SEDERETAN selebritas, meski tanpa karya berharga, disebut-sebut bagian dari jaringan prostitusi kelas atas. Pemberitaan yang gencar beberapa hari ini hanya menegaskan rumor dan kecurigaan publik pada gaya hidup mendadak mewah dari para pesohor tanpa anutan itu.
Beberapa inisial nama yang beredar di jagat maya sudah dikenali identitasnya sebagai sosok yang memang ‘bukan perempuan baik-baik’. Dalam arti, mereka permisif terhadap pergaulan bebas dan mengumbar aurat. Ciri pada pelaku mudah dikenali sebagai ikon yang dekat dengan hal-hal bernuansa porno. Aktris, model, hanya profesi luaran yang melengkapi ambisi nafsu memiliki materi.
BACA JUGA: Apakah Kamu Menyuruhku Berzina?
Sukar menerima dengan nalar sehat bila mereka berpraktik dengan alasan demi menyambung kebutuhan hidup sehari-hari. Kelas para pelaku berbeda dengan pemain di lokalisasi kelas hotel melati. Konsumennya juga bukan sembarang. Merujuk pada mucikarinya yang ditangkap aparat, mereka melibatkan kalangan berduit, baik di dalam maupun luar negeri. Tidak menutup kemungkinan adanya pejabat publik yang turut terlibat.
Prostitusi kelas atas sering kali ‘aman’ disentuh aparat penertiban. Maka, patut disyukuri dan didukung upaya aparat untuk membongkar para pelaku yang terlibat dan menggunakan jasa mereka. Memang ada kendala aturan di sini. Maklum saja, aturan Islam tidak diberlakukan dalam hukum positif di negeri kita. Maka, para pezina itu bisa saja bebas melenggang bila tidak ada aduan dari pihak yang dirugikan. Bila didasari suka sama suka, para pelaku (baik penjaja jasa maupun pengguna), terbebas dari jerat hukum. Sungguh menyedihkan memang.
Terungkapnya jaringan prostitusi atas ini memang tidak serta-merta mengatasi akar persoalan maksiat yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Ada banyak pihak yang berkepentingan di balik bisnis ini. Ada sebagian orang yang tidak ingin kejahatannya terungkap ke publik, mengingat aib yang bakal ditanggung keluarga yang tidak bersalah di rumah.
Celakanya, beberapa kalangan menjadikan kasus di atas sebagai pembenar untuk melegalkan kemaksiatan zina, dengan atas nama kebaikan ataupun mencegah kemudaratan lebih masif. Sesat logika ini jelas tidak akan pernah tepat, apalagi barakah. Prostitusi yang dijalankan dengan modus gaya hidup jelas tidak bakal sepi tanpa penegakan aturan yang tegas. Apatah lagi, bisnis syahwat ini sebanding dengan ambisi mengejar gaya hidup atau memperkaya diri.
Tidak tepat bila mengatasi urusan maksiat zina dilakukan di belakang pemberantasan korupsi—sebagaimana ide segelintir orang. Seolah korupsi akar dan maraknya prostitusi. Padahal, korupsi dan zina betapapun erat pertaliannya (misal: pejabat korup biasanya akan mudah hamburkan uang untuk berkencan), pencegahannya tidak dengan model berpikir skala prioritas. Keduanya harus secara simultan ditolak dan dilawan. Keduanya warisan adab yang rusak. Tanpa malu, orang korupsi dan berzina. Awalnya, kecil-kecilnya atau coba-coba, lambat laun jadi gaya hidup.
BACA JUGA: Orang Yahudi Bertanya pada Rasulullah Tentang Hukuman bagi Pezina
Penegakan hukum bagi yang salah harus tanpa pandang bulu. Kudunya semakin prestise dan besar efek maksiatnya, makin besar hukuman diberikan. Soal ada kekosongan aturan, khususnya buat menjerat pelaku pengguna, mengumumkan ke publik nama pejabat bisa jadi pilihan. Tak adil, lelaki polos tanpa tahu apa-apa namanya disebut lengkap dalam sangkaan terorisme, yang belakangan malah tak terbukti. Sebaliknya, pejabat publik yang langganan memakai ‘jasa’ selebritas dan sudah ditangkap tangan aparat, malah ditutupi rapat. Si pejabat sudah menggunakan uang rakyat, menyelewengkan kepercayaan banyak orang, termasuk keluarga tercinta. Tidak sepatutnya dia ditutupi aibnya bilamana masih kemaruk memuaskan diri dalam jalan maksiat.
Percayalah, kasus pengungkapan bisnis esek-esek kelas elit nan hedon hanya bumbu dari semrawutnya sistem hukum dan lemahnya kepemimpinan di negeri ini. Ini hanya pertanda dari amburadulnya tatanan yang ada. Tanpa ada kemauan keras untuk melawannya, yang ada tutup berita dan zina-zina terus bergelora tanpa ada yang memprotes. Bila demikian, celakalah Indonesia. []