunia. Melihat kebesarannya, mengingatkan kembali kejayaan Islam masa lalu, yaitu masa berkembangnya ilmu pengetahuan dan masa ketika ayat-ayat Allah dikumandangkan.”
Demikian kemegahan Masjid Agung Cordoba yang menjadi gambaran kegemilangan peradaban muslim di tanah Spanyol pada masanya. Kini kepingan keindahan itu melekat pada bangunan yang sudah berganti nama menjadi La Mezquita. []
SUMBER: REPUBLIKA