“KANG, kapan Akang merasa hidup ini sangat bahagia?”
Yang ditanya diam saja, menarik napas panjang dan tersenyum tipis. Sang pengusaha sukses tak segera menjawabnya.
Obrolan sore selepas Ashar di teras masjid itu ditingkahi suara anak-anak bermain di lapangan. Sebuah pohon mangga meneduhi temaran mentari sore membuat suasana kian syahdu.
“Lima tahun lalu saat anak kami genap berusia tiga tahun,” ujarnya santai sambil menatap putranya yang tengah bermain kejar-kejaran di lapangan.
“Suatu sore saya menuntun Dika menuju masjid untuk Shalat Ashar.”
“ ’Bi, habis shalat belikan eskrim ya?’.”
“Waktu itu ekonomi kami beraaat sekali, sekedar beli jajanan anak seharga 5.000 rupiah pun sulit. Keuangan kami benar-benar seret, bisnis bangkrut, utang ratusan juta. Tapi saya tetap mengangguk mengingat masih ada uang 20.000 di saku.”
“Riang kami berjalan menuju masjid, bersendau gurau dan pura-pura balap lari. Motor bebek yang dipasang kotak jualan eskrim sudah terparkir di depan masjid, Mang Edun pemiliknya baru saja beres wudhu dan masuk masjid. ‘Tuh Bi, eskrimnya sudah ada!’ tunjuk Dika girang.”
“Saya menuntunnya masuk masjid untuk shalat berjamaah.”
“Usai shalat Dika menarik-narik tangan keluar. Haji Ghafur yang berada di samping kami tersenyum dan mengelus kepala Dika. Saya menyalami Haji Ghafur dan keluar masjid menuruti ajakan Dika. Beberapa anak laki-laki perempuan nampak sedang mengerumuni Mang Edun yang sedang melayani mereka.”
BACA JUGA: Cinta Bahagia vs Cinta Derita
“Mengingat Dika masih 3 tahun, saya antar menuju gerobak. Tak tega rasanya membiarkan bocah sekecil itu jajan sendrian di antara anak-anak berusia enam atau tujuh tahun yang bergerombol di sana.”
“’Mang, bikinin satu buat Dika ya,’ Mang Edun mengangguk dan menyodorkan eskrim. Dika bahagia dan langsung melumatnya. Saya merogoh kantong celana dan tercekat, ternyata bukan 20.000 tapi 2.000. Ya Allah saya salah lihat. Ke mana saya mencari 3.000 lagi?”
Mang Edun masih sibuk melayani anak-anak yang jajan, Dika asyik menikmati eskrimnya, sementara saya bingung harus bagaimana?
“Meskipun malu, dengan memberanikan diri saya berbisik pada penjual eskrim yang rajin berjamaah itu, ‘Mang, sebentar saya pulang dulu ya’. Meng Edun mengangguk.”
“Bergegas saya berjalan sambil menggendong Dika, berharap di rumah ada uang sisa beli beras kemarin sore. Ternyata tidak ada, uang di dompet istri hanya ada 1.000 rupiah dua keping loga lima ratusan. Berarti kurang 2.000, saku celana, tas, laci lemari semua diperiksa.
“Alhamdulillah nemu dari bawah kasur tiga keping logam lusuh lima ratusan. Berarti 2.000+1000+1.500 = 4.500. Ya Allah, masih kurang 500 rupiah. Cari lagi, tapi nihil tak ada uang meski sekedar 500 rupiah yang kami harapkan.”
“Sebetulnya malu sekali untuk ngutang, tapi mau bagaimana lagi. Saya pun memberanikan diri mengampiri Mang Edun dengan menggenggam selembar uang 2.000 dan lima keping logam 500-an.”
“ ‘Mang, maaf ini uangnya…’.”
“ ‘Eh, gak usah. Tadi sudah dibayarin Haji Ghafur,’ tolak Mang Edun sambil tersenyum.
“[Lho, Haji Ghafur tahu dari mana saya gak punya uang] kata saya dalam hati.”
“Eh, malah bengong,” Mang Edun membuyarkan kaget sehingga selembar 2.000 dan 5 keping logam ditanganku berjatuhan.”
“ ‘Serius tadi Haji Ghafur yang bayar semuanya, anak-anak yang lainnya juga gratis. Katanya syukuran lagi dapet rezeki’.”
BACA JUGA: Apa yang Paling Membuatmu Bahagia?
“Itulah masa-masa paling bahagia.”
Ternyata, menurut pengusaha sukses yang satu ini, bahagia itu bukan saat jaya lagi seperti sekarang, saat utang-utangnya lunas dan bisnisnya kembali melejit. Bukan. Bukan saat pundi-pundi ekonomi terpenuhi, melainkan saat susah dan sempit pun ada bahagia.
Yang menurutnya, bahagia adalah saat menuntun anak menuju masjid, saat tawakal kepada Allah atas kekurangan uang 500 rupiah untuk bayar eskrim, saat beroleh jalan keluar dari pintu yang tak disangka-sangka. Masyaallah. []